Pembahasan RUU EBT ‘Lelet’, Ferdy Hasiman: Oligarki Batubara Masih Punya Kepentingan

Forum legislasi bertajuk ” RUU EBT untuk Pengembangan Energi Baru Terbarukan, Adil dan Berkelanjutan”, di Gedung DPR RI, Selasa (13/6).

Jakarta, Bhirawa.
Peneliti Tambang dan Energi Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman, mengingatkan Komisi VII DPR RI, agar berhati hati menghadapi oligarki sektor batubara, dalam menuntaskan pembahasan RUU EBT (Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan). Sebab produksi batubara Indonesia pada 2022 ini mencapai 600 juta ton, penghasil energi besar dunia, pasti masih memiliki kepentingan. Peluang untuk proses transisi ke EBT, tentunya masih menyulitkan produsen besar batubara, seperti PT Adaro, Bumi Resorsis, Toba Bara Sejahtera dll.

“Jika DPR RI kususnya Komisi VII tidak berani mendorong proses transisi ini, juga teman teman wartawan tak membuat wacana ini menjadi besar. Padahal EBT ini kan isu nasional yang harus didorong, karena proses transisi ini mendesak untuk dilakukan,” ungkap Ferdy Hasiman dalam forum legislasi bertajuk ” RUU EBT untuk Pengembangan Energi Baru Terbarukan, Adil dan Berkelanjutan”, Selasa siang (13/6). Nara sumber lain, anggota Komisi VII Dyah Roro Esti Widya Putri (Golkar), anggota Komisi VII Diah Nurwitasari (PKS), Direks Center for Energy Security Studies, Ali Achmad Achyak.

Ferdy Hasiman lebih jauh mengatakan: Ada masalah besar jika transisi energi ini didorong, kalau program pembangkit listrik 10.000 mega wat dari tahun 2010 berlanjut ke 20.000 mega wat sampai 30.000 mega wat. Ada bahaya, karena yang dominan dari pembangkit listrik tersbut semuanya menggunakan “batubara”, bahkan mencapai 55%.

“Dengan isu batubara yang harganya tinggi, mampukah PLN membeli dengan harga mahal itu? Angkanya bisa mencapai 56 dollar/metrik ton. Naiknya hampir 100%. Tahun lalu arga batubara naik 400% yakni 400 doll/metrik ton. Apakah kemahalan ini tidak memberatkan neraca kuangan PLN ?,” tambah Ferdy.

Dikatakan, untuk beralih ke EBT, Indonesia sebenarnya beruntung memiliki tambang besar Nikel, bahan baku baterai listrik. Sehingga, kita bisa menurunkan ketergantungan pada BBM dan LPG yang sebagian besar 72% masih impor dari Timur Tengah. Jadi, sekarang inilah kesempatan emas Indonesia untuk melakukan proses transisi. Semuanya tergantung, apakah Komisi VII mau melanjutkan proses ini.

Menanggapi hal tersebut, Dyah Roro Esti mengatakan; bahwa semua fraksi di DPR RI telah bersat, mendukung perlawanan terhadap semua hambatan pembhasan RUU EBT. Kita sudah sepakat untuk mencari solusi terbaik, sejak RUU EBT masuk Prolegnas pada tatun 2020 lalu. Kita telah menerima audieni lebih dari 20 intitusi terkait. Kita telah buka ruang, untuk publik bisa ber partisipasi.

“Energi bersih harus ada payung hukumnya. Karena, selama ini energi ramah lingkungan selalu kalah dengan energi fosil (BBM), alasannya, jauh lebih kompetitif dari segi harga, lebih murah. Oleh sebb itu, Komisi VII memandang, bahwa butuh payung hukum untuk mempercepat proses transisi ke EBT. Juga memberikan insentif terhadap energi yang lebih ramah lingkungan,” jelas Roro Esti.

Diah Nurwitasari, jujur mengakui, bahwa pembahasan RUU EBT baru berjalan sebagian, belum banyak. Disana sudah mulai ada beberapa hal yang memang harus didalami. Dari catatannya, rapat sampai sekitar akhir Februari 2023. Tapi sampai hari ini belum ada lagi pembahasan tentang kelanjutan pembahasan RUU EBT itu. (ira.hel).

Tags: