Urus PSBB, Menenteramkan Masyarakat

Kegaduhan Sosial (Data dan Distribusi) Bansos Pandemi

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

Tiada Pemda (pemerintah daerah) yang siap benar melaksanakan konsekuensi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Seperti juga tiada Negara yang siap benar menghadapi wabah pandemi virus corona. Terutama konsekuensi status kebencanaan, dengan segala konsekuensi logis. Kewajiban negara (pemerintah, dan Pemda), adalah melindungi “ketahanan” masyarakat, termasuk ketahanan sosial dan ke-ekonomi-an. Masyarakat yang dibiarkan lemah bisa meruntuhkan negara yang kuat.
Tiada yang bersedia menerima bencana, walau disediakan bantuan seluruh kebutuhan hidup. Pemerintah melalui Keppres Nomor 12 tahun 2020 telah menetapkan status Bencana Nasional terhadap pewabahan virus corona. Maka sejak ditetapkan (13 April tahun 2020), berlaku UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Paradigma tersebut memberi mandat kepada BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) melaksanakan seluruh protocol penanggulangan wabah pandemi CoViD-19.
Keadaan darurat bencana selama 90 hari, sampai 29 Mei 2020, lewat periode Idul Fitri 1441 Hijriyah. Walau sebenarnya lebih separuh masa bulan suci Ramadhan tahun (2020) ini tercatat sebagai hari libur empat keagamaan sekaligus (Hindu, Katolik, Kristen, dan umat Islam). Bersambung dengan cuti bersama Idul Fitri berlangsung selama 12 hari, bahkan sampai awal Juni. Tetapi selama libur sangat panjang, pemerintah membatasi mobilitas orang secara berombongan.
Tak dinyana, suasana pandemi global sedunia menyebabkan liburan makin panjang. Dengan kelipatan (minimal) 14 hari, banyak negara melakukan lockdown selama 8 x 14 hari (total 16 pekan). Ada pula yang memilih melakukan social distancing (dan physical distancing) secara ketat. Ada yang memilih PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) secara ketat, yang sebenarnya mirip (mendekati) lockdown terbatas. Masing-masing memiliki konsekuensi logis kewajiban ke-negara-an.
Negara (dengan seluruh jajaran pemerintahan hingga ke daerah, dan desa) memikul tanggungjawab pencegahan pewabahan pandemi global. Serasa sengaja tak sengaja, Indonesia memiliki Inpres Nomor 4 tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan Dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia. Inpres ditandatangani presiden Jokowi pada 17 Juni 2019, belum terdapat virus corona.
Serasa percaya tak percaya, virus corona bagai membenamkan berbagai aspek kehidupan. Suasana kebatinan terasa berat, seiring ditetapkan status Bencana Nasional Non-alam. Melalui Keppres Nomor 12 tahun 2020 telah menetapkan status Bencana Nasional terhadap pewabahan virus corona. Maka sejak ditetapkan (13 April tahun 2020), berlaku UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Paradigma tersebut memberi mandat kepada BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) sebagai leading sector penanganan CoViD-19.
Ledakan Pengangguran
Sebagai pimpinan Gugus Tugas, Kepala BNPB juga wajib berpijakan pada UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Maka sejak pertengahan Maret, masyarakat mulai diarahkan melaksanakan pembatasan sosial. Polisi (bersama TNI) dan Satpol Pamong Praja, dikerahkan merealisasi social distancing. Warung makan, dan warung kopi “dilarang” melayani pembeli di tempat (lalu memilih tutup usaha karena makin sepi).
Gerobak dorong, lapak PKL (Pedagang Kaki Lima) juga tidak dapat beroperasi. Telah dicoba melayani pembelian secara online, namun omzet hanya berlaku sebesar 10% hingga 20%. Begitu pula kalangan pekerja harian, pelaku usaha mikro dan kecil, serta karyawan swasta yang diliburkan. Walau karena sosialisasi social distancing tidak disertai sanksi, menyebabkan kerumunan orang masih kerap terjadi.
Sampai kini, masyarakat telah mengalami PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) selama 4 x 14 hari (delapan pekan). Bukan hal mudah, karena sekaligus kehilangan nafkah, dan penghasilan. Pemerintah memperkirakan telah terjadi pengangguran baru sebayak 4,5 juta orang. Serta jumlah penduduk miskin bertambah 9 juta, menjadi 34 juta jiwa. Berdasar UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bantuan kebutuhan dasar merupakan hak korban bencana.
Pada pasal 26 ayat (2), menyatakan, “Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.” Berdasar pasal 48 huruf d, pemenuhan kebutuhan dasar merupakan protap (prosedur tetap) penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pada pasal 53, terdapat enam jenis kebutuhan dasar. Yakni, air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, dan layanan psiko-sosial. Pemerintah berkewajiban membangun jaring pengaman sosial, berupa bantuan sosial.
Seiring “ongkos” jaring pengaman sosial, pemerintah telah menerbitkan Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebiajakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diseases (CoVid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Diantaranya berisi sistem jaring pengaman sosial berupa bantuan social (Bansos).
Konon Ada Bansos?
Anggaran bansos bersumber dari APBN, APBD Propinsi, APBD Kabupaten dan Kota, serta Dana Desa. Tetapi masih banyak pemerintah daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) belum memahami benar “bagi tugas” bansos. Lebih lagi pemerintahan desa. Padahal seluruh masyarakat sudah terdampak wabah pandemi CoViD-19. Terutama sejak status tanggap darurat dengan social distancing, berupa belajar di rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah. Sehingga banyak rumah tangga yang semula tidak tergolong miskin, menjadi benar-benar miskin.
Ironis, seluruh bansos bagai masih terkesan “konon.” Karena konon, terdapat 30 juta keluarga yang akan memperoleh bantuan yang bersumber dari APBN. Konon pula, terdapat bansos senilai 6% hingga 7% dari APBD Propinsi yang melaksanakan PSBB. Serta konon lagi, terdapat bansos dari APBD Kabupaten dan Kota daerah “zona merah.” Bahkan konon pula terdapat bantuan bersumber dari Dana Desa. Maka seluruh RT (Rukun Tetangga), dan RW (Rukun Warga) mendata warga kampung yang terdampak wabah pandemi virus corona.
Konon, terdapat tujuh lapis bansos, dengan basis data terbaru. Ternyata, realisasi bansos tak sesuai data yang dibuat berbasis tingkat RT, dan RW. Realisasi bansos hanya sekitar 3%. Membuat Ketua RT, Ketua RW, sampai Kepala Desa, takut bertemu warga. Lebih lagi, kalo ada, paket bansos terasa tak sesuai harapan. Kegaduhan distribusi bansos mulai merebak di berbagai daerah, terutama seantero Jawa, dan Sulawesi Selatan.
Suasana sosial (fisik dan psikis) secara umum larut dalam kepedihan mendalam. Maka wajar, masyarakat terdampak bencana mengharap bantuan super cepat segera datang. Seluruh masyarakat terdampak wabah virus corona berhak memperoleh bansos. Di Jawa Timur, misalnya, lebih dari 8,5 juta keluarga berhak memperoleh bansos. Itu meliputi 85% total jumlah keluarga. Dicadangkan anggaran sebesar Rp 2,348 trilyun (6,77% dari total nilai SPBD Propinsi Jawa Timur).
Tetapi masih banyak pemerintah daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) belum memahami benar “bagi tugas” bansos. Lebih lagi pemerintahan desa. Padahal seluruh masyarakat sudah terdampak wabah pandemi CoViD-19. Sudah menganggur di rumah selama 2 bulan! Terutama sejak pengetatan PSBB Sehingga banyak rumah tangga yang semula tidak tergolong miskin, menjadi benar-benar miskin.
“Jurang” perbedaan antara data kemiskinan baru dengan realisasi bansos wabah pandemi virus corona, bisa menjadi pemicu kegaduhan sosial. Bisa berujung kerawanan (tawur) sosial. Diam di rumah dengan pembatasan seluruh kegiatan sosial dan ekonomi selama dua bulan berturut-turut, bisa mengubah psikologis setiap orang. Saat ini, dibutuhkan segera kebijakan merealisasi bansos sesuai data dari RT da RW.
Aparat Pemda (Propinsi serta Kabupaten dan Kota), wajib “jaga diri,” tidak melakukan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Misalnya, bantuan dari berbagai perusahaan haram diklaim sebagai “beli” dari rekanan dengan menggunakan dana bencana APBD. Pemda juga diharap lebih dermawan kepada warga masyarakat, tidak “menidurkan” anggaran di bank selama penanganan CoViD-19.

————– *** ————–

Rate this article!
Tags: