Merayakan Kelulusan Sekolah

wahyu kuncoroOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Anggota Dewan Pendidikan Kota Surabaya

Dalam pekan ini, kelulusan sekolah di tingkat SMA/SMK akan diumumkan. Momentum ini, tentu sudah ditunggu-tunggu bukan saja oleh para siswa, namun juga oleh para orang tua dan mungkin juga masyarakat luas.
Bagi siswa sekolah jelas, pengumuman kelulusan SMA/SMK ini menjadi simbol telah selesainya salah satu tahapan pendidikan, sebelum melanjutkan menuju jenjang berikutnya yakni Perguruan Tinggi. Bagi orang tua, kelulusan juga merupakan masa untuk memetik buah dari segala pengorbanan yang dilakukan untuk anak-anaknya.
Sementara bagi masyarakat, tentu kelulusan (baca : persentasi kelulusan) akan menjadi salah satu indikator dalam melihat kualitas sekolah. Artinya, kelulusan masih menjadi salah satu parameter bagi masyarakat dalam menilai kualitas penyelenggaraan pendidikan di suatu sekolah. Lantaran itu, pengumuman kelulusan tentu sepatutnya disambut dan dirayakan dengan penuh riang gembira.
Namun demikian, ternyata momentum kelulusan ini juga menghadirkan kecemasan bagi kita semua. Kecemasan itu bukan karena misalnya persentase kelulusan sekolah itu tidak bisa dicapai, tetapi justru publik dibuat cemas oleh fenomena tentang bagaimana para siswa akan merayakan kelulusan itu.
Mengeksploitasi Erotisme Remaja
Kelulusan memang bisa dirayakan dengan beragam aktivitas dengan segala bentuknya. Dari perayaan yang dilakukan secara positif seperti doa (sujud syukur) bersama, kunjungan ke anak yatim, atau sekadar menyumbangkan baju bekas hingga perayaan yang bisa mengundang miris dan kecemasan seperti aksi coret corat dan pawai ramai-ramai di jalan raya. Bahkan yang memprihatinkan lagi, hari ini perayaan kelulusan sekolah tidak lagi hanya sebatas ekspresi kenakalan anak muda saja seperti pawai ramai-ramai di jalan, tetapi sudah menjurus pada perilaku menyimpang yang melanggar norma sosial dan hukum.
Simak saja, bagaimana mulai berkembangnya tradisi perayaan kelulusan yang jauh keluar dari nilai-nilai pendidikan yang diajarkan di sekolah dulu. Pesta minum-minuman keras, seks bebas, bahkan yang sempat menghebohkan dan ramai dipublikasikan media adalah pesta bikini (pool party) yang disiapkan untuk perayaan kelulusan pelajar di Jakarta.
Realitas semacam itu (baca : pesta bikini) meski belum sempat terlaksana tentu merupakan potret buram pendidikan kita. Karena aktivitas semacam itu jelas sangat jauh dari nilai-nilai yang diajarkan di sekolah. Namun demikian, menyalahkan siswa atas peristiwa semacam itu tentu juga bukan hal yang bijak dan akan bisa menyelesaikan masalah.
Lulus SMA/SMK bisa jadi dipandang sebagai simbol berakhirnya ‘belenggu’ bagi siswa untuk memasuki fase kemerdekaan sebagai anak muda. Kalau semasa sekolah, mereka masih terikat dengan stigma sebagai pelajar yang serba dilarang, maka ketika mereka meninggalkan bangku sekolah melepas status pelajar, larangan-larangan yang secara sosial melekat pada status pelajar seolah tidak berlaku lagi.
Inilah mungkin yang melahirkan gelegak yang besar bagi para pelajar SMA/SMK untuk merasa perlu merayakan kelulusan sekolah. Sehingga jangan kaget ketika menemukan kenyataan bahwa perayaan kelulusan SMA/SMK acap diekspresikan secara ‘bebas’ yang cenderung mengabaikan nilai-nilai sosial yang selama ini ini dianggap membelenggu mereka. Lulus SMA/SMK seolah menjadi era baru bagi mereka untuk bebas atau dibolehkan secara sosial melakukan minum-minuman keras, seks bebas dan ‘perilaku dewasa’ lainnya.
Berkembangnya perilaku menyimpang para pelajar utamanya ketika ingin merayakan kelulusan bukan saja dipicu oleh derasnya serangan budaya global yang begitu hebat masuk ke benak pelajar lewat dunia maya dan beragam media sosial, tetapi juga secara masif difasilitasi oleh kekuatan kapitalisme global yang benar-benar mengekploitasi sisi-sisi sensualitas dan erotisme remaja.
Rencana pesta bikini yang akan digelar para siswa di Jakarta beberapa waktu lalu tentu bukanlah hal baru yang mengagetkan. Di kalangan pelajar kita, sesungguhnya sudah berkembang tradisi semacam itu yang secara sembunyi-sembunyi sudah terjadi. Kondisi ini, dimanfaatkan betul oleh kekuatan ekonomi yang ingin meraup keuntungan. Maraknya dunia hiburan, penyalahgunaan hotel dan penginapan untuk praktik seks bebas dan prostitusi adalah bukti betapa kegiatan ekonomi tidak lagi mempertimbangan aspek morolitas dalam mengeruk keuntungan. Dunia anak muda betul-betul menjadi lahan yang empuk untuk dieksploitasi agar bisa menghasilkan keuntungan.
Di kota – kota Besar semacam Jakarta dan Surabaya, di kalangan anak muda, sudah banyak berdiri event organizer (EO) yang siap menggelar pesta ‘khas’ anak muda yang menawarkan dan mamfasilitasi gelegak sisi erotisme mereka. Praktik ini dengan mudah bisa dilihat dari acara-acara perayaan ulang tahun atau pesta-pesta anak muda yang menawarkan cita rasa erotisme khas anak muda.
Kepedulian Bersama
Perayaan kelulusan memang tidak harus menjadi menjadi momok yang menakutkan, namun demikian tentu juga tidak bisa dibiarkan kalau ada kecenderungan momentum ini akan jadi ajang praktik-praktik perilaku menyimpang pelajar kita.
Semua pihak sepatutnya waspada dan ikut serta berperan mendorong agar momentum perayaan kelulusan sekolah ini bisa berlangsung secara baik, dan bahkan mampu menjadi ajang bagi para pelajar tersebut untuk menunjukkan kreativitasnya.
Pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan baik di level provinsi maupun kabupaten/kota dituntut untuk terus kreatif dalam membuat kebijakan di bidang pendidikan agar proses pendidikan di sekolah di masing-masing wilayah bisa semakin memperkukuh ketahanan moral remaja dalam menghadapi godaan dan pengaruh negatif yang deras menyerbu remaja kita.
Sekolah, sebagai penyelenggara pendidikan tentu memiliki otoritas tertinggi di sekolah dalam merancang kegiatan sebagai implementasi kurikulum belajar agar lebih mampu mengasah sisi kreativitas siswa sehingga tidak tergoda dengan rayuan dan godaan informasi yang terjajakan secara masif lewat internet dan media lainnya. Lingkungan sekolah harus mampu menciptakan ketahanan moral, sehingga ketika ada indikasi ada salah satu anggotanya baik itu siswa apalagi guru yang memiliki kecenderung menyimpang akan dengan cepat terdeteksi.
Masyarakat juga harus semakin menunjukkan kepeduliannya terhadap kehidupan pelajar di lingkungannya. Praktik perilaku menyimpang pelajar sesungguhnya bisa tumbuh subur ketika masyarakat tidak memiliki kepedulian terhadap lingkungannya. Mengapa? Karena praktik-praktik menyimpang seperti narkoba, minum minuman keras dan bahkan pergaulan bebas kadang terjadi didepan mereka, namun masyarakat cenderung membiarkannya.
Berkaca dari itu semua, maka sejatinya semua pihak bisa berkontribusi untuk ikut serta mendorong dan menciptakan agar prosesi perayaan kelulusan tahun ini bisa sesuai dengan harapan kita bersama. Bahwa untuk mencegah kemungkinan terjadi praktik menyimpang dalam perayaan kelulusan memang tidak bisa kalau hanya diembankan kepada sekolah saja. Harus ada komunikasi yang hangat antara sekolah dan orang tua, didukung oleh menguatnya norma sosial dalam masyarakat sehingga bisa memastikan kalau siswa tidak akan salah dalam melangkah. Bukan itu saja, kalangan aparat hukum seperti polisi dan Satpol PP juga harus secara proaktif melakukan pendekatan kepada para pengelola tempat-tempat hiburan dan penginapan agar tidak memfasilitasi atau menjajakan kegiatan dan aktivitas yang hanya akan menjadi tempat persemaian benih-benih perilaku menyimpang pelajar kita.
Wallahu’alam Bhis-shawwab
———— *** ————

Rate this article!
Tags: