DPD Amphuri Jatim Bakal Lakukan Boikot Pertengahan Januari 2019

DPD Amphuri ketika menyampaikan permasalahan yang dialami travel dan jamaah umrah dan haji, dengan adanya perekaman biometrik yang terkesan tidak sistematis dan kurang baik dalam pelayanan.

(Perekaman Biometrik Dianggap Tak Sistematis) 

Surabaya, Bhirawa
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Asosisiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umroh (Amphuri) Jawa Timur berencana melakukan boikot pemberangkatan umrah ke tanah suci sebagai wujud protes agar dilakukan kajian kembali kebijakan perekaman Biometrik yang merugikan baik dari travel dan jamaah umroh dan haji.
Rencana aksi itu, seluruh pemberangkatan tanggal 20 Januari dan setelahnya dilakukan penjadwalan ulang. Setidaknya sampai ada pengkajian ulang terkait kebijakan rekam Biometrik itu. Travel umroh dan haji mengaku mengalami kerugian sekitar Rp 360 ribu perjamaah akibat pembatalan itu.
“Banyak travel agen yang membatalkan keberangkatannya. Sekitar 100-200 orang jamaah harus reschedule (menjadwal ulang) keberangkatan. Itu dalam satu keberangkatan saja,” ujar Plt Ketua Amphuri Mochamad Sufyan Arif di Surabaya, Sabtu (29/12).
Dijelaskan kembali oleh Sufyan, kalau lenundaan keberangkatan itu merupakan imbas dari penerapan kebijakan rekam beometrik yang dikeluarkan Pemerintah Arab Saudi. Tanpa sosialisasi terlebih dahulu, tiba-tiba langsung diwajibkan bagi jamaah umroh pada 17 Desember 2018 yang ingin berangkat. Sehingga travel agen tidak bisa berbuat banyak. “Dampaknya banyak pembatalan karena visa tidak keluar ini,” sebutnya.
Peraturan rekam beometrik yang diterapkan pemerintah Arab Saudi ini memang menuai polemik di Indonesia. Persyaratan dianggap memberatkan dan tidak tepat dengan kondisi geografis Indonesia. Lokasi perekaman yang hanya di kota besar menyulitkan para jamaah menjangkaunya.
“Di Jawa Timur ada di Surabaya, BG Janction dan Malang, Kantor Pos Besar saja,” ungkap Sufyan. Padahal wilayah Jawa Timur sangat luas dan terdiri dari kepulauan. Butuh biaya tambahan untuk menjangkaunya.
Para travel agen, Sufyan mengakui, kalau mereka juga harus mengeluarkan minimal USD 7 atau Rp 120 ribu perorang untuk sekali melakukan rekam beometrik. Biaya tersebut bisa membengkak jika ditambah transportasi menuju tempat perekaman.
Adanya kebijakan itu, Sufyan meminta pemerintah Arab Saudi mengkaji ulang kebijakanm Jika memang harus diterapkan, diharapkan ada solusi yang tidak merepotkan. Seperti menyatukan rekam biometrik pengurusan paspor di kantor imigrasi dengan keduataan Arab Saudi, atau menyediakan tempat rekam beometrik di bandara keberangkatan.
Usul tersebut dinilai tidak perlu menambah biaya dan tenaga lagi. Karena bisa sekali jalan pelaksanaannya. “Pendek kok waktunya kalau seandainya mau dilakukan di bandara. Hanya 4 menit,” tuturnya.
Disisi lain, diakui Sufyan, banyak dari anggotanya mengalami penurunan dalam dua pekan ini. “Pemberangkatan umrah ini menurun sangat tajam setelah aturan rekam beometrik diterapkan. Sekitar 20 persen lebih,” katanya. [rac]

Tags: