Akuntabilitas Demokrasi Khas Indonesia

??????????Oleh :
Djoko Sulistyono
Peneliti pada  Badan Litbang  Kemendagri

Setelah kejatuhan rezim Orde Baru (Orba) pada tahun 1998, kemudian  merebak berbagai konflik yang melanda  wilayah   di tanah air.  Meskipun tidak ada konflik yang berskala besar dan luas pada waktu  Orba berkuasa, namun bukan berarti tidak ada permasalahan dalam kehidupan  berbangsa dan bernegara pada saat itu. Jika kita tengok sejarah  masa lalu,  rezim Orba seringkali menggunakan pola-pola represif untuk meredam setiap gejolak yang timbul di masyarakat. Penyelesaian dengan cara-cara otoriter yang tersentralisir tersebut memang mampu meredam berbagai permasalahan yang sempat mengemuka. Namun hal itu bukanlah menyelesaikan masalah. Hal ini disebabkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang menabukan keberagaman (pluralitas), demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Ibarat “bara dalam sekam”,  tumpukan berbagai masalah kehidupan berbangsa tersebut memperoleh momentum dan “meledak”  dahsyat menjadi kerusuhan sosial pada waktu itu.
Adanya kekhawatiran terhadap  konflik sosial dengan eskalasi besar dan luas menjadi hal yang tak terhindarkan di era reformasi saat ini. Pengelolaan atau manajemen konflik menjadi sesuatu yang harus dilakukan dan diwujudkan. Konflik-konflik tersebut mengakibatkan kerugian, kepedihan, dan dendam  yang tidak berkesudahan. Konflik-konflik yang bersifat vertikal, horizontal dan diagonal tersebut memunculkan pertanyaan  mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perkembangan iklim demokrasi di Indonesia kian hari kian bertambah sehat. Hal ini terlihat dari penyelenggaraan  Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung terhadap Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang telah digelar di berbagai daerah di Indonesia sejak dicanangkannya era reformasi 17 tahun yang lalu.  Pemilukada yang dilaksanakan di sejumlah daerah kadang  menimbulkan  masalah yang mengemuka  hingga ke pengadilan. Permasalahan yang menyangkut Pemilukada  pada  tataran akar rumput (grassroot), biasanya terjadi karena persaingan antar elit politik di arena tersebut yang sering memanfaatkan massanya untuk kepentingannya.   Namun, hal itu justru kadang-kadang membuat adanya dinamika yang berkembang dalam pelaksanaan demokrasi di tanah air. Hanya saja yang  menjadi  perhatian para elit politik di tanah air adalah perlunya mereka menanamkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme bangsa  kepada massa pendukungnya. Paling tidak, dengan cara itu  diharapkan  keinginan  founding fathers bangsa ini yang dengan susah payah membangunnya, mulai dari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928 dan momentumnya pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945, harus benar-benar  diinternalisasikan kepada  massa pendukungnya. Hal itu diharapkan dapat meminimalisir konflik yang terjadi akibat dijalankannya Pemilukada di beberapa  daerah.
Konflik yang terjadi dalam implementasi demokrasi
Konflik dapat dibagi menjadi tiga, yakni : konflik vertikal, horizontal dan konflik diagonal. Konflik vertikal adalah konflik antar tingkatan kelas antar tingkatan kelompok seperti konflik orang kaya dengan orang tidak punya atau konflik antara pemimpin atau manajer (pimpinan) dengan pengikut atau dengan anak buahnya. Sedangkan konflik horizontal ini terjadi antara individu atau kelompok yang sekelas atau sederajat seperti konflik antar bagian dalam perusahaan atau konflik antar organisasi massa yang satu dengan lainnya. Konflik diagonal adalah konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi yang menimbulkan pertentangan secara ekstrim dari bagian yang membutuhkan sumber daya tersebut.
Kasus konflik di Aceh, awalnya disebabkan perlakuan yang tidak adil atas alokasi sumber daya ekonomi oleh Pemerintah. Pada saat ini, ketika  waktu pelaksanaan Pemilukada yang lalu di Aceh tidak terjadi konflik yang signifikan mengganggu jalannya roda pemerintahan di daerah itu. Akuntabilitas demokrasi di Aceh justru sudah berjalan tanpa perlu menggembar-gemborkan dirinya sebagai penganut paham demokrasi. Jika lihat sejarah ke belakang, maka rakyat Aceh ketika awal kemerdekaan Indonesia memberikan sumbangan  yang cukup berarti bagi bangsa Indonesia,  secara tidak langsung  telah  menanamkan rasa kebangsaan dan nasionalisme yang sesungguhnya. Bangsa Indonesia yang terdiri dari  beraneka ragam suku bangsa harus menerima pelajaran berharga dari pelaksanaan Pemilukada yang sukses di Aceh dengan kemunculan calon independen.  Pelajaran berharga ini dapat saja ditularkan ke daerah-daerah  lain di Indonesia yang akan melaksanakan Pemilukada serentak pada akhir tahun 2015 ataupun mungkin mundur pertengahan tahun  2016 mendatang.
Mencermati situasi dan kondisi yang berkembang akhir-akhir ini, harus diakui bahwa betapa beratnya masalah akuntabilitas dalam pelaksanaan demokrasi yang khas  Indonesia pada  saat ini. Paling tidak, ada empat hal yang perlu dicermati  yaitu : pertama, masih lemahnya akuntabilitas pengurus partai politik baik kepada anggotanya, masyarakat (publik) maupun kepada negara. Kasus kongres partai politik  yang maju-mundur, pecahnya sejumlah partai politik  menjelang kongres, belum optimalnya fungsi-fungsi partai politik, dan belum lancarnya penyampaian laporan keuangan partai politik  kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kedua, masih lemahnya akuntabilitas para wakil rakyat kepada pemilihnya.    Hal ini tampak jelas dari minimnya komunikasi politik antara wakil rakyat dengan para pemilihnya, kurang kenalnya rakyat pemilih dengan wakilnya di parlemen, belum adanya kebijakan yang didasarkan aspirasi rakyat pemilih, hingga kenyataan lebih dikenalnya asal fraksi anggota dewan  daripada daerah pemilihannya.
Ketiga, format akuntabilitas pejabat eksekutif dan  legislatif bagi masyarakat/ publik Kurang adanya tanggung jawab  pejabat eksekutif  dan legislatif kepada masyarakat/ publik dalam pengelolaan keuangan negara (Anggaran Pendapatan Belanja Negara/ APBN) dan keuangan daerah  (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah/ APBD). Contoh aktual nyata terjadi adanya perseturuan antara pihak eksekutif yang diwakili oleh Gubernur  DKI Jakarta dengan pihak  legislatif yang diwakili DPRD DKI Jakarta, terkait permasalahan APBD Provinsi DKI Jakarta. Yang patut disayangkan, kedua pihak tidak menyadari bahwa keduanya sebenarnya merupakan  bagian dari Pemerintahan Daerah. Hal ini pembelajaran bagi daerah-daerah  lainnya di seluruh Indonesia, jangan sampai  terjadinya ketegangan antara pihak eksekutif dengan legislatif, mengakibatkan  masyarakat (publik) menanggung akibatnya.
Keempat, belum mantapnya akuntabilitas pejabat birokrasi kepada instituennya. Hal ini terlihat dari  ditemukannya pejabat birokrasi yang tertutup atau tidak mau membuka diri untuk diakses oleh pers, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kalangan masyarakat lainnya. Adanya kekurangan informasi yang dikeluarkan oleh aparat birokrasi kepada publik terkait dengan pelayanan yang diberikan, adalah merupakan cermin dari masih rendahnya tingkat akuntabilitas birokrasi.
Keempat permasalahan yang terungkap tersebut boleh dikatakan belum dapat terpecahkan dan masih eksis di dalam realitas politik di tanah air. Akibatnya, jika dibiarkan berlarut-larut dapat mengakibatkan kinerja struktur politik terganggu, kualitas proses politik menjadi kurang bermutu, dan budaya politik yang rasional dan dewasa belum dapat menjadi suatu kenyataan.     Oleh karena itu, diperlukan  upaya agar bangsa Indonesia mampu mengatasi tatanan demokrasi kita.
Akhirnya, adanya penekanan pada aturan main demokrasi (etika politik)   sehingga diharapkan dapat merupakan pintu masuk untuk memperbaiki akuntabilitas dalam pelaksanaan demokrasi. Paling tidak, dengan cara itu segenap daya dan tenaga memang dapat dicurahkan melalui pembangunan politik  bagi upaya  akuntabilitas pelaksanaan demokrasi. Akuntabilitas pelaksanaan demokrasi diharapkan  meningkatkan dan membangkitkan  pemahaman wawasan kebangsaaan  serta  menambah inspirasi bagi seluruh komponen bangsa Indonesia untuk  melangkah maju mengisi ke arah  demokrasi yang  jauh lebih baik.

                                                                                                           ————— *** ————–

Tags: