Urgensi Menegakkan Kejujuran

Buku Mengundang Cinta-NyaJudul Buku  : Mengundang Cinta-Nya, Menghalau Murka-Nya
Penulis        : Sayyid Ahmad Reza
Penerbit      : Sabil
Cetakan      : I, 2015
Tebal           : 212 halaman
ISBN            : 978-602-279-182-9
Peresensi  : Hendra Sugiantoro
                       Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

Pada prinsipnya, manusia diciptakan di dunia ini untuk membangun kehidupan dalam nilai kebaikan. Apapun nilai kebaikan yang kita lakukan pasti mengundang cinta-Nya. Sebaliknya, murka-Nya terjadi apabila kita mengabaikan nilai kebaikan. Sesungguhnya kebaikan yang kita lakukan akan kembali kepada diri kita, bahkan memiliki dampak positif bagi lingkungan yang lebih luas.
Salah satu nilai kebaikan yang diperintahkan Tuhan adalah menegakkan kejujuran. Benjamin Franklin (1706-1790) pernah berujar bahwa satu orang saja dengan kemampuan memadai, jujur, dan bisa dipercaya dapat membawa perubahan besar untuk kebaikan manusia. Namun, sayangnya, dalam kenyataan hidup, kejujuran merupakan hal yang langka. Satu orang saja yang jujur bisa membawa kebaikan bagi kehidupan, lantas bagaimana jika banyak orang yang tidak memiliki kejujuran?
Buku ini refleksi bermakna bagi kita untuk mengundang cinta-Nya dan menjauhi murka-Nya, salah satunya dengan berlaku jujur. Allah SWT memerintahkan kita berlaku jujur dalam lisan dan perbuatan. Jujur dalam lisan berarti perkataan yang kita sampaikan sesuai dengan realitas tanpa penambahan ataupun pengurangan. Sedangkan jujur dalam perbuatan diwujudkan dengan adanya keselarasan antara perkataan dan perbuatan.
Jujur selalu bersanding dengan kebenaran. Bahkan, Allah SWT menyebut diri-Nya sebagai Al-Haq yang berarti Maha Benar. sementara para nabi dan rasul-Nya selalu memiliki sifat ash-shiddiq yang berarti jujur. Sebagai bentuk cinta-Nya kepada kita yang berlaku jujur, Allah SWT telah menyiapkan balasan kebaikan untuk kita. Disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 70-71, misalnya, Allah SWT akan memperbaiki amalan-amalan kita dan mengampuni dosa-dosa kita (hlm. 68).
Dalam hal ini, sabda Rasulullah SAW layak untuk kita renungkan, “Sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang akan selalu bertindak jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan, sesungguhnya dusta itu membawa kepada keburukan dan keburukan itu membawa ke neraka. Seseorang akan selalu berdusta, sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.”(HR. Muttafaq ‘alaih).
Kejujuran merupakan karakter yang berhubungan dengan kemaslahatan manusia. Kejujuran merupakan tanda keimanan, kesucian jiwa, keindahan sifat, dan ketinggian moral. Allah SWT memperingatkan kita yang tidak jujur dalam lisan dan perbuatan, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”(QS. Ash-Shaf: 2-3).
Kebencian dan kemurkaan Allah SWT tentu saja perlu kita hindari. Kita yang berlaku jujur akan memperoleh keberkahan dalam setiap usaha yang dilakukan. Keberkahan yang dimaksud adalah tambahan pahala kebaikan. Segala hal yang bernilai kebaikan akan mendapatkan keberkahan. Maka, hendaklah kita menegakkan kejujuran agar keberkahan dapat kita peroleh dalam hidup ini. Kita selayaknya melihat kejujuran tidak sebagai akhlak mulia saja, tetapi juga sebagai penyempurna keimanan (hlm. 72).
Dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara, ketidakjujuran yang menggejala seperti korupsi tentu menjadi keprihatinan. Dalam pandangan Islam dan hukum negara, korupsi merupakan perbuatan yang melawan hukum dan bisa merugikan bangsa dan masyarakat secara lebih luas. Tindakan korupsi mengandung unsur penyuapan, pemaksaan, pemerasan, pencurian, pengkhianatan, serta menimbulkan kerusakan dan ketidakadilan.
Dalam skala kecil, kita mungkin saja juga melakukan korupsi. Pengambilan harta secara ilegal termasuk perbuatan batil. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.”(QS. An-Nisa’: 29). Harta haram yang didapatkan bisa berdampak buruk terhadap diri dan keluarga kita. Kita juga dilarang melakukan suap. Dikatakan melakukan suap apabila kita memberikan harta kepada pihak lain yang memiliki kewenangan tertentu untuk memperoleh sesuatu yang bukan hak kita (hlm. 135).
Perbuatan suap-menyuap termasuk kezaliman. Rasulullah SAW mengutuk penyuap dan penerima suap (HR. Tirmidzi). Banyak dampak buruk yang diakibatkan dari suap-menyuap, namun sedikit dari kita yang benar-benar menyadarinya. Perilaku suap-menyuap akan merugikan diri sendiri, orang lain, bangsa, dan negara; menimbulkan kekacauan dan ketidakadilan dalam penegakan hukum; merusak sistem kerja; termasuk dosa besar, dan mendapatkan laknat Allah SWT dan rasul-Nya (hlm. 139-140).
Buku ini membangun kesadaran kita untuk selekasnya meninggalkan ketidakjujuran, termasuk korupsi dan suap-menyuap, serta bentuk perilaku buruk lainnya. Apa yang dibenci Allah SWT selayaknya dihindari, karena cinta-Nya lebih diharapkan demi kebaikan diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara ini.

                                                                                                               —————- *** —————-

Rate this article!
Tags: