Akademisi: Sidang MKMK Wilayah Etik, Tak Ada Hubungan dengan Putusan MK

Dosen Fakultas Hukum Untag Surabaya, Ahmad Solikin Ruslie.

Jombang, Bhirawa.
Akademisi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (Untag), Ahmad Solikin Ruslie menyampaikan pandangan terkait sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang digelar pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal batas minimal usia calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres).

Ahmad Solikin Ruslie mengatakan, dirinya ‘appreciate’ atas dibentuknya MKMK.

“Masalahnya kenapa baru sekarang, padahal itu amanat UU MK, selain itu dugaan terhadap hakim MK yang melanggar etik sejatinya sudah lama terjadi,” kata Ahmad Solikin Ruslie, Minggu (05/11).

Ahmad Solikin Ruslie menegaskan dan mengingatkan bahwa, putusan MK adalah bersifat final dan mengikat.

“Artinya berlaku saat diucapkan dan tidak ada upaya hukum lanjutan,” ujarnya.

“Sedangkan MKMK adalah bertugas pada wilayah etik hakim, dan tidak ada hubungannya dengan putusannya. Artinya putusan tetap berlaku mengikat. Dari sisi normanya memang begitu. Namun jika MK dalam mmbuat keputusan terbukti melanggar etik, tentu keputusannya dapat dibatalkan atau setidaknya tidak mempunyai kekuatan mengikat,” paparnya.

Menurut Dosen Fakultas Hukum Untag Surabaya itu, memahami tafsir tersebut sebenarnya merupakan hal yang mudah.

“Misalnya jika pembuat UU (Undang-Undang) dalam mmbuat UU terdapat moral hazard, maka dapat dijadikan alasan melakukan uji formil, dan akibatnya jika terbukti UU dapat dibatalkan, siapa yang mmbatalkan?, karena UU, tentu MK,” ulasnya.

“Begitu juga jika moral hazard itu jika terjadi pada hakim MK. Dengan menggunakan tafsir komparatif seharusnya putusan MK juga dapat dibatalkan. Hanya saja pertanyaannya siapa yang membatalkan? apakah MKMK mempunyai kewenangan untuk itu?, karena kewenangan atributif MKMK adalah menangani pelanggaran etik dan bukan mengoreksi putusan. Inilah problem ketatatnegaraannya,” bebernya.

Namun demikian lanjut dia, peluang untuk mmbatalkan putusan MK tetap ada jika memang hakim terbukti melanggar etik dan putusannya justru menciptakan persoalan dan keresahan serta tidak sesuai konsitusi.

“Maka putusan yang dihasilkan melalui proses (formil) yang tidak benar, salah satunya pelanggaran etik,” tandasnya.

Masih menurut pandangan Ahmad Solikin Ruslie, jika mengacu pada UU Kekuasaan Kehakiman, yaitu Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman, yang mana putusan dapat dibatalkan ketika hakimnya terbukti melanggar etik, namun mendasarkan pada UU MA terhadap kasus di MK ini sebenarnya kurang tepat, karena ketentuan tersebut berlaku di MA, bukan untuk MK.

“Akan tetapi dengan menggunakan tafsir komparatif dan MK adalah bagian dari pemegang kekuasaan kehakiman, maka roh dari pasal tersebut dapat diterapkan untuk MK dalam kasus skandal Putusan Nomor 90,” pungkasnya.(rif.hel)

Tags: