Optimalkan Edukasi Masyarakat Cegah Stunting

Stunting hingga kini terus menjadi salah satu permasalahan gizi besar yang dihadapi dunia, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang. Stunting sendiri merupakan status gizi yang disebabkan oleh malgizi kronik, sehingga anak balita stunting bisa menjadi indikator kunci dari kesehatan ibu dan anak. Berdasarkan survey World Health Organization (WHO) kontribusi pernikahan di bawah umur merupakan salah satu penyebab masalah stunting di Indonesia. Apalagi saat ini banyak pihak yang menganggap pernikahan dini sebagai hal biasa.

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 21,6% pada 2022. Angka ini turun 2,8 poin dari tahun sebelumnya. Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menempati posisi teratas dengan angka balita stunting sebesar 35,3%. Meski masih bertengger di posisi puncak, namun prevalensi balita stunting di NTT menurun dari 2021 yang sebesar 37,8%.

Selanjutnya, Sulawesi Barat diperingkat kedua dengan prevalensi balita stunting sebesar 35%. Lalu, Papua Barat dan Nusa Tenggara Barat memiliki prevalensi balita stunting masing-masing sebesar 34,6% dan 32,7%. Selanjutnya, terdapat 18 provinsi dengan prevalensi balita stunting di atas rata-rata angka nasional. Sisanya, 16 provinsi berada dibawah rata-rata angka stunting nasional. Di sisi lain, Bali menempati peringkat terbawah alias prevalensi balita stunting terendah nasional. Persentasenya hanya 8% atau jauh dibawah angka stunting nasional pada 2022, (Kompas, 1/5/2023)

Berangkat dari kenyataan itulah maka optimalisasi edukasi masyarakat terkait upaya penanggulangan stunting mutlak terhadirkan. Terlebih pemerintah memiliki agenda menurunkan angka prevalensi stunting nasional lebih drastis. Pemerintah memiliki target penurunan angka stunting 14% di tahun 2024. Dalam pencegahan kasus stunting pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri, tetapi memerlukan keterlibatan dan dukungan tokoh agama, para alim ulama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, terlebih para guru harus mengambil peran penting di dalamnya agar tidak hanya sekadar jargon tapi tidak terlaksana di tingkat lapang. Melalui gerakan masyarakat hidup sehat ini akan tercipta generasi sehat, berkualitas dan berdaya saing. Generasi yang terbebas dari ancaman stunting.

Asri Kusuma Dewanti
Dosen FKIP Univ. Muhammadiyah Malang.

Tags: