Sisi Lembut Akademisi Respon Pandemi

Judul : CORPUS PUISI PANDEMI Merajut Kata, Ilmu, dan Hati
Penulis : Dewi Maria Herawati, dkk
Editor : Frida Kusumastuti Poerbantoro, Lestari Nurhajati
Penerbit : Kosa Kata Kita, Jakarta
Tebal : xvii 174 Halaman
Cetakan : Pertama, Agustus 2020
ISBN : 978-623-7430-48-3
Peresensi : Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Pandemi Covid-19 telah menginspirasi 15 perempuan akademisi dari 18 kampus di Indonesia. Sejumlah dosen yang tergabung dalam Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) ini telah berhasil merenda aksara, merajut kata, ilmu, dan hati dalam 142 karya orisinil berupa buku bertajuk Corpus Puisi Pandemi. Karya ini merupakan salah satu bentuk keprihatinan para penulis kala pandemi.

Melalui antologi puisi dalam buku Corpus Puisi Pandemi ini, pembaca akan diajak menyelami peristiwa pandemi Covid-19 dalam beragam sudut pandang. Tak hanya itu, pembaca juga diajak meneroka lewat teropong yang mampu menangkap relasi antara pandemi, ketabahan, keteguhan, daya juang, dan religiusitas masyarakat. Semua telah dipotret dengan apik dan disajikan menarik.

Tak main-main, kumpulan puisi dalam buku ini juga telah mendapat apresiasi dari sejumlah sastrawan, pecinta sastra, penyair, seniman, dramawan, dan pemerhati sosial kenamaan negeri ini. Beberapa diantara mereka menulis komentarnya di Kidung Kasih pada lembar awal buku ini. Seperti Tommy F. Awuy yang mengatakan bahwa melalui buku yang ditulis para perempuan ini sungguh telah memberikan kekayaan nuansa rasa dan pengetahuan.

Jose Rizal Matoa memberikan apresiasi atas semangat yang disiratkan dari 142 judul puisi yang telah ditulis oleh para Srikandi akademisi ini. Dian Pramono menyebut membaca puisi para akademisi ini seperti membaca studi-studi yang ditulis ulang dalam bentuk yang tak bisa dijurnalkan. Sementara menurut Triyanto Triwikromo menyebut bahwa puisi-puisi dalam buku ini tergolong sebagai makhluk yang tabah. Barani mengada, menjadi, dan hidup di tengah kepungan pandemi.

Deretan puisi yang ada dalam buku ini tentu melalui proses yang panjang. Seperti layaknya kumpulan tulisan dari banyak penulis, tentu perlu kolaborasi dan harmoni yang indah. Puisi yang lahir dari keresahan yang mendera para penulisnya mampu dituangkan dalam barisan kata dan kalimat indah yang mampu menyentuh kalbu. Tak sampai disitu, melalui barisan puisi dalam buku ini juga sarat dengan ilmu.

Kumpulan puisi dalam buku ini memang bukan berisi data-data jumlah pasien Covid-19 yang sembuh maupun meninggal. Puisi ini bukan deretan angka-angka kenaikan dan penurunan jumlah orang yang terkonfirmasi positif seperti yang biasa disampaikan juru bicara pemerintah. Namun lewat sejumlah puisi dalam buku ini, pembaca diajak melihat pandemi lebih dalam, lebih dari sekedar angka-angka statistik pandemi.

Melalui salah satu puisi yang berjudul Membayangkan Berita tentang Nakes di RS misalnya. Puisi yang ditulis Frida K ini merupakan bentuk kepedulian pada komitmen dan profesionalisme tenaga medis yang terusir. Melalui puisi ini penulis ingin menyadarkan pembaca tentang dedikasi tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19.

Buku ini sesungguhnya merupakan sisi lain dari para akademisi yang biasanya terkesan kaku dan kenceng dengan tulisan-tulisan akademik ilmiah. Para perempuan akademisi penulis buku ini ternyata mampu menulis indah dengan bahasa yang lumer, cair dan ringan. Tak perlu memeras otak untuk menemukan makna dibalik kata-kata indah. Seperti umumnya puisi, pembaca pun dibebaskan merdeka menafsir isi pesan dalam deretan puisi yang tersaji.

Kumpulan puisi ini bukan lahir karena kelatahan. Puisi-puisi dalam buku ini hadir sebagai bentuk respon jujur para penulisnya pada keadaan. Tak sedikit memang yang telah menulis puisi pandemi. Penyair Joko Pinurbo telah mengawali menulis puisi pandemi berjudul Maut Tersenyum. Hingga mantan Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla juga menulis puisi bertajuk Corona Virus. Dulu, saat wabah Flu Spanyol yang menginfeksi sekitar 500 juta orang tahun 1919, Thomas Thorner juga menulis puisi keprihatinan dengan tittle “Flu”, Have You?

Puisi memang bisa jadi bahasa yang universal, seperti layaknya musik, juga humor. Lewat puisi bisa jadi sesuatu yang berat mampu dibuat lebih enteng. Melalui puisi pula pandemi yang menakutkan itu bisa dihadapi dengan lebih indah. Puisi pandemi bukan puisi cengeng, namun puisi pandemi lahir dari proses kreatif penulisnya demi tak menyerah hadapi situasi sulit pandemi. Bisa mungkin membaca kumpulan puisi dalam buku ini menjadi vaksin non medis yang cukup ampuh, seampuh vaksin medis Covid-19 yang telah banyak dinanti.

Seperti umumnya sebuah tulisan keroyokan, yang jamak muncul adalah gaya tulisan yang beragam dari masing-masing penulis. Ini mungkin jadi sisi lemah, namun bisa jadi justru jadi keperkasaan buku ini. Aneka gaya dari masing-masing penulis bisa jadi justru menjadi kekayaan corak para pengusung pesan yang justru menjadikan pesan mampu tersampaikan dengan lebih berwarna.

Dijamin membaca kumpulan puisi dalam buku ini tak garing. Varian sudut pandang para penulisnya dalam memotret pandemi sangat kaya warna. Puisi Corpus ini bisa jadi dokumen yang abadi. Akan menjadi cerita bagi anak cucu tentang lahirnya pandemi yang akhirnya juga sirna oleh waktu. Keabadian lewat tulisan dalam kumpulan puisi ini bakal melumpuhkan sifat virus pandemi yang tak kekal abadi.

Walau ditulis oleh kumpulan dosen, buku ini tak lantas jadi bacaan wajib kuliah. Namun tak keliru juga kalau buku ini jadi sumber bacaan untuk menambah ilmu dengan cara yang mungkin tak biasa. Membaca dan memaknai kata demi kata dalam kumpulan puisi di buku ini mampu menghaluskan hati dan perasaan serta mampu menumbuhkan kepekaan sosial. Dan yang lebih penting, membaca Corpus Puisi Pandemi bisa jadi tingkatkan imun tubuh karena ada unsur hiburan didalamnya. Coba saja. Selamat membaca.

————— *** —————–

Rate this article!
Tags: