Perempuan “Lebih Terang”

foto ilustrasi

Berpendidikan   tinggi,   dandan  menor  (ber-tato   alis),   memakai   sepatu   hak tinggi,   naik   mobil   plat   merah.   Sudah   ribuan   perempuan   berpenampilan  keren, sekaligus berpangkat tinggi. Meng-genggam kewenangan sebagai pucuk pimpinan urusan   pemerintahan   (pusat   dan   daerah).   Simbol   kesetaraan   gender   dan emansipasi   telah   terlampaui.   Bahkan   perempuan   juga   memiliki   hak   untuk menentukan waktu kehamilan yang tepat.
Cita-cita   RA  Kartini   sudah   tercapai.   Sampai   di   tingkat   pedesaan,   banyak perempuan   terpilih   menjadi   kepala   desa,   suatu   jabatan   yang   dahulu   hampir mustahil. Di perkotaan, lebih banyak perempuan menyandang jabatan publik (politik) tinggi. Menjadi Bupati, Walikota, serta menjadi anggota DPR dan DPRD (propinsi serta  kabupaten dan  kota).  Pejabat  perempuan,  rata-rata  lebih dipercaya.  Walau sebagian juga terperangkap jaring hukum tipikor (tindak pidana korupsi).
Namun sesunggunya, agama menempatkan perempuan sejajar dengan laki- laki.  Banyak ayat-ayat  dalam kitab  suci, mewajibkan  perilaku hormat  dan santun kepada kaum ibu. Bahkan ratusan hadits Nabi SAW, memberi status “nomor satu” kepada perempuan.   Misalnya, dinyatakan bahwa perempuan adalah  al-madrasah al-ula  (pendidik   awal)   seluruh   manusia.   Tetapi   harus   diakui   pula,   masih   banyak perempuan melakukan “banting harga.”
Secara sosial, Indonesia (dan suku-suku) memiliki penghormatan terhadap perempuan.   Ditambah   pencerahan   agama,   perempuan   menjadi   garda   terdepan aspek pendidikan (untuk kemajuan bangsa). Berbagai istilah (perempuan, wanita, dan  wadon)   memiliki   makna   strategis.   Kata  wadon,   berarti   tempat   menghiba (curhat).  Karena ibu  biasanya  selalu memiliki  solusi  berbagai permasalahan. Tak terkecuali ibu-ibu muda (masa kini) yang telah berpendidikan memadai.
Pada tataran agama (Al-Quran) banyak dikisahkan perempuan pejuang yang sangat gigih. Termasuk istri Fir’aun (bernama Asiyah). Bahkan pada sejarah Islam, banyak  pula  perempuan  menjadi  pemimpin  pasukan   (tentara).   Emansipasi,  telah menjadi   bagian   dari   kodrat   perempuan.   Emansipasi,   bukan   skenario   yang dipaksakan.   Juga   bukan   sekedar   indeks   untuk   mengukur   penghargaan   kepada perempuan.
Sudah 110 tahun lebih, “curhat” RA Kartini kepada rekan Belanda-nya, Rosa Manuela   Madri   (istri   Mr   Abendanon)   dipublikasikan.   Ternyata   Kartini,   memiliki referensi luas dari berbagai buku, maupun realita sosial. Surat-surat Kartini menjadi menarik,   karena   pemerintah   kolonial   Hindia   Belanda   sedang   membuka   keran demokrasi,   melalui   program   politik   etis.   Banyak   versi   kumpulan   surat   Kartini diterbitkan sejak dekade 1920-an.
Kartini, memiliki garis keturunan bersaudara dengan arek Suroboyo. Ayahnya, RM Sosroningrat, adalah keturunan Pangeran Dangirin, Bupati Surabaya abad ke- 18.   Dari   Pangeran   Dangirin,   dapat   ditelusuri  trah  keturunan   kerajaan  Majapahit. Juga   tersambung   dengan   Sultan   Hamengkubuwono   ke-6.   Sedangkan   dari   garis keturunan ibu, Kartini merupakan “santri-wati.” Ia adalah cucu dari mbah kyai  Haji Madirono,  seorang guru agama, ulama kesohor di Telukawur, Jepara. Trah”darah biru” menengah, biasanya tidak suka banyak membaca. Namun dengan   garis   keturunan   mbah  kyai  Madirono,   Kartini   mewarisi   intelektualitas memadai. Minat bacanya sangat tinggi, termasuk beberapa karya sastra bermutu.
Misalnya karya van Eeden, serta roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, berjudul “Die Waffen Nieder”(Letakkan Senjata). Ia juga membaca “Max Havelaar” karya Multatuli (alias Douwes Dekker). Nampaknya,   roman  “Max   Havelaar,”  meng-inspirasi   RA  Kartini.  Terutama pada bagian “Saijah dan Adinda,” yang terasa menguras air mata. Karena itu dalam surat yang dibukukan, Kartini banyak menulis situasi sosial, budaya, agama, sampai korupsi. Persis seperti diungkap dalam roman Douwwes Dekker. Yakni, cerita system cultuur stelsel  (tanam paksa), yang digagas oleh Gubernur Jenderal GJ van den Bosch.
Kelebihan Kartini, ia berani memapar kesengsaraan kaumnya (perempuan) kepada pejabat pemerintah kolonial yang tertutup. Kini, masih diharapkan  “Kartini lain”  untuk   mencegah   perempuan   di-eksploitasi   dengan   dalih   emansipasi   dan kesetaraan gender.

                                                                                                            ———   000   ———–

Rate this article!
Tags: