Awasi Dana Kampanye

Dana kampanye Pemilu (dan Pilpres) mulai menunjukkan peningkatan volume transaksi. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mencatat transaksi pengurus 24 parpol mencapai Rp 80,67 trilyun. Fantastisnya, setiap parpol menunjukkan kenaikan antara 400% hingga 2.400% (24 kali lipat). Pembukaan rekening baru juga meningkat sangat pesat. Maka tren money politics patut diwaspadai seksama. Terutama kehadiran “cukong” untuk membiayai pasangan calon dalam Pemilu legislative, dan Pilpres.

PPATK juga mendeteksi adanya penerimaan dana senilai total ratusan miliar rupiah dari luar negeri oleh bendahara 21 partai politik sepanjang. Padahal penerimaan dana asing nyata-nyata dilarang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Dalam pasal 339 ayat (1) huruf a, dinyatakan, Peserta Pemilu, pelaksana kampanye, dan tim kampanye dilarang menerima sumbangan dana Kampanye pemilu yang berasal dari pihak asing. Selain itu (pada huruf c) dilarang menerima dana dari hasil tindak pidana.

Disebutkan pula dalam pasal 339 ayat (1) huruf d, dan huruf e, tentang larangan menerima dana Kampanye Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD). Serta larangan menerima dana dari pemerintah desa dan badan usaha milik desa (BUM-Des). Begitu pula Kepala Desa beserta seluruh perangkat desa (yang menerima gaji dan tunjangan dari Dana Desa) dilarang berpihak. Serta dilarang berkampanye mendukung Paslon, dan parpol.

PPATK secara blak-blakan mem-beberkan, laporan Fund Transfer Instruction (IFTI), terdapat seratus orang Caleg menerima aliran dana asing. Bisa jadi, jika diusut Bawaslu (serta Kepolisian dan KPK) tidak akan diakui oleh Caleg, maupun seluruh pengurus parpol. Umumnya akan dinyatakan tidak kenal. Bahkan di-nafi-kan sebagai fitnah politik untuk menggagalkan kemenangan.

Sebenarnya UU Pemilu tidak melarang adanya sumbangan dana kampanye. Sudah diatur dalam pasal 325 sampai pasal 339, masing-masing dengan beberapa ayat dalam satu pasal. Misalnya, dalam pasal 331 ayat (1), dinyatakan “Dana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan …, tidak melebihi Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus’ juta rupiah).”

Bahkan sumbangan yang berasal dari kelompok, Perusahaan, dan badan usaha, boleh mencapai Rp 25 milyar. Pada pasal 331 ayat (2), diberikan syarat khusus “harus mencantumkan identitas yang jelas.” Larangan menerima dana asing, bukan hanya di-amanat-kan UU Pemilu. Melainkan juga di-amanat-kan dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Tercantum dalam pasal 40 ayat (3) huruf a. Sehingga pelanggaran penerimaan dana asing tergolong pelanggaran berat.

Sumbangan pihak ketiga, akan sangat mempengaruhi pundi-pundi dana kampanye. Dana besar kampanye akan digunakan untuk “membeli suara” masyarakat. Banyak cara membeli suara, diantaranya yang populer, adalah “serangan fajar.” Yakni, uang diberikan kepada masyarakat saat menjelang coblosan, (H-1) sebelum pemilih menuju TPS. Sehingga Pemilu dan Pilpres, bagai selalu dibarengi “pertarungan politik uang.”

Politik uang, sebenarnya merupakan fenomena gunung es, sebagai penyakit politik (demokrasi) endemik. Ironisnya, seolah-olah “difasilitasi” secara sistemik oleh perundang-undangan. Di-paradigma-kan sebagai kelaziman. Bahkan seolah-olah dianggap kewajiban. Dimulai dari memperoleh rekom parpol, juga pengumpulan KTP oleh “agen suara.” Konon terdapat joke, “no lunch free,” tidak ada makan siang gratis (dalam rekrutmen politik)?!

Sudah banyak Menteri, dan ratusan Kepala Daerah masuk penjara karena terlibat KKN. Mengutil dana pemerintah untuk membayar hutang pada cukong. Tak cukup hanya melalui fee proyek pemerintah, juga melalui bansos yang diselewengkan.

——— 000 ———

Rate this article!
Awasi Dana Kampanye,5 / 5 ( 1votes )
Tags: