Ujian Assesmen SD

foto ilustrasi

Ujian assesmen nasional (Asnas) berbasis komputer tingkat Sekolah Dasar (SD) sedang dilaksanakan pekan ini. Assesmen selanjutnya menggantikan pola Unas (Ujian Nasional). Bedanya, assesmen diselenggarakan pada kelas 5 (SD), kelas 8 (SMP dan Madrasah Tsanawiyah), serta kelas 11 (SMA, MAN, dan SMK). Melalui assesmen diharapkan diperoleh standar kompetensi akademik minimum. Juga kualitas proses belajar mengajar, serta “iklim” satuan pendidikan.

Assesmen tingkat SMA dan sederajat, serta SMP dan sederajat telah dilaksanakan mendahului. Sejak akhir September lalu, diikuti 36.649 siswa kelas 11 (SMA dan sederajat). Disusul pekan awal Oktober diikuti 58.225 siswa kelas 8 (SMP dan sederajat). Seluruhnya dilakukan secara daring dan semi-daring, masing-masing selama 4 hari ujian. Walau diselenggarakan oleh pemerintah, assesmen berbeda dengan Unas.

Pengalaman pertama melaksanakan assesmen, terasa berdebar-debar. Guru, dan sekolah juga merasakan pengalaman pertama. Sebagai pengganti Unas, assesmen dilakukan pada siswa “minus setahun” sebelum kelulusan tiap jenjang pendidikan. Tujuannya untuk mendeteksi kemampuan akademis siswa. Sekaligus kekurangan pembelajaran pada guru dan sekolah. Pemerintah juga berkepentingan memperbaiki “iklim” satuan pendidikan.

Sebenarnya tidak beda dengan misi Unas. Namun dengan assesmen seluruh stake holder masih waktu setahun melakukan perbaikan, sebelum peserta didik lulus sekolah. Yang paling berbeda, adalah suasana psikologis menghadapi ujian. Assemen tidak menakutkan peserta didik. sehingga bisa menjalani dengan baik. Assesmen bukan untuk “meng-eksekusi” (lulus atau tidak lulus) pada jenjang sekolah. Melainkan sebagai alat ukur kependidikan.

Sehingga evaluasi belajar tahap akhir (dan eksekusi) tetap menjadi hak guru pada satuan pendidikan. Sesuai amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 58 ayat (1), secara tekstual dinyatakan: “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.”

Maka evaluasi belajar menjadi domain (hak) sekolah, bukan domain pemerintah. Konstitusi mengamanatkan pemerintah sebagai regulator, dan fasilitator kependidikan. Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (3), dinyatakan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan UU.”

Dulu (sampai setahun lalu) hasil Unas pada akhir jenjang pendidikan menjadi faktor kelulusan. Bahkan pada masa lalu menjadi faktor tunggal kelulusan jenjang pendidikan. Sekolah selama 6 tahun (SD), hanya ditentukan selama sepekan Unas. Begitu jenjang SM dan sederajat, serta sekolah lanjutan. Lebih ironis, pelaksana eksekusi dilakukan pemerintah, yang tidak pernah mengetahui suasana ruang kelas. Sehingga jelang Unas, menjadi periode paling menegangkan siswa, guru, sekolah, dan orangtua murid.

Setiap peserta didik (juga orangtua, dan guru) berupaya lulus Unas, dengan nilai Unas setinggi-tingginya. Karena hasil Unas menjadi faktor utama berebut kursi masuk SMP, dan sekolah lanjutan. Berbagai cara dilakukan, tak terkecuali menempuh cara pembusukan moral. Diantaranya, berburu bocoran soal, dan membeli jawaban soal Unas. Sehingga sangat banyak terjadi, peserta didik dengan kebiasaan potensi akademi rendah (dan sableng) bisa meraih nilai Unas sangat tinggi.

Murid “sableng” bisa masuk sekolah negeri, dan sekolah favorit. Guru dan sekolah, berkepentingan meluluskan 100% dengan nilai tinggi. Penting, karena akan dijadikan info iklan pada saat PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). Kecurangan menghadapi Unas, dulu, menjadi “hal yang di-ingin-kan” bersama. Maka assesmen nasional (Asnas) bisa menjadi inovasi evaluasi belajar. Pemerintah cukup sebagai fasilitator, menginovasi pendidikan berkarakter, dan melahirkan tenaga terampil.

——— 000 ———

Rate this article!
Ujian Assesmen SD,5 / 5 ( 1votes )
Tags: