Mudik Lebaran

Oleh :
Dewi Fitrotun Amania

Gema takbir berkumandang, lautan manusia berkumpul menyeru lafadhNYA. Hilir mudik manusia seolah tidak ada habisnya. Mereka menggunakan pakaian terbaiknya, makan dan minum dengan hidangan terbaiknya, saling berjabat tangan dan bermaafan. Aku menatap kesal pada mereka yang bercanda ria dengan kerabat dan sahabatnya, jangan kau tanya mengapa, Karena sampai hari ini aku belum juga bisa pulang. Dan jangan kau tanyakan mengapa aku belum bisa pulang.

Pernahkan saat kau mengendarai kendaraan, kemudian ada pohon besar yang tiba-tiba tumbang didepanmu. Lalu kau tidak bisa melanjutkan perjalananmu. Itulah yang terjadi padaku, semua begitu cepat berlalu. Kau menganggapku gila. Tidak mungkin aku gila, aku mengatakannya dengan kesadaran penuh, aku tidak lagi melantur. Kau juga menangis tersedu di sampingku, maaf aku tidak bisa menghiburmu sama sekali. Bukan, karena aku tidak memiliki empati, bukan karena aku tidak peduli denganmu. Namun, mengolah rasaku saja aku tidak mampu. Sudahlah, jangan kau sesalkan apa yang terjadi, semua yang ada di dunia ini ada karena adanya sebab akibat. Kau juga jangan terlalu larut dalam rindumu itu.

“Hatimu terbuat dari batu ya?”

“Hatiku sama dengan hatimu, namun aku tak ingin menunjukkannya padamu”

“Kau tidak perlu bersembunyi dengan apa yang kau rasakan, katakanlah semua padaku, dan kita bisa menangis bersama dan tertawa bersama”.

Aku tersenyum pahit mendengar ucapanmu, untuk apa kau mengetahui segala sedu sedan hatiku, untuk kemudian menceritakannya kepada orang lain? Atau untuk kau tertawakan?. Aku cukup hapal dengan semua orang yang ada disini. Berita sedikit saja menyebar begitu cepat bagai api yang terhembus angin. Jadi untuk apa aku mengeluarkan isi hatiku. Kalaupun kau tahu apa yang kurasa, kau tak mungkin bisa membantuku, jangan kau bilang kau bisa membantuku. Membantu dirimu saja, kau tidak mampu, apalagi membantuku.

Lagipula, sudah banyak kesedihan ditempat yang menyedihkan ini, setiap hari tangis tiada henti. Apalagi saat terdengar takbir menggema dari bawah sana. Aku tidak mau menambah kesedihanku dengan tangisku. Kemudian kau memandangku dengan sempurna tanpa berkedip, entah karena kagum atau karena kesal aku tidak menggubrismu yang ingin berbagi kesedihan dan kepedihan karena menahan rindu kampung halaman.

Aku merasa sudah lama tinggal disini dua tahun lamanya. Entah, sampai kapan aku bertahan di tempat ini, mungkin sampai bumi ini hancur tidak bersisa, kemudian berganti bumi baru yang luasnya seluas mata memandang tak berujung. Ah, entahlah. Memikirkannya saja aku merasa ngeri.
.
Kau beringsut pergi dariku, menghampiri orang baru yang terlihat linglung dan bingung karena terdampar di tempat ini. Kau mencoba menjelaskannya, dia mengangguk-angguk. Tapi, aku sangat yakin dia belum mengerti sepenuhnya tentang yang kau maksudkan, dia masih menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak menyangka di tempat ini berkumpul orang berbagai rupa dengan muka tertunduk lesu, sedih, dan muram.

Terus terang, hatiku jenuh melihat semua drama ini. Aku ingin melanjutkan perjalananku. Tapi, penjaga pintu berjubah hitam dan memiliki dua sayap itu tampak garang. Berulangkali, aku mendekati pintu namun dia mendorongku hingga aku jatuh terjerembab. Jangan kau tanya sakitnya, meskipun aku hanya jiwa, aku juga merasakan sakit luar biasa. Penjaga pintu berjubah putih dia sangat ramah dan membantuku berdiri saat aku terjatuh, namun ketika aku memintanya membuka pintu, dia menggeleng perlahan.

Nah, sekarang kalian tahu dimana aku berada bukan?. Aku berada di batas antara bumi dan langit, aku diantara keduanya. Aku tersiksa berada disini, bukan karena aku disiksa. Tapi aku tersiksa dengan apa yang aku lihat di bumi, mereka sungguh menyia-nyiakan waktu yang diberikan dengan hal-hal yang tidak berguna. Sama sepertiku dulu, hingga aku terdampar di tempat ini. Aku ingin melanjutkan perjalanan, namun tidak bisa. Aku ingin kembali ke bumi, tapi ragaku sudah tidak lagi bisa menampung jiwaku. Lalu, siapakah yang menyerupaiku di bawah sana?, aku tertawa melihatnya, jangankan kembali ke bumi, untuk turun melebihi batas daerah kami saja, kami tidak bisa. Tentu kau tahu, siapa yang menyerupaiku, menakutimu, dan menghantuimu. Walaupun aku mati karena mabuk dalam peristiwa kecelakaan, aku tidak bisa menakutimu. Ingat itu !

Hampir setiap hari aku melihat surat yang ditujukan kepadaku, surat itu tampak sangat nyata ada namaku tertera di sana, namun ketika aku hendak mengambil dan membacanya aku tidak pernah sampai pada kertas-kertas surat itu, meski aku berlari mengejarnya.

Setelah puas berbicara dengan orang baru yang sudah coba kau jelaskan berkali-kali itu. Kau kembali lagi kepadaku, kau ingin minta ijin ke penjaga bisa mudik lebaran. Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, kau jadi ikut tertawa.

“Kau tau jawabannya kan?”

“Setidaknya aku senang melihat kau tertawa” sahutnya.

Kemudian aku dan dia duduk sambil melihat berbagai drama di bumi, disini tidak perlu menonoton televisi. Bumi tempat kami melihat drama yang kami inginkan, apakah drama suami dan istri, orangtua dan anak, atau antar saudara yang saling berebut harta warisan. Semua ada, tinggal pilih saja yang disuka. Ketika aku sedang asyik menonton drama perselingkuhan seorang suami, orang berjubah putih dan bersayap itu menghampiriku, memerintahkan aku untuk meneruskan perjalananku sambil membuka pintu yang sangat besar, aku seperti semut yang lewat ditengah pintu, seketika aku melihat cahaya putih menyilaukan mata kemudian surat yang membuatku penasaran selama ini semua menghampiriku, menabrak tubuhku, membuat tubuhku sangat nyaman, ringan dan sejuk.

“Mengapa tiba-tiba kau menyuruhku melanjutkan perjalanan, bukankah aku tawanan?”

“Istrimu telah melunasi semua hutang-hutangmu di bawah sana”. Aku terduduk lemas, menangis tanpa air mata.

———— *** ————

Tentangt Penulis :
DEWI FITROTUN AMANIA
Mengajar di SDN Karangjati II Pandaan – Kabupaten Pasuruan.

Rate this article!
Mudik Lebaran,5 / 5 ( 2votes )
Tags: