Pertajam Karakter Siswa dengan Gerakan Literasi

Uzlifatul Rusydiana

Oleh:
Uzlifatul Rusydiana, SPd
Pendidik di SDN Magersari 2 Kota Mojokerto ini juga aktif menulis modul pembelajaran KTSP dan K-13 tingkat SD/MI. Guru berprestasi Kota Mojokerto tahun 2015 dan 2017. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadikan gerakan penguatan pendidikan karakter (PPK) sebagai bentuk perwujudan dari salah satu butir Nawacita yang dicanangkan Presiden Joko Widodo melalui gerakan nasional revolusi mental (GNRM). Gerakan PPK telah dimulai secara bertahap sejak tahun pelajaran 2016/2017.
PPK bukan produk baru, bukan mata pelajaran, bukan kurikulum baru tetapi merupakan penguatan atau fokus dari proses pembelajaran dan sebagai ruh pendidikan. PPK merupakan gerakan pendidikan di sekolah untuk memperkuat karakter siswa melalui harmonisasi olah hati (etik), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi), dan olah raga (kinestetik) dengan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat yang merupakan bagian dari Tripusat pendidikan.
Terdapat lima nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai karakter yang perlu dikembangkan sebagai prioritas gerakan PPK, yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Kelima nilai utama karakter bangsa ini merupakan kristalisasi dari bagian nilai-nilai karakter yang sudah dikembangkan sebelumnya.
Berdasarkan paparan di atas, sudah menjadi tanggung jawab tiap sekolah di Indonesia untuk segera memperkuat gerakan PPK melalui berbagai sisi harmonisasi. Terkait harmonisasi olah pikir (literasi), telah diformulasikan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud ini kemudian menginisiasi lahirnya Gerakan Indonesia Membaca dan Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan Indonesia Membaca melingkupi gerakan literasi pada ranah masyarakat dan keluarga, sementara gerakan literasi sekolah mencakup gerakan literasi di lingkungan sekolah.
Gerakan literasi di lingkungan sekolah sudah banyak dilakukan oleh sebagian besar sekolah di Indonesia melalui kegiatan 15 menit membaca. Alokasi 15 menit untuk membaca tersebut adalah waktu minimal untuk membaca dan kegiatannya pun tidak harus sebelum pelajaran dimulai. Sekolah diberi keleluasaan untuk menentukan kapan 15 menit untuk membaca itu digunakan.
Berdasarkan pengamatan penulis, program 15 menit membaca sebelum pelajaran dimulai yang sudah berlangsung, terkadang membuat beberapa siswa bosan. Apalagi buku yang dibaca adalah full text, bukan big book yang kaya animasi sebagai representasi tulisan yang dibaca siswa. Belajar dari fakta tersebut, perlu diformulasikan langkah strategis sebagai upaya menghilangkan kejenuhan siswa, tentu tanpa mengurangi muatan pendidikan karakter di dalamnya.
Sekolah dalam hal ini guru bisa berinovasi dengan menggagas berbagai ide kreatif terkait kegiatan literasi ini, karena pada dasarnya kegiatan literasi tidak hanya sekadar membaca.
Berbagai Inovasi Kegiatan Literasi di Sekolah
Ada berbagai kegiatan literasi di sekolah yang bisa kita terapkan selain membaca 15 menit secara reguler. Penulis menyebutnya sebagai literasi gambar, di mana siswa diberi buku cerita untuk dibaca. Kemudian, siswa menuangkan cerita tersebut dalam sebuah gambar sebagai representasi dari cerita yang telah dibaca. Beberapa perwakilan siswa maju ke depan untuk menceritakan kepada teman-temannya hanya dengan membawa gambar yang telah dibuatnya. Tentu ada beberapa nilai karakter yang tampak dari kegiatan ini. Di antaranya adalah kemandirian, berpikir kritis, kreativitas, dan integritas.
Selanjutnya adalah literasi kuliner. Siswa diberi tugas untuk membuat olahan makanan atau minuman di rumah bersama orang tua dengan bahan dasar yang sama. Pada saat masuk sekolah, siswa diminta membawa hasil olahan makanan atau minuman tersebut. Guru mengajak siswa untuk menuliskan petunjuk cara membuat makanan atau minuman yang telah dibuat dan menceritakannya di depan kelas. Dalam hal ini, siswa belajar akan kemandirian, keberanian, berpikir sistematis, dan kerja sama tentunya.
Siswa juga bisa kita ajak melakukan kegiatan literasi finansial/keuangan. Bermain pasaran, jual-jualan, dagang-dagangan adalah salah satu pendekatan sederhana untuk melatih komunikasi efektif, melatih kerja sama, empati, dan kemampuan pengambilan keputusan cermat perihal keuangan. Pertama, siswa diajarkan menghitung pecahan uang dengan uang kertas dan logam, dari pecahan kecil sampai pecahan besar.
Selanjutnya guru memberikan berbagai barang sebagai item jual yang bisa dibeli siswa dengan uang mainan yang telah dibagikan. Siswa dipandu guru untuk cermat membeli barang dan mengelola uang yang dimiliki. Hemat dan cerdik pada pilihan menginvestasi uang yang dimiliki untuk menabung atau untuk membeli barang berharga lainnya. Permainan pasaran mengajarkan cara bermasyarakat dan nilai-nilai hidup sosial.
Kolaborasi Gerakan Literasi dengan Program PPK
Keberhasilan gerakan literasi sekolah tak bisa lepas dari Gerakan Indonesia Membaca yang meliputi gerakan literasi pada ranah masyarakat dan keluarga. Keduanya harus saling berkolaborasi. Gerakan literasi yang bercirikan pelibatan semua pemangku kepentingan berjalan selaras dengan program penguatan pendidikan karakter (PPK) yang juga berupaya menarik keterlibatan keluarga dan masyarakat dalam pendidikan di sekolah. Sudah semestinya orang tua menjadi teladan bagi anak dalam geliat literasi ini, misalnya membacakan dongeng sebelum tidur, membaca buku cerita bersama anak, membuat perpustakaan di rumah, memilih tontonan televisi yang sarat muatan karakter, serta teladan lainnya. Begitu juga pelibatan masyarakat dalam budaya baca bisa ditunjukkan dengan adanya perpustakaan-perpustakaan yang berdiri di setiap kelurahan. Siswa diajak mengunjungi dan membaca buku di sana setiap pekan. Atmosfer literasi yang begitu humanis ini diharapkan mampu memperkuat program literasi yang digalakkan pemerintah.
Gerakan literasi ini boleh saja timbul tenggelam di tengah dinamika masyarakat yang senantiasa berubah, tetapi gerakan literasi harus terus berdenyut dan dirasakan oleh semakin banyak elemen masyarakat. Ia merasuk dalam setiap pola pikir dan perilaku setiap insan baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
———- *** ———–

Tags: