Tabloid “Kebencian” Politik

Foto Ilusratasi

Tabloid menghebohkan telah disebar dengan sasaran khusus masjid. Berisi narasi berita “menghujat” kegiatan salahsatu pasangan calon presiden (Capres). Serta merta memperoleh protes tim sukses pasangan Capres. Ribuan eksemplar telah dikirim melalui kantor pos di wilayah Bekasi, dan Jakarta Selatan. Beberapa bendel dicegat di kantor pos tujuan, tidak dihantar ke alamat penerima. Tabloid politik dengan isi ujaran kebencian, niscaya akan menghadapi tuntutan hukum.
Berbagai daerah kantor pos serta merta pula melaporkan hasil cegatan bungkus kemasan paket pos. Tidak mudah, karena tabloid terbungkus rapi dalam amplop ukuran besar. Hanya kantor pos besar yang mampu mendeteksi isi bungkusan paket dengan foto scan. Juga pemeriksaan kargo kiriman kategori dokumen di bandara. Diduga, tabloid telah dikirim ke seluruh daerah di tanah air, melalui pos, maupun jasa titipan dokumen.
Kepolisian telah meminta pendapat Dewan Pers tentang isi tabloid “Indonesia Barokah.” Terutama timbangan kaidah jurnalistik, karena digolongkan sebagai penerbitan mirip pers. Beberapa nama yang tertulis sebagai “redaksi,” juga bukan wartawan. Namun tak mudah menjejaki tabloid yang diterbitkan dengan alamat palsu. Walau terdapat petunjuk awal tentang input alamat masjid se-Indonesia. Yakni, hanya DMI (Dewan Masjid Indonesia) yang memiliki alamat masjid seluruh Indonesia.
Dewan Pers telah menganalisis narasi tabloid, sesuai permintaan Kepolisian. Hasilnya, isi “Indonesia Barokah” bukan jurnalisme. Bukan hasil kerja ke-wartawan-an, melainkan lebih mirip selebaran. Karena tidak disertai perimbangan informasi dari sumber berita. Nyaris tidak beda dengan forward (informasi terusan) di media sosial yang dicetak. Isinya juga tidak beda dengan informasi yang selama ini telah beredar di media sosial (medsos).
Tiada yang kebal hukum, termasuk penegak hukum, jajaran legislatif (DPR dan DPRD), maupun wartawan. Kesetaraan di hadapan hukum merupakan komitmen bangsa Indonesia, tertuang dalam konstitusi (UUD). Serta merupakan HAM (Hak Asasi Manusia) yang berlaku universal di seluruh dunia. Begitu pula tata-kelola informasi telah menjadi bagian hak asasi yang digaransi konstitusi. Kinerja jurnalistik (dan wartawan-nya) wajib tunduk pada seluruh peraturan, termasuk hukum adat.
Kinerja jurnalistik (wartawan), seharusnya juga ditimbang dengan UU Nomor 40 tahun 199 tentang Pers. Pada pasal 5 ayat (1) dinyatakan, “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.” Frasa kata “berkewajiban” secara langsung ber-iringan dengan kewajiban lain, pada pasal 5 ayat (2), tentang hak jawab.
Tidak mudah memilah kebenaran informasi di tegah jutaan ujaran, bagai “badai” informasi. Konsekuensi kriminalisasi pers juga senantiasa mengintai. Pers wajib memuat jawaban oleh masyarakat yang dirugikan, pada halaman yang sama dan ukuran (luas halaman) yang sama. Bahkan pada kode etik pers, harus ditambah kata “maaf” manakala terjadi kesalahan. Harus diakui, kinerja jurnalistik (pers resmi berijin) masih mengalami kendala “godaan” partisan. Sudah banyak media terjerumus ke dalam arus kepentingan pemilik modal.
Penerbitan (tabloid) tidak berizin, berbeda dengan pers resmi. Tidak dituntut perimbangan informasi, dan kaidah jurnalistik yang lain. Namun tetap wajib mempertanggungjawabkan isi penerbitan. Walau tidak berizin, memproduksi tabloid yang menghebohkan bukan pekerjaan ecek-ecek. Setidaknya terdapat tiga tahapan kerja. Yakni, pra cetak (pemilihan dan pengolahan informasi), tahap pencetakan, dan distribusi. Menilik masif-nya tabloid “Indonesia Barokah,” diperlukan modal besar.
Penanggungjawab tabolid yang menghebohkan, wajib dihadirkan di Pengadilan. Majelis hakim yang akan menguji kebenaran hatzai artikelen (tulisan berisi penistaan). Pengadilan pula yang menentukan hukuman.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: