Audit Sistemik Jembatan

Jembatan “Widang,”penghubung trans-Jawa, runtuh ke dalam sungai Bengawan Solo, Selasa siang. Menambah panjang daftar infrastruktur nasional yang roboh. Sudah banyak jembatan milik negara, ikon nasional dan ikon daerah yang runtuh. Menyebabkan korban jiwa, serta harta masyarakat. Maka pemerintah (dan daerah), seyogianya lebih kerap melakukan audit konstruksi jembatan (juga jalan layang, dan tol layang).
Jembatan “Widang,” merupakan penghubung jalan nasional antara Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Menjadi jembatan terpenting di trans-Jawa, walau terdapat jalan lain (menyusur pantai utara Jawa Timur). Hampir seluruh kendaraan, truk, bus antar-propinsi, sampai kendaraan roda dua melintas di jembatan ini. Jembatan lama telah dibangun zaman kolonial. Jembatan direnovasi pada tahun 1975, karena lalulintas makin padat. Juga dikhawatirkan utilitasnya tidak berumur panjang.
Maka pemerintah (pusat) pada tahun 1983, dibangun jembatan baru di sebelah (barat) jembatan lama, dengan panjang yang sama, 290 meter. Jembatan baru dengan lima bentang, nampak lebih kokoh. Sedangkan jembatan lama bagai tidak terawat. Namun jembatan baru, malah ambles di bagian bentang 1 (sisi Babat, Lamongan), pada bulan Juli 2015. Konon, karena kaki jembatan tergerus arus aliran Bengawan Solo yang deras.
Ironisnya, bentang 1 ini ambles lagi sedalam 8,50 sentimeter pada bulan Juli 2017. Diduga disebabkan hilangnya lima baut penghubung (cross girder), pelat patah. Kini, bentang yang sama, benar-benar patah, dan runtuh. Menyebabkan dua korban jiwa. Serta dua truk tronton, satu dumtruk, dan sepedamotor, tercebur ke sungai Bengawan Solo. Kendaraan lain (di belakang truk) berhenti mendadak, terhindar menjadi korban terperosok masuk Bengawan Solo.
Musim hujan, seolah menjadi ancaman serius konstruksi infrastruktur. Hujan deras yang mengguyurkan, menyebabkan aliran sungai menjadi kencang, mampu menghanyutkan plengseng beton. Bahkan kaki pancang jembatan turut bergeser, menyebabkan jembatan runtuh. Hal itu sering terjadi. Misalnya tiga musim hujan lalu, jembatan Caluk di Pacitan juga runtuh. Plengseng beton penyangga terbawa arus air sampai 30 meter, tergeletak di tengah sungai.
Tragedi ambruknya jembatan, semakin sering. Misalnya,runtuhnya jembatan Kuning di Klungkung, Bali. Tagedi pertengahan Oktober 2016 lalu (bertepatan dengan hari raya Nyepi), pada saat banyak umat Hindu melintas jembatan menuju pura agung. Tak ter-elakkan, 10 korban jiwa. Sepekan sebelumnya, dua jembatan vital di kabupaten Pangandaran dan Banjar (Jawa Barat)juga runtuh.
Sesuai usia utilitas, jembatan yang ambruk seharusnya masih berdiri kokoh. Hujan deras yang menerpa seharusnya telah diperhitungkan. Begitu pula jembatan Ketapang di Banjarnegara, dan jembatan Putrapinggan di Pangandaran, seharusnya tidak runtuh. Konstruksi kedua jembatan, niscaya telah memperhitungkan vitalitasnya sebagai penghubung lintas trans Jawa jalur selatan. Sebagai jalan nasional yang menghubungkan Jawa Tengah dengan Jawa Barat, pastilah sangat padat lalulintas.
Ingat pula jembatan Kutai Kartanegara ikon nasional di Samarinda (Kalimantan Timur), juga runtuh, lima musim lalu. Ironisnya keruntuhan jembatan Kartanegara terjadi pada sore jam sibuk pulang kantor. Tak ayal, seluruh kendaraan bermotor yang sedang melintas, tercebur masuk sungai Mahakam. Tercatat sebanyak 18 korban jiwa, dan puluhan luka-luka.
Berdasar UU Nomor 22 tahun 2009, penyelenggara jalan berkewajiban memperbaiki jalan, tercantum pada pasal 24 ayat (1). Sedangkan pada pasal 203 ayat (1) dinyatakan,”Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.”Berdasar pasal 273, manakala jalan (dan jembatan) yang rusak menyebabkankecelakaan, penyelenggara jalan bisa dituntut pidana. Tak terkecuali pemerintah pusat, dan pemerintah daerah sebagai penyelenggara jalan. ***

Rate this article!
Audit Sistemik Jembatan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: