Akhir Seteru Cebong Kampret?

Oleh:
Sugeng Winarno
Penulis adalah Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.

Akhirnya Prabowo bertemu dengan Jokowi. Momen yang sudah ditunggu banyak pihak itu sontak bikin heboh. Perjumpaan kedua tokoh yang selama ini jadi rival dalam pilpres itu bisa berdampak ke pendukung masing-masing. Dalam pertemuan itu, Jokowi dan Prabowo menyampaikan bahwa sudah tak ada lagi istilah pendukung 01 dan 02. Sudah tak ada lagi Cebong dan Kampret. Yang ada hanya Garuda Pancasila. Semua sekarang Merah Putih. Namun, akankah seteru kedua pendukung antara Cebong dan Kampret benar-benar bisa redah?
Pertemuan yang berlangsung Sabtu, (13/07) di stasiun MRT Lebak Bulus itu dilanjutkan dengan naik MRT dan diakhiri dengan makan siang. Dari pertemuan yang diliput banyak media massa cetak maupun elektronik itu juga meramaikan jagat dunia maya. Melalui beragam platform media sosial (medsos), sejumlah orang menuliskan komentar atas peristiwa itu. Ada yang bernada gembira dan menganggap pertemuan dua tokoh itu bakal mampu menyatukan masyarakat yang selama ini terbelah karena pemilu.
Namun, ada juga sebagian masyarakat yang kecewa atas sikap Prabowo pada Jokowi yang terlihat dalam pertemuan itu. Di beberapa laman medsos, sejumlah pendukung Prabowo seperti belum mampu move on. Sejumlah pendukung Prabowo seperti kecewa dengan sikap Prabowo yang tiba-tiba berbalik arah jadi mengakui kemenangan Jokowi. Hal ini terlihat dari munculnya sejumlah narasi kekecewaan beberapa pendukung Prabowo yang beredar lewat Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp.
Pertemuan yang cukup mengagetkan bagi kedua kubu pendukung masing-masing pasangan ini memang memunculkan reaksi beragam. Tak semua orang mampu menilai pertemuan kedua tokoh ini sebagai sesuatu yang positif. Walaupun mayoritas masyarakat berharap pertemuan kedua elit politik itu sebagai langkah awal dalam rekonsiliasi politik. Masih perlu narasi-narasi politik yang bisa menjadi “obat penenang” bagi kedua kubu yang masih memendam bibit seteru.
Seteru Cebong Vs Kampret
Istilah Cebong muncul sebagai sebutan untuk pihak yang pro Jokowi. Sementara Kampret julukan untuk pendukung Prabowo. Awal penyebutan Cebong mungkin karena hobi Jokowi yang suka memelihara kodok, sehingga pengikutnya disebut Cebong. Cebong adalah hewan yang bakal menjadi kodok ketika besar. Sedangkan Kampret adalah kelelawar kecil atau bisa disebut anak kelelawar.
Lahirnya Cebong dan Kampret tak bisa lepas dari munculnya dua kudu yang beradu. Kondisi ini yang menjadikan situasi biner. Kontestan akan terbelah menjadi dua saja, yakni kelompok lawan dan kawan. Situasi biner akan menciptakan kondisi bahwa masing-masing kubu hanya mengakui dan memperjuangkan bahwa kelompoknyalah yang terbaik sementara kelompok lawan sebagai yang buruk. Masing-masing kubu meyakini dan berusaha mempertahankan kubunya sebagai pemenang.
Menurut Yasraf Amir Piliang (2003) dalam bukunya Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial dinyatakan bahwa situasi dan cara berfikir oposisi biner akan melahirkan friend-unfriend, like-dislike, leave-join, on-off, follow-unfollow. Perilaku politik biner ini diperparah dengan adanya medsos yang melahirkan pendukung masing-masing kubu dengan sebutan Cebong versus Kampret. Kontestasi politik hanya dilihat dalam perspektif satu putih dan yang lain hitam.
Seteru Cebong dan Kampret ternyata terus berlangsung hingga pilpres berakhir. Seteru terus berlanjut karena terjadi sengketa hasil pemilu hingga diselesaikan lewat Mahkamah Konstitusi (MK). Sampai keputusan MK yang memutuskan menolak permohonan kubu Prabowo pun, Cebong Kampret masih sengit berseteru. Hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan keputusan pemenang pilpres, pendukung kedua kubu juga belum sepenuhnya bisa bersatu.
Pertemuan antara Jokowi dan Prabowo diharapkan bisa menjadi penyatu seteru antara kedua pendukung fanatik. Namun tak cukup hanya lewat momentum singkat itu saja. Perlu dibangun narasi-narasi lanjutan dari para elit yang bisa menyatukan para Cebong dan Kampret. Narasi para elit yang mendamaikan dan menyatukan perlu dibuat dan diviralkan lewat beragam platform medsos.
Narasi yang Menyatukan
Berbagai narasi politik yang adem diharapkan mampu meredam sejumlah pihak yang masih belum legawa terhadap bersatunya kedua tokoh yang telah berkontestasi seru dalam pilpres. Bagaimanapun salah satu pemicu yang menimbulkan perpecahan adalah munculnya beberapa narasi politik yang dilontarkan para elit saat jelang, masa kampanye, hingga pasca pencoblosan.
Munculnya beberapa narasi yang saling serang seperti layaknya saat kampanye harus dihentikan. Narasi berwujud ungkapan yang bernada menyerang seperti politisi sontoloyo, politik genderuwo, tampang Boyolali, dan sejumlah narasi politik lain bermunculan saat kampanye. Lahirnya narasi politik tuna etika waktu itu bisa jadi bibit seteru antara kedua kubu. Situasi inilah yang menjadikan para pendukung kedua kandidat semakin memanas.
Tak jarang para Cebong dan Kampret sering berseteru di dunia maya dengan sejumlah narasi yang saling ejek bahkan cenderung saling menjatuhkan. Diantara para Cebong dan Kampret seperti tak akan kehabisan amunisi untuk saling serang demi kemenangan masing-masing calon yang didukungnya. Cebong dan Kampret adalah para pendukung fanatik yang rela terjun total demi kemenangan calon pemimpin yang didudukungnya.
Salah satu pemicu munculnya Cebong dan Kampret adalah narasi desktruktif. Waktu itu narasi dibuat lebih didasari oleh semangat untuk mencari kelemahan lawan dan menjadikan narasi politik tersebut sebagai alat menjatuhkan lawan politik. Narasi politik tak dibangun dengan sikap kesantunan dan menjunjung etika. Yang terjadi adalah perang narasi politik sampah yang tak ada nilai edukasinya bagi masyarakat.
Untuk itu, sebagai kelanjutan dari suasana adem yang telah tercipta dari pertemuan Prabowo dan Jokowi maka hal penting yang harus dilakukan adalah perlu dimunculkan narasi-narasi politik yang menyatukan. Narasi-narasi ini perlu dibuat oleh para elit agar bisa menjadi media pemersatu para pendukung masing-masing yang mungkin belum bisa menyatu. Para elit politik harus memberi tauladan lewat sikap dan tutur katanya dan berusaha dapat menjadi contoh baik bagi para pendukungnya.
Kini sosok yang selama ini berseteru itu telah berjabat tangan. Keduanya ngobrol gayeng di gerbong kereta MRT. Stasiun MRT yang terbuka itu bisa jadi simbol pertemuan itu adalah perjumpaan untuk publik yang terbuka dan bisa diketahui oleh siapa saja. Rangkaian gerbong panjang MRT itu juga bisa bermakna bahwa Jokowi dan Prabowo siap bersinergi demi membawa gerbong Indonesia terus maju melaju sampai ke tujuan masyarakat yang adil makmur sesuai cita-cita dan harapan seluruh warga negara.
Semoga pertemuan Prabowo dan Jokowi bisa jadi simbol yang mampu menyatukan semua pihak yang selama ini terbelah. Semoga para Cebong dan Kampret mampu menemukan beberapa pesan baik dari pertemuan kedua tokoh bangsa itu. Selanjutnya, semoga jabat tangan, tawa dan senyum lepas kedua tokoh itu mampu menyatukan para Cebong dan Kampret. Semoga bisa terwujud, para Cebong dan Kampret melebur jadi satu, jadilah Garuda Pancasila dan Merah Putih.

——– *** ———

Rate this article!
Tags: