Telaah Kritis atas Perpres 20 Tahun 2018

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum FH Universitas Muhammadiyah Surabaya

Baru diterbitkan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) lengsung menimbulkan polemik dan kontroversi. Terbitnya Perpres ini tak lepas dari lesunya kondisi perekonomian nasional, dengan hanya tumbuh sebesar 5,07% pad atahun 2017, masih jauh dari target yang dijanjikan Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (8%). Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi nasional, salah satunya dengan mengundang para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Perpres ini dikeluarkan dalam rangka untuk mendukung perekonomian nasional dan perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan investasi asing.
Perpres No. 20 tahun 2018 tersebut langsung menimbulkan pro dan kontra di tengah di masyarakat. Kelompok yang Pro berargumen; dapat memahami terbitnya Perpres No. 20 tahun 2018, karena dengan adanya investasi asing yang masuk diharapakan akan memperbaiki kondisi nasional, selain akan menaikan pertumbuhan ekonomi, juga yang tak kalah penting adalah akan membuka lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) dan mengurangi tingkat pengganguran di Indonesia. Sementara kelompok yang kontra berargumen; Perpres tersebut bukannya memberikan lapangan pekerjaan baru bagi TKI, tetapi lebih untuk memberi “karpet merah” kepada TKA. Perpres dinilai akan lebih menguntungkan tenaga kerja asing, terutama tenaga kerja dari China.
Salah satu pasal dalam Perpres tersebut yang dipersoalkan adalah pada pasal 7 dan 8, di sana disebutkan; Setiap Pemberi Kerja TKA yang menggunakan TKA harus memiliki RPTKA yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk paling lama 2 (dua) hari sejak permohonan diterima secara lengkap. Begitu juga prosedur untuk mendapatkan visa tinggal dan bekerja cukup 2 hari bisa didapatkan TKA. Kemudahan lain untuk TKA adalah, dihapuskan Peraturan menteri ketenagakerjaan, yang mengatur tentang kewajiban TKA untuk bisa berbahasa Indonesia. Penggunaaan TKA secara legal dibenarkan dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Akan tetapi, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 102 bahwa: tenaga kerja asing yang boleh bekerja di Indonesia adalah tenaga ahli dan konsultan atau skill workers.
Akan tetapi, jika kita mencermati fakta di lapangan, banyak TKA, terutama dari China yang menjadi pekerja kasar atau unskill workers. Hasil investigasi dan temuan dari lembaga Ombusdman RI menyebutkan banyak TKA yang mengisi posisi yang seharusnya bisa diisi untuk pekerja dalam negeri. Temuan itu berdasarkan inverstigasi yang dilakukan pada medio Juni hingga Desember 2017 di Monowali Sulawesi Tengah, sedikitnya 200 TKA dari China yang menjadi sopir. Skema pekerjaan tersebut tidak masuk dalam skema transfer teknologi maupun transfer kemampuan. Kasus sopir asing di Morowali tersebut adalah satu satu di anara sekian banyak permasalahan TKA di Indonesia. Jaminan Pemerintah bahwa TKA tidak akan memakan lapangan pekerja lokal tidak sepenuhnya dapat diterima (Jawa Pos, 27 April 2018). Kita tidak anti investasi asing atau TKA asing, tetapi, kita menolak adanya “invasi” asing melalui regulasi nasional ketenagakerjaan yang mempermudah TKA masuk ke Indoensia.
Telaah Kritis
Untuk menguji apakah terbitlahnya Perpres No. 20 tahun 2018 memiliki dasar filosofis, yuridis, dan sosiologis yang kuat, tentu saja kita perlu mengujinya dengan dasar filosofis yang dalam konstitusi. Jika kita mengacu pada dasar filosofis, pada hakekatnya negara ini didirikan bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Perpres No. 20 tahun 2018 yang mengandung unsur kemudahan akses bagi TKA untuk bekerja di Indonesia, dan pada saat yang sama akan menyulitkan TKI untuk mendapatkan hak pekerjaan yang layak, menunjukkan bahwa Perpres ini kontradiktif dengan tujuan luhur negara ini didirikan.
Sedangkan lemahnya dasar sosiologis dari terbitnya Perpres No. 20 tahun 2018 ini dapat dilihat dari fakta empirik di masyarakat; Pertama, munculnya aksi protes dari sebagian besar masyarakat, terutama kalangan TKI yang menuntut agar Perpres ini dibatalkan, karena akan mengancam keberadaan TKI. Kedua, Perpres tersebut tidak memperhatikan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Perpres tersebut mengabaikan bahwa mash sangt banyak TKI kita yang masih menganggur dan butuh pekerjaan. Meskipun sudah dapat pekerjaan, tetapi mendapatkan upah yang kurang layak. Berdasarkan data BPS, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2017 mencapai 128,06 juta orang. Jumlah tersebut naik 2,62 juta dibanding Agustus 2016 yang sebanyak 125,44 juta orang. Sementara itu, Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka sarjana yang menganggur semakin tinggi, dalam tiga tahun terakhir secara terus-menerus.
Ketiga, fakta empirik yang lebih memprihatinkan adalah TKA yang masuk ke Indonesia seiring dengan semakin meningkatnya asing, terutama dari negara China, sebagiannya adalah unskill workers. China yang menerapkan kebijakan invetasinya dengan prinsip “turnkey project management”; semua kebutuhan proyek investasi didatangkan dari China, mulai dari uangnya sampai tenaga kerjanya, termasuk tenaga kerja kasar (unskill workers). Keempat, Perpres yang mengandung kemudahan bagi TKA untuk bekerja di Indonesia tersebut, akan menggerus kesempatan kerja bagi TKI. TKI kita akan semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, karena porsi TKI kita sudah diambil paksa melalui legalisasi Perpres. Kedaulatan negara, terutama di bidang ketenagakerjaan semakin lemah atas tekanan investasi asing yang hegemonik. Dengan demikian, Perpres ini secara kasat mata telah melahirkan ketidakadilan baru, terutama bagi TKI.
Kelima, Perpres ini jauh dari rasa keadilan dan sangat melukai rasa keadilan masyarakat, terutama dalam hal perlindungan TKI, baik di dalam maupun di luar negeri. Di satu sisi, di dalam dalam negeri masih banyak persoalan ketenagakerjaan, terutama masih banyak angkatan kerja yang menganggur, kalapun bekerja, upah yang diterima masih jauh dari kebutuhan hidup layak. Salah satu bentuk nasionalisme pemimpin adalah lebih mengutamakan kepentingan nasional daripada asing. Keenam, Perpres yang mengandung kemudahan bagi TKA untuk bekerja di Indonesia tersebut, akan menimbulkan kerawanan sosial, yakni kecemburuan sosial di masyarakat. Apalagi didukung dengan dihapusnya Peraturan Menakertrans (No. 35 tahun 2015), yang mewajibkan kewajiban TKA harus bisa berbahasa Indonesia. Kondisi ini akan berpotensi menimbulkan kerawanan sosial, terutama di sekitar tempat proyek. Kecemburuan sosial akan berpotensi mudah tersulut dengan isu-isu ketimpangan sosial, lebih lagi manakala berkait dengan isu etnis. Kondisi sosiologis ini yang kurang dipertimbangkan dalam pembentukan Perpres tersebut.
Janji pemerintah Jokowi yang akan memberikan lapangan pekerjaan bagi 10 juta pencari pekerja, ternyata tinggal janji politik, yang masih jauh panggnag dari api. Fakta yang terjadi, kebijakan presiden melalui terbitnya Perpers No. 20 tahun 2018 ini menunjukkan bahwa janji pemerintah untuk memberikan lapangan pekerjaan ternyata bukan untuk bagi TKI, melainkan untuk TKA.
Karena itu, penulis sangat mendukung langkah-langkah politik dan hukum yang akan dilakukan anggota DPR RI dan elemen masyarakat. Langkah politik dimaksud adalah dibentuknya Pansus Hak Angket DPR tentang Tenaga Kerja Asing untuk menyelidiki lebih mendalam dan komprehensif hal ikhwal yang terkait dengan TKA ini. Sementara langkah hukum adalah tindakan hukum sebagaimana yang akan dilakukan sebagian elemen masyarakat yang akan melakukan uji materiil terhadap Perpres No. 20 tahun 2018 ini ke Mahkamah Agung (MA).

———– *** ————

Tags: