Lahan Kian Terbatas, Bahan Baku Makin Susah Dicari

Ibu Mina saat menyajikan semanggi kepada pelanggannya.

Ibu Mina saat menyajikan semanggi kepada pelanggannya.

Surabaya, Bhirawa
Berbicara makanan khas di Surabaya memang tidak ada habisnya. Begitu banyak penjaja makanan yang bertebaran di sudut-sudut tempat dan salah satu makanan khas yang keberadaannya makin langka di Kota Pahlawan ini, semanggi Suroboyo.

Semanggi Suroboyo, lontong balap Wonokromo
dimakan enak sekali, sayur semanggi kerupuk puli
Harganya sangat murah, sayur semanggi Suroboyo
didukung serta dijual, masuk kampung, keluar kampung

Inilah sepenggal lagu makanan khas Kota Surabaya yakni semanggi yang kini sudah mulai susah dijumpai keberadaannya. Karena hanya sebagian kecil saja pedagang yang masih setia berjualan semanggi, selain persaingan makanan yang semakin ketat juga bahan baku daun semanggi yang mulai susah dicari.
Semanggi yang berasal dari Desa Kendung, Benowo, wilayah pinggiran Surabaya yang berbatasan dengan Gresik ini berbeda dengan makanan seperti lontong balap, rawon maupun rujak cingur yang bisa ditemui di daerah-daerah lainnya, sebab semanggi yang asli hanya ada di Surabaya.
Semanggi termasuk golongan makanan sederhana dengan bahan utama daun semanggi yang merupakan tanaman paku-pakuan yang tumbuh liar di sawah setinggi beberapa sentimeter berwarna hijau berhelai empat.
Sedangkan sayurannya hampir sama mirip pecel yakni toge atau kecambah, daun ketela dan kembang turi, tetapi semanggi terlebih dahulu direbus dan rebusan daun semanggi ini kemudian disiram bumbu berbahan utama dari ketela dicampur kacang, gula merah, bawang putih dan gula ditumbuk halus menyerupai bumbu pecel serta ditambah dengan kerupuk puli.
Harga per bungkus (pincuk) semanggi juga bervariasi dari Rp 5 – 8 ribu  tergantung dari pedagangnya. Bagi pedagang yang berada di kawasan Bukit Palma per bungkus semanggi di jual Rp 5 ribu dan untuk di luar Kendung biasanya dijual Rp 7- 8 ribu per bungkusnya.
“Makanan khas arek Surabaya ini akan tetap kami lestarikan dengan memberikan perhatian maupun pembinaan bagi para pedagangnya karena semanggi sendiri berasal dari Benowo,” ungkap Lurah Sememi Heri Sumargo SE  kemarin.
Selain diberikan perhatian maupun pembinaan secara khusus, para pedagang juga diprioritaskan akan mendapatkan bantuan modal. “Meskipun sudah tidak banyak yang berjualan semanggi karena bahan bakunya yang susah dicari disebabkan lahan yang terkena pembangunan, akan tetapi tetap masih ada yang berjualan terutama di sekitar kawasan Bukit Palma dan tersebar di Surabaya,” jelasnya.
Ternyata semanggi juga menjadi menu utama saat menjamu tamu pemerintahan dari luar daerah seperti dari Kalimantan maupun daerah lainnya yang belum pernah merasakan masakan semanggi. “Kami berharap semanggi tetap dilestarikan sampai kapanpun dan jangan sampai punah,” harapnya.
Sedangkan bagi ibu Mina yang sudah 10 tahun berjualan semanggi mengaku setiap harinya bisa berjualan 60 bungkus semanggi . Dia juga berharap adanya peran dari pemerintah lebih jauh dengan memberikan tempat yang layak sehingga makanan khas semanggi kembali menjadi ikon Surabaya.
“Kami bersedia dicarikan tempat di mana saja asalkan hasil maupun modalnya tidak jauh berbeda saat kami berjualan di pinggiran Kota Surabaya. Karena hampir setiap harinya pendapatan yang kami peroleh sekitar Rp 200 sampai Rp 300 ribu,” pintanya.
Hal senada juga diungkapkan ibu Seni yang memiliki dua cucu. Dia hampir setiap harinya membeli daun semanggi dari daerah lain sebanyak 30  baskom yang dijual pertakarannya Rp 5 ribu dan bisa digunakan untuk 60 bungkus. “Di sini sudah tidak ada lagi daun semanggi jadi belinya dari orang lain yang membibit daun semanggi. Seandainya saja ada lahan untuk melestarikan daun semanggi mungkin yang berjualan semakin banyak” katanya. [riq]

Tags: