Teror Kebakaran Hutan

Tekad pemerintah mewujudkan “zero hot-spot ” pada tahun 2017, masih harus diupayakan lebih gigih. Tahun ini, titik panas meningkat lebih dari 200% dibanding tahun lalu. Juga terdapat sebaran pada kawasan baru yang terpapar di empat propinsi. Maka TNI (gabungan) dan Polisi harus tetap dikerahkan untuk meminimalisir kebakaran  hutan. Presiden juga minta garansi, bahwa kebakaran hutan dan lahan harus sudah selesai tahun ini.
Data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), lima propinsi sudah menyatakan situasi darurat karhutla (kebakaran hutan dan lahan). Yakni, Riau, Jambi, Sumsel, Kalsel, dan Kalbar. Secara nasional, terdapat 282 sebaran titik panas. Kalbar (150), Sumsel (23), Riau (16), Sulsel (18). Di Kalbar seluas 1,6 juta hektar lahan gambut rawan terbakar. Gubernur Kalbal, Cornelis, telah melarang pembukaan lahan dengan cara membakar. Akan dicabut izin usahanya.
Kambuhnya kebakaran hutan dan lahan saat ini tergolong aneh. Karena musim hujan bertambah panjang dibanding tahun lalu. Bahkan musim kemarau yang biasa berpuncak pada bulan Juli, diperkirakan baru terjadi pada bulan September. Sehingga patut dikhawatirkan kebakaran hutan dan lahan semakin meluas. Sudah terbukti, terdapat daerah baru terpapar karhutla melanda Aceh, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.
Sedangkan daerah “endemik” (langganan) karhutla, juga tetap membara. Antaralain, Taman Nasional Tesso Nelo, di OKI (Ogan Komering Ilir), antara Riau dengan Jambi. Presiden Jokowi telah meng-instruksikan cara pemadaman karhutla lebih sistemik, dengan melibatkan TNI dan Polri. Kementerian Koordinator bidang Politik Keamanan dan Hukum, diminta meng-koordinasi pemadaman karhutla. Melibatkan Kodam, Polda, Kodim dan Polres. Sampai Koramil dan Polsek, dilibatkan.
Hingga awal Agustus 2017, terpantau lebih dari 1.300 titik panas tersebar di 9 propinsi. Kalimantan kini menjadi kawasan paling parah, dengan titik panas terbanyak di Kalimantan Barat (Kalbar). Karhutla tahun ini tergolong menurun jika dibanding dua tahun sebelumnya. Tahun 2016 karhutla turun drastis menjadi 243, karena musim hujan bertambah panjang. Namun anehnya, tahun 2017 berkobar lebih banyak lagi menjadi 558 titik panas.
Pengalaman kebakaran hutan tahun 2015, telah menyebabkan musnahnya 2,6 juta hektar. Kerugian tak ter-perikan mencapai lebih dari Rp 200 trilyun. Serta 50 juta warga pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, terpapar dampak kabut asap. Kebakaran juga diduga dilakukan oleh sindikat pembukaan lahan internasional.  Masyarakat di beberapa daerah yang terdampak langsung 500 ribu jiwa.
Ini (darurat kabut asap) terbesar di dunia. Ternyata bukan sekadar gejala alam, melainkan kebanditan terhadap lingkungan hidup. Karhutla, harus dianggap sebagai aksi teror. Sudah hampir rutin terjadi sejak 15 tahun terakhir. Bahkan negeri tetangga (Singapura dan Malaysia) sudah beberapa kali protes, akibat kabut asap. Tetapi penyelesaian oleh pemerintahan bagai buka-tutup lubang. Gejalanya makin meningkat, disebabkan lemahnya penegakan hukum.
Pencegahan kebakaran, niscaya menjadi kinerja yang wajib dilakukan. Diantaranya melalui penegakan hukum. Bukan sekadar dengan “pedang” UU Nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Tetapi juga mesti dianggap extra-ordinary court, disejajarkan dengan terorisme. Sebab, lingkungan yang sehat merupakan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Perlu pula melibatkan masyarakat, dengan cara pemadaman “istimewa,” yakni shalat istisqo’. Doa minta hujan diturunkan di lokasi hot-spot. Sebab, pengerahan pesawat untuk water bomber, tidak akan mencukupi. Sekadar cara mengurangi luas areal hutan dan lahan yang terbakar. Itupun bagai sirkuit adu cepat dengan pembakaran di tempat lain. Hanya hujan yang bisa mengalahkan kobaran api yang terlanjur meluas.

                                                                                                             ———   000   ———

Rate this article!
Teror Kebakaran Hutan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: