Akademisi Rasa Politisi?

Oleh :
Taufiqurochim
Koordinator Isu Agraria YLBHI-LBH Surabaya

Tanggungjawab intelektual adalah meluruskan nalar publik yang bengkok. Konsekuensinya, para intelektual harus berani menggunakan keilmuannya untuk menganalisis dan mengekpos kebohongan atas motif jahat yang tersembunyi dari kekuasaan, sekalipun jabatan harus dipertaruhkan. Dua hari menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak tahun 2024, kini publik masih dihebohkan dengan aksi penabuh genderang dari para guru besar dan civitas akademika terhadap fenomena salah asuhnya demokrasi oleh Presiden Joko Widodo. Setidaknya, penulis mencatat ada sekitar 300 lebih kampus yang ikut bergerak menyatakan sikap tentang kondisi demokrasi hari ini.

Gerakan tersebut tidak luput mendapat respon skeptis dengan penilaian layaknya seperti boneka yang sedang meragakan akting dipanggung treatrikal yang sarat kepentingan politik. Respon nyinyir itu muncul dari pihak-pihak istana, seperti Bahlil Lahdalia dan Rumadi Ahmad yang menyatakan bahwa gerakan para guru besar dari berbagai kampus adalah suara partisipan politik. Respon pihak istana tersebut perlu kita uji kebenaranya dengan sebuah pertanyaan, Benarkah gerakan tersebut pesanan dari salah satu Paslon tertentu? Mengapa gerakan para guru besar begitu masif disaat menjelang Pemilu? Apakah benar demokrasi semasa rezim Joko Widodo kian ambruk?

Intelektual kelas kambing
Integritas para akademisi cukup dipertanyakan oleh pihak istana, anggapan itu disatu sisi bisa dianggap wajar. Pasalnya, bila kita lihat secara historis dari tahun 2019 s/d 2020, hubungan intitusi kampus dengan kekuasaan cukup mesra. Misal ambil contoh, terdapat fakta setidaknya ada lebih dari 37 kampus yang mengancam sanksi mahasiswanya yang ikut demontrasi terhadap UU KPK dan UU Cipta Kerja. Kuat dugaan adanya kebijakan kampus yang melarang mahasiswanya untuk mengikuti aksi demontrasi tersebut terjadi karena adanya ancaman dari pemerintah.

Potret krisis moral intelektual memang pernah terjadi. Di beberapa kesempatan para intelektual kampus tengah terlacak mempertaruhkan keilmuannya untuk enggan menyelamatkan demokrasi, ekologi dan melawan kesewenang-wenangan dari rezim. Akademisi semacam ini sedang menjalankan intelektualnya tidak secara profesional. Meminjam istilah dari Romo Mangun, mereka adalah “intelektual kelas kambing”, hasrat menjadi ‘tukang’ pesanan dari kekuasaan lebih besar dibandingkan kebenaran ilmu pengetahuan itu sendiri. Singkatnya, kebenaran olehnya dibuat karena kekuasaan yang melatar belakanginya. Untuk mengkontraskan pandangan tersebut, kita dapat lihat manakala ada beberapa rektor kampus yang membuat video tandangin soal Pemilu atas pesanan dari pihak kepolisian.

Untuk mempertegas apakah benar gerakan para akademisi tersebut merupakan titipan dari Paslon tertentu di Pemilu 2024? mungkin saja anggapan itu bisa dibenarkan manakala tradisi intelektual kelas kambing kian disuburkan oleh kekuasaan. Namun di sisi lain, anggapan tersebut cukup tendesius bila pihak istana mengucapkan tanpa dengan pembuktian yang valid.

Meluruskan yang bengkok
Sebagian masyarakat menilai label akademisi sering dilekatkan kepada seorang yang hanya pandai berteori sahaja. Melalui narasi ini kerapkali dikontradiksikan dengan istilah “seorang akademisi yang hanya bisa berteori dan seorang non-akademisi yang bisa kerja”. Narasi ini kerapkali tak luput mendapat hukuman negatif oleh publik, melalui label seorang teoritis hanyalah sekumpulan orang yang suka membual dan tidak bisa kerja. Nampaknya anggapan ini nyaris laris terjual dan sampai terbawa sebagai instrumen untuk mengiklankan citra diri oleh para elit politik yang mempunyai kepentingan pada kontestasi Pemilu.

Namun, untuk menjawab hal itu, mari kita bertamasya intelektual dengan menengok bagaimana sejarah peradaban itu terbentuk. Alkisah, Thales sebagai seorang pemikir dan ilmuwan perbintangan pada masa abad Yunani Kuno, pernah dicemooh karena miskin dan sering berfikir dalam tataran paradigmatik. Suatu ketika saat musim dingin ia tengah memprediksi bahwa tahun depan akan terjadi panen buah zaitun yang berlimpah; demikianlah, dengan uangnya yang tak seberapa itu ia membayar uang muka untuk menyewa alat pengolah buah zaitun di Chios dan Milethus, yang ia bayar dengan harga rendah karena tak seorangpun yang menolak tawarannya. Ketika musim panen telah tiba, dan membutuhkan alat itu segara, dan menghasilkan banyak uang. Jadi Thales ingin membuktikan pada dunia bahwa para pemikir (filsuf) bisa kaya dengan gampang jika ia mau. Hanya saja ambisi thales menuju kearah lain (Betrand Russel:2007).

Sepenggalan cerita dari Thales tersebut menjadi pembelajaran yang penting untuk dipetik maknanya dalam konteks pembahasan isu dalam topik ini. Pertama, kerja para intelektual mampu menciptakan hepotesis-hipotesis untuk menguji sebuah kebenaran dan bahkan mereka mampu membuktikan sebuah kebenaran melalui metodologi ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Kedua, bukan semata-mata kebenaran yang ingin dicapai, tetapi kearifan dan kebijaksanaan yang berlandaskan moral dan etika adalah pondasi atas pengetahuan.

Dalam tulisan, The Responsibilty of Intellectuals (1967), Noam Chomky juga menyampaikan bahwa intelektual berada dalam posisi untuk mengekspos kebohongan pemerintah, untuk menganalisis tindakan sesuai dengan penyebab dan motif niat tersembunyi mereka. Oleh sebab itu, secara historis sebenarnya akademisi mempunyai tugas yang besar nan mulia, yakni menjaga moral dan etika bangsa. Melalui bekal ilmu pengetahuanya itulah mampu memberikan kontribusi yang baik bagi perkembangan peradaban dunia. Lantas bagaimana dengan gerakan dari para akademisi/guru besar soal demokrasi dipenghujung kepemimpinan presiden Joko Widodo yang disuarakan kian terpuruk itu?

Suara-suara kritis dari para akademisi tersebut merupakan sebuah akumulasi dari hasil perenungan dan kajian yang mendalam. Kondisi demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja hari ini. Data dari Economic Intelligence Unit (EIU) menyebutkan bahwa Indonesia masuk dalam kategori demokrasi yang cacat (flawed democracies) yakni dengan skor 6,71 poin, skor tersebut bergerak stagnan dari tahun 2021-2023. Survei Indikator Politik (2021); tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap pelaksanaan demokrasi nasional meningkat tajam dari 32% menjadi 44%. Sementara itu, responden yang puas kian turun dari 60,7% menjadi 47,6%. Kondisi ini ditangkap oleh YLBHI karena faktor kesewenang-wenangan pemerintah. Berdasarkan catatan YLBHI pada tahun 2019 ada sekitar 1.144 orang dan meningkat pada tahun 2020 menjadi 3.539 orang yang ditangkap secara sewenang-wenang karena bersikap kritis terhadap kebijakan rezim Joko Widodo.

Al hasil, diakui atau tidak demokrasi kita kian berada di penghujung senja, apabila tidak gercap menemukan cahaya maka akan terancam meredup dan hilang. Sikap tegas nan kritis dari seorang akademisi akhir-akhir ini sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba manakala menjelang Pemilu 2024 sahaja. Apabila pihak istana besar telinga, maka alarm kondisi demokrasi yang disuarakan oleh para akademisi diberbagai kampus itu dapat dilacak sejak rezim Joko Widodo sedang berkuasa bahkan jauh dari itu, mereka tidak pernah abstain!

Pertanyaan yang tidak kalah penting adalah apakah gerakan seruan dari para akademisi akan membuat publik semakin tergugah? Atau sebaliknya gerakan para akademisi kehilangan legitimasinya sebagai kaum terdidik yang mampu mencerahkan publik ikut bersolidaritas untuk bergerak? Pertanyaan ini musti jadi refleksi bagi para akademisi. Apabila nyatanya publik tidak tergugah maka kerja-kerja para akademisi patut dipertanyakan.

———- *** ———–

Rate this article!
Akademisi Rasa Politisi?,5 / 5 ( 2votes )
Tags: