Pancasila Sudah “Final”

“Dasar negara Pancasila sudah final,” kata Rais Aam PB-NU, KH Achmad Shiddiq. Pernyataannya itu disampaikan pada khutbah iftitah (pidato awal) sebagai pucuk pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama’ (NU) akhir muktamar NU ke-27. Tak dinyana, pernyataan Rais Aam PB-NU itu, diulang berkali-kali oleh enam presiden RI, dengan kalimat yang sama persis. Pengulangan pernyataan ke-final-an dasar negara, menunjukkan masih perlu penguatan Pancasila.
Falsafah dasar negara Pancasila, masih perlu penguatan lebih sistemik dan terstruktur. Juga masih terdapat komunitas eksklusif ektrem kiri, dan kanan, meng-anggap Pancasila belum final. Masih terasa upaya ingin menggantikan Pancasila. Tetapi mayoritas (lebih dari 90%) rakyat Indonesia akan selalu melawan setiap upaya mengganti dasar negara. Termasuk kalangan perguruan tinggi, kini lebih intensif “merawat” Pancasila, melalui kurikulum bela-negara. Serta aksi de-radikalisasi lebih sistemik.
Pasca-reformasi 1998, dasar negara Pancasila mulai memperoleh hujatan. Diawali dengan penghapusan P4 (Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila). Dicabut dengan TAP MPR Nomor XVIII tahun 1998. Begitu pula lembaga negara yang khusus “meruwat” Pancasila (BP7), turut dibubarkan. Bahkan satu dekade terakhir, nyata-nyata muncul gerakan mengganti filsafah negara dengan berkedok agama (ekstrem kanan). Sekaligus upaya mengganti konstitusi (UUD), dan sistem negara demokrasi.
Ironisnya, gerakan ekstrem kanan berlindung pada konstitusi, UUD pasal 28E ayat (2), dan ayat (3). Kini, seluruh upaya mengganti falsafah dasar negara, maupun sistem negara demokrasi, wajib dianggap bertentangan konstitusi. UUD pasal 28J ayat (2), meng-amanatkan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang … untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Saat ini juga disadari, bahwa Pancasila perlu penguatan. Sehingga presiden selaku Kepala Negara, perlu membentuk kelembaga khusus “peruwat” Pancasila, bertanggungjawab kepada Kepala Negara. Yakni Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Unit ini menjadi think-thank agar Pancasila dapat di-masyarakatkan lebih seksama. Terutama meng-antisipasi radkalisme yang menyasar Pancasila. Termasuk melalui kurikulum pada setiap jenjang pendidikan.
Tetapi kesaktian Pancasila, tidak cukup hanya melalui tekstual kurikulum sekolah sampai perguruan tinggi. Seperti 53 tahun lalu (tanggal 1 Oktober 1965), kesaktian Pancasila diupayakan melalui pergulatan sengit. Terutama kalangan ulama (kyai) dan santri bersama tentara. Gerakan melawan kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia). Tak kalah seru dibanding perang kemerdekaan. Menjadi sejarah kelam (tawur sosial) kebangsaan.
Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 1965, menjadi bukti, bahwa dasar negara telah final. Tidak bisa digantikan oleh filosofi dasar negara yang lain. Pancasila tercantum dalam muqadimah UUD 1945, alenia ke-empat, bagai satu bagian tak terpisahkan dengan alenia ketiga tentang proklamasi kemerdekaan. Alenia ketiga muqadimah UUD 1945, menyatakan, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa… maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Alenia ke-tiga tersebut disambung dengan alenia ke-empat, melalui frasa kata “Kemudian dari pada itu ….” Pada akhir alenia ke-empat UUD 1945, tertulis (secara tekstual) kelima butir Pancasila, komplet. Dus Pancasila, berkait dengan proklamasi kemerdekaan. Menolak Pancasila, niscaya berarti meniadakan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Menjelang 30 September (dan 1 Oktober), biasa di-dengung-kan “gertakan” sekelumit masyarakat. Antaralain tuntutan pelurusan sejarah Gestapu 1965, pemberangusan ekstrem kiri (PKI). Juga terdapat provokasi, agar pemerintah meminta maaf kepada keluarga korban (bekas pimpinan PKI). Berbagai “gertakan” dan provokasi sosial, niscaya akan gagal. Karena memperoleh perlawanan sengit masyarakat luas.
——— 000 ———

Rate this article!
Tags: