Menanti Dewa Penolong Atasi Covid-19

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Tombo teko loro lungo, Duh Gusti enggal singkirno,
Leloro sing wonten negari kulo. Tombo teko loro lungo,
Duh Gusti enggal welaso,
Paringono welas asih mring kawulo.

Demikian kutipan tembang terakhir yang dinyanyikan dan diciptakan oleh Alm Sang Maestro Campursari Didi Kempot yang dijuluki The Godfather of Broken Heart dimana gambaran bagaimana saat ini dunia membutuhkan obat (termasuk vaksin) agar rasa sakit hilang dan dapat hidup kembali seperti sedia kala. Harapan untuk menghentikan laju penyebaran Covid-19 hanyalah vaksin dan obat untuk mengatasi penyebaran laju penularan. Bahkan di tengah kian luasnya pandemi Covid-19 maka vaksin dianggap satu-satunya upaya yang dapat mencegah orang terjangkit virus tersebut. Upaya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun karantina wilayah atau lockdown nyatanya hanya memperlambat penyebaran virus, bukan mencegahnya. Ibarat maraton, saat ini kondisi masyarakat dan virus terus berkejaran hingga sampai ke garis finish, vaksin-lah yang mampu ‘menjegal’ virus agar tidak sampai ke garis finish dan menjadi juara.

Vaksin misalnya saat ini merupakan bentuk upaya mencegah terjadinya korban baik yang meninggal maupun yang sakit. Meski angka kematian (mortalitas) belum signifikan yang berkisar 10 persen namun bila dicermati secara angka penyebaran sangat cepat bahkan Covid-19 adalah salah satu virus yang tercepat dalam konteks penularan terutama melalui saluran pernafasan (inhalation). Berbagai negara berlomba-lomba untuk mengakselerasi penemuan vaksin. Meski beberapa negara sudah sampai uji klinis namun secara resmi WHO menyatakan belum ada vaksin Covid-19. Pembuatan vaksin dengan standar penemuan vaksin berkisar 12 hingga 18 bulan membutuhkan standar yang sangat tinggi, menggunakan bahan yang aman digunakan pada manusia, dan percobaan (uji pra klinik hingga pasca klinik) akan selalu dipantau.

Proses mengembangkan vaksin bukanlah urusan soal perlombaan antar ilmuwan, melainkan perlombaan melawan virus demi kepentingan kemanusiaan sehingga dibutuhkan waktu sekitar 3 bulan untuk menyelesaikan tahap pertama pengujian manusia, kemudian perlu diikuti dengan uji klinis yang bisa memakan waktu hingga 8 bulan. Secara spesifik terdapat tiga tahapan pengujian vaksin yakni pertama adalah melibatkan kelompok-kelompok kecil yang dirancang untuk memastikan vaksin tersebut aman dikonsumsi manusia. Kedua, dengan melibatkan ratusan sukarelawan. Tahap ini tetap dipantau oleh para ilmuwan untuk memastikan respon tubuh terhadap vaksin tersebut. Ketiga, pengujian vaksin dilakukan kepada ribuan orang. Selain diberi vaksin, kelompok pengujian ini juga akan diberikan plasebo untuk menguji efektivitas vaksin. Tentu ada resiko jika vaksin yang diberikan secara tidak benar dapat menyebabkannya menjadi kurang efektif atau lebih mungkin menimbulkan efek samping yang tidak perlu.

Obat Alternatif
Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa sebelum ditemukan vaksin dan obat, maka kita harus hidup “berdampingan” dengan Covid-19 sambil menunggu vaksin penangkal virus corona ditemukan, masyarakat semua wajib menaati protokol kesehatan secara ketat seperti cuci tangan,penggunaan masker, jaga jarak (physical distancing), penyemprotan desinfektan secara rutin serta menjalani perilaku hidup bersih dan sehat yakni berolahraga, makan bergizi, istirahat cukup, dan mengelola stres. Seperti halnya vaksin, obat yang spesifik untuk Covid-19 saat ini belum ditemukan namun sudah ada “obat kombinasi” untuk mengobati namun dalam standar terbatas dan cenderung masih terdapat efek samping dalam penggunaannya. Remdesivir, Avigan, kloroquin (obat malaria), hingga terakhir dexamethasome. Hasil penelitian merilis bahwa Remdesivir memiliki dampak positif yang jelas dan signifikan dalam mempercepat waktu pemulihan dan angka hidup pasien corona. Obat antivirus yang bekerja dengan menghentikan transkripsi RNA virus secara dini.

Saat ini remdesivir telah terbukti dapat menghambat virus COVID-19 secara in-vitro. Remdesivir juga disebut dapat mengurangi angka kematian pasien. Berdasarkan data, kelompok pasien yang diberikan pengobatan Remdesivir memiliki angka kematian sebesar 8 persen. Sementara itu, kelompok pasien yang tidak diberikan Remdesivir angka kematiannya lebih tinggi yakni sebesar 11,6 persen. Selain itu dalam tingkat kesembuhan Remdesivir meningkatkan waktu pemulihan sekitar 31 persen lebih cepat dengan waktu rata-rata pasien Covid-19 yang diberi Remdesivir untuk sembuh adalah 11 hari. Sedangkan pasien yang tidak diberi Remdesivir rata-rata waktu pulih terjadi lebih lama, yakni sekitar 15 hari.

Sedangkan Avigan dan Kloroquin yang memiliki kandungan obat malaria hidroksiklorokuin yang sempat digunakan sebagai obat Covid-19 ternyata tidak efektif dan cenderung menyebabkan gangguan jantung. Avigan, obat yang diklaim dapat berperan dalam proses penyembuhan pasien corona dengan sifat antivirus yang dapat menghambat pertumbuhan virus namun Avigan tidak dapat membantu pasien COVID-19 dengan penyakit bawaan yang lebih parah. Hal yang sama juga pada obat Dexamethasome yang merupakan obat kartikosteroid yang bisa untuk mengatasi reaksi alergi, asma, gangguan darah, hormon, sistem kekebalan tubuh dan masalah pernapasan. Obat ini mudah diperoleh di apotek maupun toko obat namun secara indikasi Dexamethasome yang digunakan untuk penyakit Covid-19 yang sudah kronis atau terhadap pasien yang menggunakan ventilator.

—————– *** —————-

Rate this article!
Tags: