Anak Nakal, karena Pola Asuh yang Salah

Oleh :
Maswan
Penulis adalah Dosen Unisnu Jepara, Kandidat Doktor Unnes, Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah 

Berita tentang siswa yang berani kepada guru, bahkan berani melakukan penganiayaan hingga merenggut nyawa Bapak guru, Ahmad Budi Cahyono, menjadi trending topic, baik di media cetak, medsos dan media elektronik. Dunia pendidikan kita dirundung malang, wajah pendidikan tercoreng lagi, lantaran perilaku bejat seorang siswa yang tidak bisa dididik. Pak guru Budi Cahyono, Guru GTT (Honorer) Mapel Seni Rupa di SMA N 1 Torjun, Sampang, Madura, menjadi korban dari anak salah asuh dan kekeliruan dalam mempersepsi konsep pendidikan.
“Mengapa murid melawan guru? Dua alasan berikut setidaknya bisa menjadi jawabannya, yaitu pemberlakuan UU Perlindungan Anak dan program Sekolah Ramah Anakyang tidak bijaksana (kebablasan) justru menjadi bumerang.” Moh. Mahrus Hasan (Bhirawa, 5/2). Dalam dunia pendidikan, ada yang sangat ngotot melarang untuk menghukum anak dengan fisik, sekalipun mereka (siswa) melanggar aturan dan tata susila yang dibangun di sekolah. Guru menjewer atau menempeleng anak yang melanggar tata tertib sekolah dengan bertujuan supaya anak jera, dilaporkan ke polisi dan diperkarakan hingga masuk penjara.
Kejadian guru menghukum anak dianggap melanggar hak azasi manusia, oleh orang tua yang tidak mengerti pendidikan mempersepsikan, tindakana guru semena-mena terhadap mridnya. Padahal pendidik tanpa hukuman/sanksi, tidak pernahmenjadi anak yang sukses. Anak-anak yang tidak pernah mendapat teguran, peringatan dan hukuma, jadinya anak manja yang rata-rata tidak bertanggung jawab.
Konsep pendidikan yang berkarakter, pembinaannya harus dibarengi dengan kedisiplinan dan ketegasan dalam perintah. Selain itu juga unsur keteladanan dari semua orang yang ada di sekitar anak, lebih-lebih orang tuanya (ibu bapak) di rumah dan juga para pemimpin bangsa. Kalau ada siswa salah dalam bertindak, lantas guru memberi hukuman, harus orang tua atau masyarakat membela guru, tidak malah membela anak yang salah. Kalau anak melakukan kesalahan, terus dibela oleh orang tuanya, maka sama halnya meracuni anak.
Penulis sependapat dengan tulisan Moh. Mahrus Hasan, “Dulu, saatanakmengadukepada orang tuanyakarenadihukumoleh guru, orang tuapastimembela guru, bahkanakanmenambahhukumanbagianaknya. Merekasadarbahwaguru memberihukumanitu demi memotivasianakdidiknya agar lebihbaikdalambelajardanakhlaknya.
Bandingkandenganrealitasakhir-akhirini. Ada guru yang digunduliolehwalimuridgara-garaiamemotongrambutmuridnya demi kerapian.Ada walimurid yang memukul guru karenaanaknyadipukul guru, padahalpukulan guru ituuntukmendisiplinkananaknya. PernahkahAndamembacaberitaseorang guru ditahankepolisiankarenamencubitmurid yang tidakacuhsaat proses pembelajaranberlangsung? Dan mungkinmasihbanyaklagikasus-kasusserupalainnya.Anehnya, kepongahan para walimuriditujugamulaimenularkepada para murid. Sehinggahilanglahbudayasopansantunsertahormatdanpatuhkepada guru. Jikamarwahdanmartabat guru rendah di mata para murid, apakahkiranyadidikan, bimbingan, danpengajarannyaakanditaatiolehmereka?”(Bhirawa, 5/2).
Peran Orangtua
Seperti yang pernah saya tulis di Harian Suara Merdeka, bahwa Proses pembinaan sikap mental anak yang bermartabat dan berperikemanusiaan, harus dilakukan secara sistemaatis dan sistemik. Kehadiran anak di dunia ini justru bermula dari runtutan dan cikal dari dalam keluarga. Oleh sebab itu orangtua harus mampu memerankan sebagai pendidik atau menjadi pembelajar yang pertama dan utama dalam keluarga.(SM, 3/2)
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 13, keluarga adalah pendidikan informal. Yakni, pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mendiri. Fungsinya, untuk melengkapi dan memperkaya dua jalur pendidikan lainnya yaitu formal dan nonformal, agar menjadi optimal
Hakekatnya, sekolah adalah tempat untuk mendidik anak dari lanjutan apa yang ditanamkan oleh orangtuanya di rmah. Salah asuhan anak dari keluarga dalam mendidik sikap mental, maka anak sulit diubah setelah masuk sekolah. Guru, hanya sebagai perantara dan meluruskan apa yang menjadi pola pendidikan orangtua, yang dianggap kurang baik. Kalau anak-anak yang sudah terpola dalam keluarga dengan pola pendidikan yang salah, maka sangat sulit untuk diluruskan.
Kasus anak nakal yang berakhir dengan membunuh orang, adalah cerminan pendidikan yang gagal. Oleh sebab itu, bagi orang tua seharusnya sejak kecil harus mendidik anak-anaknya tentang keimanan, moral dan nilai kemanusiaan.
Orang tua tidak seratus persen membebankan pendidikan anaknya kepada guru-guru di sekolah, tanpa ikut memberi pembinaan di rumah. Justru yang terpenting mengenai pendidikan moral anak ada pada orang tua, anak menjadi patuh pada gurunya, karena atas dasar didikan yang dibawa dari rumah. Semoga semua orang tua, ikut menjadi pendidik di rumah dengan santun dan keteladanan yang baik.

———– *** ————-

Tags: