Akademisi Untag Surabaya Berikan Pandangan Polemik Kasus Kabasarnas

Akademisi Untag Surabaya, Ahmad Solikin Ruslie

Jombang, Bhirawa
Akademisi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (Untag), Ahmad Solikin Ruslie memberikan pandangan terkait polemik kasus yang melibatkan Kabasarnas, Marsdya Henri Alfiandi.

Menurut Ahmad Solikin Ruslie, pada prinsipnya, semua yang melanggar peraturan perundang-undangan dan merugikan keuangan negara adalah korupsi dan harus diberantas, siapapun orangnya.

“Apalagi ini OTT (Operasi Tangkap Tangan), maka tidak perlu ada pembatasan jumlah minimal tertentu. Sehingga terhadap persoalan ini tidak diperlukan parameter jumlah minimal Rp 1 Miliar, karena sifatnya gratifikasi atau penyuapan,” kata Ahmad Solikin Ruslie, Minggu (06/08).

Sekadar diketahui, Marsdya Henri Alfiandi diduga terlibat kasus korupsi setelah OTT KPK kepada sejumlah orang di Jakarta. Henri Alfiandi diketahui merupakan anggota militer aktif.

Menurut Ahmad Solikin Ruslie, tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat ‘extraordinary crime’ dan oleh karenanya harus ditangani pula sesuai sifatnya yang extraordinary (luar biasa).

“Maka jika sama-sama ingin menegakkan pemberantasan korupsi, sebenarnya tidak terlalu perlu mempersoalkan, apakah penangkapan anggota TNI aktif oleh KPK menyalahi prosedur atau tidak,” terang Ahmad Solikin Ruslie.

OTT menurut dia, hanya merupakan tindakan hukum (formal) dalam menindak suatu dugaan adanya tindak pidana, sehingga jangan sampai hal formil menghilangkan aspek materiilnya.

“Maka apabila terdapat dugaan ketidaktepatan mengenai prosedurnya, baik penangkapan maupun penetapan tersangka. Menurut saya tidak perlu ada yang meminta maaf, dan saling rebutan siapa yang paling berhak. Bukankah terdapat upaya praperadilan?,” imbuh dia.

Menurut dia, alangkah lebih baiknya jika prosedur formil yang ‘dianggap tidak tepat’ tersebut diuji di pengadilan melalui pra-peradilan.

“Sebagai upaya yang lebih mengedepankan ‘hukum’. Selain itu dalam sistem peradilan kita juga terdapat sistem koneksitas (peradilan bersama). kewenangan penyelidikan, penyidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan,” tambahnya.

Masih menurut Ahmad Solikin Ruslie, jika terdapat anggota militer aktif yang menduduki jabatan sipil, ketika melakukan tindak pidana korupsi, maka tunduk pada peradilan sipil.

“Sebab mereka korupsi karena kedudukannya sebagai pejabat yang melakukan tindakan korupsi. Sehingga yang melekat adalah jabatannya bukan dari mana pejabat tersebut berasal,” ulasnya.

“Kiranya terhadap persoalan ini perlu mencermati lagi Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyeledikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum,” paparnya.

Sementara itu beberapa waktu yang lalu, Akademisi Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, Syaiful Bahri menjelaskan, di dalam sistem peradilan pidana, ada yang dinamakan azas koneksitas.

Dengan azas itu kata dia, jika pelaku pidana itu nyata-nyata berasal dari militer, maka yang bersangkutan harus diadili oleh peradilan militer. Tapi jika sipil masuk peradilan sipil.

“Nah ini persoalannya memang kalau Undang-Undang (UU) Tipikor itu masih tarik ulur. Artinya menyatakan bahwa penegak hukum boleh melakukan penindakan terhadap seorang militer sekalipun. Sehingga ini yang jadi persoalan perdebatan,” beber Rabu (2/8) lalu. [rif.ina]

Tags: