Ahli Unair Terangkan Unsur Pidana Sidang Christian Halim di PN Surabaya

PN Surabaya, Bhirawa
Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menggelar kembali sidang perkara dugaan penipuan proyek pembangunan dengan terdakwa Christian Halim. Pada sidang Selasa (30/3) ini kembali mengagendakan keterangan ahli.

Ahli yang dihadirkan adalah Sapta Aprilianto selaku Ahli Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Dalam keterangannya, Sapta menjelaskan secara rinci terkait unsur-unsur serta delik dalam Pasal 378 KUHPidana. Menurutnya tindakan tipu muslihat dapat dilakukan dengan tindakan nyata maupun hanya lisan saja.

“Tipu muslihat adalah perbuatan sedemikian rupa. Yang artinya rangkaian dari kata dan perbuatan,” kata Sapta Aprilianto dalam keterangannya di persidangan.

Pendapatnya, rangkaian kata bohong juga menjadi hal yang dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan. Hal itu karena korban tergerak karena dampak dari kebohongan tersebut. “Korban tidak akan tergerak atau terdorong melakukan sesuatu jika tidak ada unsur kebohongan yang dilakukan pelaku,” jelasnya.

Dan rangkaian kebohongan, sambung Sapta, terjadi dalam tiga fase. Bisa terjadi sebelum perbuatan, saat perbuatan berlangsung maupun setelah perbuatan. Dan delik penipuan dalam Pasal 378 KUHPidana dinilai memenuhi unsur apabila si korban telah menyerahkan sesuatu kepada pelaku.

Sedangkan unsur dalam Pasal 372 KUHPidana, lanjut Sapta, merupakan delik kejahatan terhadap harta. Fokus perbuatan dalam pasal 372 KUHPidana yaitu pada penggunaan harta yang bukan milik pelaku.

“Misal, apabila dana sudah ada perencanaan untuk kebutuhan A, B, C dan D, tapi penggunanya tidak sesuai peruntukannya, maka disitulah unsur pemberatan terpenuhi,” jelasnya.

Bahkan ahli pun sempat mengibaratkan sebuah transaksi atau perjanjian antar pihak saat membeli sebuah sepeda. “Ada sebuah transaksi, ada wujud sepeda dijual oleh A seharga Rp100 juta kepada si B. Dan B tertarik dan membelinya, namun saat dijual kembali, nilai sepeda itu ternyata hanya Rp10 juta. Hal ini tidak bisa dikatakan penipuan, meski pembeli merugi, karena pembeli sudah lihat secara langsung wujud sepedanya. Ini namanya bisnis. Dan sebaliknya, apabila dalam perjanjian si A menyanggupi kepada si B untuk merakit sepeda dengan nilai Rp100 juta, namun setelah jadi, kondisi komponen sepeda jauh dari nilai Rp100 juta, inilah yang dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan,” beber ahli.

Saat Jaksa mencontohkan, ada sebuah perjanjian Rp 20 miliar tapi hasil appraisal hanya Rp 11 miliar, ahli menegaskan apabila keuntungan yang didapat itu melawan hukum dan tidak sesuai koridor-koridor maka hal itu bisa dicurigai adanya mens rea atau niat jahatnya.

“Perjanjian bisa saja dikemas guna memperlancar niat jahat pelaku. Apabila dalam kesepakatan itu ada unsur melawan hukum berarti ada unsur penipuannya atau bedrog,” tambahnya.

Usai sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Novan B Arianto dari Kejati Jatim mengatakan bahwa pengibaratan oleh ahli soal beli sepeda diatas sama persis seperti halnya yang terjadi pada pemeriksaan perkara ini.

“Ibarat yang ahli pakai sama persis dalam perkara ini. Karena barangnya atau aplikasi proyek kan belum ada, dan terdakwa menjanjikan membangun dengan dana Rp20 miliar, namun saat dilakukan appraisal nilainya jauh dari dana yang dikucurkan korban. Menurut kami disitu unsur penipuan penggelapan nya,” kata Jaksa.

Saat dikonfrontir perihal keterangan ahli. Terdakwa Christian Halim tidak menanggapi pendapat ahli. [bed]

Tags: