Penetapan SPP SMA/SMK Harus Adil Sesuai Kebutuhan

DPRD Jatim, bhirawa 
Penetapan Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) diharapkan adil sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah.
“Dampak peralihan SMA/SMK cukup signifikan. Di mana dalam peraturan gubernur (pergub) membatasi SPP. Padahal ini berpengaruh pada pengelolaan menejemen pendidikan,” ujar Muhamad Sirot, Selasa (21/3).
Dia melanjutkan, banyak SPP di daerah, seperti di Dapil VII yang meliputi Trenggalek, Tulungagung, Pacitan sebelumnya Rp 100 ribu, Karena pergub menjadi hanya Rp 80 ribu. Hal ini membuat beberapa sekolah jadi kesulitan mencari dana kekurangan sekolah.
“Beberapa waktu lalu di Jember misalnya, saat komisi E sidak. Sekolah dipusingkan ambil dana kekurangan operasional dari mana,” jelasnya.
Ketakutan ini, menurut Sirot cukup beralasan. Pasalnya sekolah tidak sembarangan bisa ambil dana operasional sekolah. Penarikan dana tambahan ke masyarakat bisa menyebabkan kesalahan dan pelanggaran hukum. Sebab, bisa menimbulkan dugaan adanya pungutan liar (pungli).
“Apalagi kalau dana bantuan operasional sekolah (BOS) terlambat. Sekolah tambah kesulitan mengatur keuangan. Apalagi sekolah swasta yang tidak punya anggaran. Tambah sulit lagi,” urainya.
Masih menurut politisi asal PKS ini, sistem pendidikan gratis ini keliru. Orang-orang kaya yang biasa berangkat sekolah dengan mobil justru mendapat pendidikan gratis. Mereka mendapat sibsidi dengan sekolah gratis. Seharusnya ada klarifikasi terhadap pembiayaan pendidikan.
“Seharusnya anak miskin itu gratis dan siswa kaya tetap bayar SPP. Kalau bisa dua kali lipat dari ketentuan yang ada. Karena adil itu tidak harus sama,” ungkapnya.
Kemudian, sisa subsidi tersebut dialirkan kepada pendidikan perguruan tinggi. Yang selama ini hanya mampu diraih oleh anak kalangan menengah keatas. Karena dengan biaya yang cukup mahal, tidak mungkin bisa dijangkau anak kelas bawah.
Sirot pun mencontohkan seperti biaya kuliah di ITS yang menyentuh hampir Rp 20 juta untuk SPP persemester. Tentunya hal itu sangat sulit dipenuhi anak dari kalangan bawah.
“Memang ada bidik misi. Tapi saya yakin kuotanya sangat sedikit. Tidak bisa memenuhi jumlah anak dari kalangan ekonomi bawah untuk kuliah,” bebernya.
Sementara mengenai skema pendidikan, Sirot mengusulkan komposisi pendidikan terdiri dari 40 persen anak tidak mampu. Kemudian 20 persen dari masyarakat sekitar sekolah. Dan sisanya adalah anak berprestasi. Dengan begitu pendidikan akan merata. Siapapun bisa mendapat pendidikan debgan layak dan baik.
Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, Suli Daim . Menurutnya kelebihan adanya Pergub memang untuk menghindari adanya pungli, namun kekurangannya pada kesamaan pembayaran SPP ditiap wilayah yang memang sangat merugikan bagi kab/kota yang APBDnya pas-pasan. [cty]

Tags: