Sasaran Warga Belajar Non Formal Tak Meyakinkan

Foto: ilustrasi

Pemprov Sudah Gratiskan 5.602 Siswa SMA/SMK
Surabaya, Bhirawa
Sasaran target Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya untuk menjangkau 5.981 angka putus sekolah mulai diragukan. Selain data yang tidak pasti, lembaga pendidikan non formal di Surabaya pun tidak yakin akan mampu mendapatkan jumlah Warga Belajar (WB) sebanyak itu.
Ketua Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Surabaya Imam Rochani menegaskan, target 5.981 WB tidak akan tercapai. Sebab, tidak semua anak dari keluarga tidak mampu akan memilih putus sekolah. “Data itu dari mana. Apa maunya semua anak tidak mampu itu kemudian putus sekolah,” tutur Rochani, Selasa (22/8).
Rochani mengungkapkan, tahun lalu Dindik Surabaya juga telah menjaring data anak putus sekolah melalui program out reach. Jumlahnya mencapai 300 anak. Namun, setelah data tersebut diverifikasi di lapangan, hanya 93 anak yang terjaring masuk dalam program ini. Itu pun hingga kini anggaran yang seharusnya dialokasikan tidak jelas.
“Cuma sedikit yang mau. Dari mereka yang mau itu, PKBM dibayar Rp9.000 per kehadiran WB. Tapi tidak tahu kapan mau dicairkan. SPJ-nya kita sudah disuruh mengirimkan,” tandas Rochani yang juga Ketua PKBM Budi Utama itu.
Tahun ini, lanjut dia, pemerintah pusat sendiri juga telah mengadakan program Anak Tidak Sekolah (ATS). “Jadi kalau ada anak di kecamatan Jambangan yang putus sekolah, maka disalurkan ke PKBM saya,” terang dia.
Sementara itu, Kepala Dindik Jatim Saiful Rachman menegaskan, komitmen untuk mengurangi angka putus sekolah telah ditunjukkan. Baik melalui subsidi Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) maupun membebaskan biaya SPP alias gratis. “Kita sudah sampaikan data-data anak yang telah mendapat subsidi dan digratiskan itu ke Wali Kota. Pak Gubernur sendiri yang menandatanganinya,” tegas Saiful.
Dalam pendataannya, Dindik Jatim telah membebaskan SPP siswa Surabaya sebanyak 2.315 siswa SMA dan 3.297 siswa SMK. Totalnya mencapai 5.602 siswa. Sementara untuk subsidi keringanan SPP telah diberikan kepada 1.482 siswa SMA dan 3.488 siswa SMK. Totalnya 4.978 siswa. Keringanan itu diberikan dengan variasi pembayaran SPP mulai dari Rp25 ribu hingga Rp100 ribu.
“Kalau ada data 11 ribu siswa itu terlalu dibesar-besarkan. Kita sendiri telah melakukan verifikasi data ke lapangan dan dijadikan jawaban untuk surat wali kota,” tegas Saiful.
Data tersebut tidak termasuk jumlah siswa baru tahun ajaran 2017/2018 yang sebagian juga telah terjaring pada PPDB jalur mitra warga dan bidikmisi. Saiful menegaskan, tidak boleh ada anak putus sekolah lantaran tidak bisa membayar SPP. Kecuali anak yang memilih putus sekolah karena bekerja untuk membantu orangtua.
Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi mengakui, data yang telah dimiliki saat ini hanya 300 anak yang sudah putus sekolah. Sementara lebih dari 5 ribu siswa yang masuk dalam sasaran pendidikan non formal itu adalah anak yang rentan putus sekolah. “Itu untuk semua jenjang dan penyebab yang beragam. Tidak sekadar karena sekarang SPP SMA/SMK bayar,” kata dia.
Perubahan SMA/SMK dari gratis ke berbayar, lanjut Martadi, hanyalah salah satu faktor. Di sisi lain, ada faktor kultural dan sosial yang membuat anak akhirnya putus sekolah. “Bisa karena anak ada masalah di sekolah atau karena dukungan orangtua yang rendah sehingga tidak mau sekolah,” kata dia.
Martadi yang juga menjadi tim perumus Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Surabaya itu mengatakan, pendirian SKB maupun perencanaan sasaran WB merupakan langkah antisipasi. Sehingga, semangatnya tetap jangan sampai ada anak putus sekolah. Kalaupun ada anak putus sekolah, maka SKB menjadi skenario cadangan untuk melayani anak Surabaya.
“Fungsi penyelenggaraan programnya kesetaraannya nanti ada di PKBM. Sementara untuk keterampilan bisa masuk ke LKP (Lembaga Kursus dan Pelatihan). Rencananya September pertengahan ini akan dibuka pendaftaran,” pungkas Martadi. [tam]

Tags: