Perancang Boleh Berinovasi, tapi Pakem Jangan Ditabrak

Dua mahasiswi Untag 1945 Surabaya melihat-lihat replika baju adat kebaya Indonesia yang dipamerkan dalam  Lomba Replika Kebaya dan Seminar Busana Nasional 'Pelangi Nusantara',  Rabu (27/4) kemarin. [adit hananta utama]

Dua mahasiswi Untag 1945 Surabaya melihat-lihat replika baju adat kebaya Indonesia yang dipamerkan dalam Lomba Replika Kebaya dan Seminar Busana Nasional ‘Pelangi Nusantara’, Rabu (27/4) kemarin. [adit hananta utama]

Kreativitas Replika Baju Adat
Kota Surabaya, Bhirawa
Indonesia punya kebaya sebagai pakaian tradisional. Di dalamnya menyimpan sejarah dan budaya. Namun, perkembangan kebaya kini tak sekadar menjadi bagian pakaian adat. Di tangan perancang modern, kebaya lalu menjadi objek pengembangan fesyen. Di satu sisi, inovasi desainer ini dianggap sebagai perkembangan, namun di sisi lain juga disayangkan.
Auditorium Graha Widya Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) dipenuhi dengan aneka model kebaya dalam bentuk replika, Rabu (27/4). Karya-karya itu lahir dari tangan-tangan kreatif Ikatan Wanita Untag (IWATA) dari bahan-bahan tak terpakai, yaitu kain perca. Meski begitu, karya tetap bernilai ekonomis tinggi sebagai cinderamata. Yang lebih penting lagi, replika ini juga memiliki nilai edukasi tentang warisan budaya berupa kebaya.
“Dulu sebelum ada kebaya, perempuan Indonesia pakai ngeligo atau kemben,” tutur Ketua Himpunan Ratna Busana Nuniek Silalahi. Sayangnya, lanjut dia, pengembangan kebaya sekarang cenderung menabrak pakem. Melalui lomba replika kebaya dan seminar busana nasional bertema Pelangi Nusantara, Himpunan Ratna Busana berupaya meluruskan kembali pakem kebaya yang mulai salah kaprah.
Nuniek kembali menjelaskan, ngeligo berkembang menjadi abaya dan akhirnya kebaya yang dikreasikan, dimodifikasi sesuai kreasi perancang mode saat ini. “Cuma modifikasi harusnya berdasar pakem yang seharusnya. Setelah mengacu pakem, baru kreasi atau pengembangan bisa dilakukan,” tandas Nuniek.
Kebaya kartini, kebaya kupu baru, baju kurung adalah pakem yang ada. Sementara kebaya yang menyalahi pakem adalah berlengan pendek. Namanya kebaya harus menutup pergelangan tangan atau tiga per empat, di bawah siku. Yang juga dinilai menabrak pakem, adalah kebaya dengan bahan kain transparan. Misalkan brokat yang sebenarnya itu adalah kain impor.  “Sebenarnya kain transparan bisa saja dipakai saat malam. Cuma kebaya bagi pakaian asli Indonesia, harus mengedepankan nilai-nilai ketimuran,” rincinya.
Nunik mengingatkan, kebaya yang sesuai pakem mengusung semangat tersendiri. Yaitu melestarikan kain khas nusantara. Ada kain songket, batik, sulaman dan lainnya.
Lebih lanjut Nuniek menjelaskan, selain kebaya, busana nasional menekankan pada sanggul, kain batik, sarung dan sandal selop. Bicara kebaya harus dipadu sanggul, tidak bisa rambut diurai. Perempuan yang mengenakan kebaya juga harus pakai sandal selop. “Kalau acara kenegaraan, yang berkebaya dan mengenakan sandal selop harus dilengkapi tali pengait,” tutur perempuan yang juga Ketua Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Citra Retna itu.
Dalam lomba membuat replika pakaian adat itu, para peserta terdiri dari mahasiswa, perias, perancang mode dan perempuan lintas profesi lainnya ikut ambil bagian di sana. Tiap peserta hanya punya waktu 30 menit untuk membuat replika sekaligus desain pakaian adat.
“Lomba pembuatan replika pakaian adat berbahan kain perca ini pertama di Indonesia. Ini untuk melestarikan budaya Indonesia,” sebut Ayun Maduwinarti, ketua panitia Lomba Replika dan Seminar Busana Pelangi Nusantara. [Adit Hananta Utama]

Tags: