Tanpa UN Dikhawatirkan Antusiasme Belajar Siswa Menurun

30-tabel-peserta-unGubernur Tegur Saiful Rachman Dianggap Terlalu Banyak Berkomentar
Dindik Jatim, Bhirawa
Penghapusan Ujian Nasional (UN) oleh Menterian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) boleh jadi masih tahap wacana. Namun, Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim tak ingin mengabaikannya begitu saja. Sebab, pengalaman dari tahun ke tahun mencatat adanya penurunan hasil evaluasi belajar siswa sejak UN tidak lagi dianggap penting.
Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman MM, MPd membenarkan, sejak UN tidak dijadikan patokan kelulusan, nilai UN di dua tahun terakhir terus mengalami penurunan. Karena itu, perlu perubahan orientasi belajar dari yang sebelumnya mengejar nilai UN kini harus berorientasi pada jenjang yang di atasnya. Misalnya untuk lulusan SMA yang harus berorientasi pada seleksi penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi.  “Orientasi sekarang sekolah berusaha bagaimana lulusannya bisa masuk ke perguruan tinggi. Khususnya untuk yang tamatan SMA,” terang Saiful ketika ditemui di ruang kerjanya, Selasa (29/11).
Untuk mencapai target ini, pihaknya akan melakukan komunikasi dengan perguruan tinggi. Ini berbeda dengan tamatan SMK yang meskipun tidak ada UN tidak akan bermasalah. Sebab, orientasi mereka adalah bekerja.
Seperti diketahui, hasil UN mulai jenjang SMP/MTs, SMA dan SMK pada dua tahun terakhir terus melemah. Hal ini ditandai dengan tingginya jumlah siswa yang mendapat nilai di bawah Standar Kompetensi Lulusan (SKL) atau kurang dari 55. Misalnya saja untuk jenjang SMP/MTs di Jatim yang pada 2015 lalu 21,55 % peserta UN mendapat nilai di bawah SKL meningkat pada 2016 menjadi 65,15 % pada 2016. Hal itu juga berlaku pada jenjang pendidikan SMA dan SMK (lihat tabel).
“Jika tidak ada UN, evaluasi akan menggunakan standar dari Jatim yang formatnya tetap mengacu BSNP (Badan Standarisasi Nasional Pendidikan),” terang Saiful.
Mantan Kepala Badan Diklat Jatim itu menuturkan, dalam pelaksanaan ujian sekolah tingkat provinsi, bobot soal tetap akan mengambil rata-rata dari masing-masing daerah. Hal ini dinilai akan mempermudah pemetaan pendidikan per daerah.
Sementara itu, pakar pendidikan di Jatim menanggapi rencana penghapusan UN merupakan langkah baru yang tepat. Prof Zainudin Maliki menuturkan, penghapusan UN harus dilakukan secara total. Bukan didesentralisasikan ke daerah-daerah. “Kalau yang didesentralisasikan cuma ujiannya saja tanpa anggaran. Itu berarti hanya tameng pemerintah pusat karena anggarannya minim,” tutur Zainudin.
Mantan Ketua Dewan Pendidikan Jatim ini mengaku, selama ini dengan adanya UN motivasi belajar siswa hanya palsu belaka. Mereka didorong oleh motivasi ekstrinsik. Bukan motivasi intrinsik yang muncul dari dalam kesadaran mereka sendiri. “UN itu menjadi alat intervensi untuk belajar. Bukan kesadaran siswa sendiri,” kata dia.
Dalam posisi seperti ini, lanjut Zainudin, peran guru semakin besar. Mereka dituntut membangkitkan motivasi belajar siswa tanpa alat intervensi apapun. “Kalau tujuan hanya nilai UN, guru tidak perlu mengajar. Cukup siswa didrill dengan prediksi soal-soal UN,” tutur dia.
Hal senada diungkapkan pakar psikologi pendidikan dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Dewi Ilma Antawati. Jika UN benar-benar dihapus, maka yang harus dibenahi adalah paradigma guru dan siswa dalam menjalani proses belajar mengajar. Karena selama ini, proses pembelajaran masih diorientasikan pada ujian yang ujungnya adalah hasil nilai evaluasi. “Kalau benar dihapus, maka guru harus memahamkan betul untuk apa proses pembelajaran yang sebenarnya. Sehingga tidak menurunkan minat belajar dan kualitas pendidikan,” kata Ilma.
Menurutnya, UN bukan menjadi satu-satunya alat evaluasi untuk mengukur keberhasilan belajar siswa. Karena dalam UN, hanya mengukur kognitif siswa. “Sementara dalam pendidikan itu siswa belajar tentang sikap, keterampilan dan pengetahuan. Jadi alat evaluasinya perlu kembali dibicarakan lagi secara bersama-sama,” pungkas dia.
Gubernur Jatim Dr H Soekarwo menegur Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Provinsi Jatim Dr Saiful Rachman MM, MPd terkait sikapnya yang terlalu sering berkomentar mengenai rencana Menteri Pendidikan Prof Dr Muhadjir Effendy MAP yang ingin menghapus UN. Sebab komentar Saiful Rachman itu dikhawatirkan akan semakin membuat gaduh dunia pendidikan di Jatim.
“Saya tidak terlalu gampang berkomentar soal itu (penghapusan UN, red). Karena itu merupakan sistem yang tidak mudah. Membutuhkan proses dan pertimbangan yang matang,” kata Gubernur Soekarwo ditemui usai menjadi Inspektur Upacara (Irup) Peringatan HUT ke-45 Korpri di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Selasa (29/11).
Dengan alasan itulah, Pakde Karwo, sapaan karib Gubernur Soekarwo, telah menegur Saiful Rachman yang dinilai terlalu banyak berkomentar. “Saya sudah ngebel (hubungi) Saiful Rachman, jangan terlalu banyak komentar dulu tentang itu (penghapusan UN),”  katanya.
Menurutnya, penghapusan UN belum dibahas dalam rapat kabinet yang dipimpin Presiden Joko Widodo. Hasil rapatnya seperti apa juga belum bisa diprediksi. Untuk itu, Dinas Pendidikan tidak boleh berkomentar terlalu jauh.
Mengenai rencana Menteri Pendidikan itu, Pakde Karwo menyarankan agar semua program yang sudah ada tidak dengan mudah langsung dihapus. Menurutnya, program pemerintah harus sustainable change. Maksudnya program yang bagus pada era sebelumnya dilanjutkan, dan tetap mengadopsi program baru yang bagus.
“Saran saya, jangan sampai ada menteri baru, program yang lama kemudian diganti. Apalagi sampai bertentangan. Program pemerintah itu ada rumusnya, yakni berkelanjutan. Itulah sustainable change,” tuturnya.

Dukung Moratorium UN
Sementara itu Komisi X DPR RI mendukung moratorium UN pada tahun depan. Dan moratorium UN sudah dikirim ke Presiden RI Jokowi.
Anggota Komisi X DPR RI Arzeti Bilbina Setyawan mengaku setuju dengan penghapusan program UN dalam sistem pendidikan nasional. Alasannya, UN menyedot energi dan anggaran yang luar biasa besar, mulai dari pembuatan soal, pencetakan, pendistrisibusian sampai pengamanan soal.
“Prinsipnya saya setuju dengan penghapusan UN. Sebab, UN ini menyedot energi dan anggaran yang luar biasa. Dengan begitu, anggarannya bisa dialihkan untuk perbaikan sarana dan fasilitas pendidikan,” tutur Arzeti di sela-sela acara Muswil PKB Jatim, Selasa (29/11).
Arzeti yang juga politisi asal Fraksi PKB DPR RI ini mengatakan UN memberi dampak negatif pada psikologis siswa. Pasalnya, UN menjadi momok bagi siswa, sehingga tak heran banyak yang menjadi stres menjelang pelaksanaan UN meskipun tidak lagi menjadi satu-satunya parameter kelulusan.
“Tak bisa dipungkiri, UN membuat siswa stres. Hal itu juga dialami anak saya yang saat ini duduk di kelas 6. Dia juga tampak tegang menghadapi UN,”ujar Arzeti.
Dia juga menilai UN selama ini menjadi bagian dari standardisasi pendidikan. Padahal standar pendidikan tidak bisa disamakan secara mutlak antara daerah satu dengan yang lain. Banyak faktor yang harus dilihat, baik sarana, fasilitas, sampai kemampuan anggaran pemerintah daerah.
“Saya kira pendidikan tidak bisa distandardisasikan secara linear, karena masing-masing daerah punya kompleksitas masing-masing. Tidak pas kalau siswa di pelosok harus bersaing dengan siswa di perkotaan dengan dukungan fasilitas dan sarana yang lengkap. Sekalipun, banyak juga siswa dari pelosok yang meraih nilai tertinggi UN,” tuturnya.
Sementara itu anggota Komisi E DPRD Jatim Gunawan menilai kemampuan seorang siswa itu yang paling tahu adalah pihak sekolah. UN ini bisa saja menjadi standardisasi saja tapi jangan sampai menjadi penentu kelulusan.
“Kasihan kan kalau selama sekolah siswa tersebut pandai, tapi tidak lulus hanya karena tidak lulus UN. Selain itu, yang masing-masing sekolah di daerah kondisinya berbeda. Kelulusan itu 75% ditentukan pihak sekolah, UN hanya sebagian dari pertimbangan saja,”ujarnya. [tam,iib,cty]

Tags: