Babinsa Tangkal Radikalisme

Karikatur ISISPolisi bergerak cepat merespons isu radikalisme agama. Tidak cukup hanya dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Melainkan dengan  “menyelami” kehidupan sosial masyarakat, secara struktural. Kerjasama dengan tokoh masyarakat (terutama tokoh agama), mutlak diperlukan. Polisi berhak menghentikan dakwah yang meresahkan setelah mempertimbangkan saran ulama. Juga dapat dilanjutkan pada proses hukum (acara pidana) tentang penghasutan.
Menjamin rasa aman dan ketertiban masyarakat, telah menjadi tupoksi kepolisian, sebagaimana amanat konstitusi. Dalam UUD pasal 30 ayat (4) dinyatakan, “kepolisian negara RI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.”  Ini bukan tupoksi enteng.
Polisi telah memiliki struktur kelembagaan yang memiliki tupoksi anti-teroris, sejak dahulu kala. Paling akhir terdapat Densus (Detasemen Khusus) 88, yang dipimpin oleh perwira tinggi muda (bintang satu). Pada masa rezim orde baru, polisi juga memiliki struktur Babinsa (Bintara Pembina Desa), tergabung bersama TNI. Namun konsep tupoksi Babinsa kurang populer (tidak disukai masyarakat). Karena  terlibat politik praktis (ke-parpol-an rezim), dianggap mata-mata pemerintah.
Babinsa masa kini, mestilah berbeda. Polisi (dan TNI) tidak dapat dijadikan sebagai alat politik praktis parpol yang berkuasa. Polisi mesti enteng bekerjasama dengan seluruh golongan dalam masyarakat, tanpa mempertimbangkan altar ke-parpol-an. Lebih lagi parpol rezim yang bukan single majority. Polisi, “hanya” wajib tunduk pada konsitusi (UUD) dan undang-undang lain, terutama UU tentang Kepolisian RI.
Sebagaimana UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI, pasal 19 ayat (1), mengamanatkan: “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.”
Selain itu masih terdapat Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 14 tahun 2011, tentang Kode Etik Profesi Polisi (KEPP). Pada KEPP pasal 1 (Ketentuan Umum) angka ke-24 disebutkan, “Etika  Kemasyarakatan  adalah sikap moral  Anggota Polri  yang senantiasa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum serta melindungi, mengayomi,  dan melayani masyarakat  dengan mengindahkan kearifan lokal dalam budaya Indonesia.”
Terdapat frasa kata kunci, yakni “mengindahkan kearifan lokal.” Artinya, Babinsa mesti memahami situasi dan kondisi sosial  di tempat dinasnya. Mestilah membaur sebagai bagian dari masyarakat. Turut terlibat dalam kegiatan sosial, turut dalam acara adat kampung. Turut  istighotsah bersama. Dan terutama, niscaya me-minimalisir potensi radikalisme.
Radikalisme agama, biasanya memiliki indikasi yang berbeda dengan (makar) politik. Radikalisme agama, lazimnya juga di-dakwah-kan melalui berbagai metode. Antaralain, metode ceramah umum yang bersifat menghasut kelompok internal agama, meng-olok-olok golongan lain. Begitu pula hasutan antar kelompok agama melalui media sosial berbasis komputer (internet: instagram, facebook, twitter, blogspot, sampai situs dakwah khusus).
Namun modus utama radikalisme sebenarnya tetap. Yakni, hasutan berupa tuduhan kepada kelompok lain sebagai sesat, khurafat (hampir musyrik), bid’ah, sampai kafir. Kelompok lain salah dalam perilaku agama. Babinsa, mestilah memiliki catatan tentang kelompok radikal. Termasuk gerakan dakwah salafy, dan neo-wahabi sejak lama telah meresahkan masyarakat, menimbulkan perpecahan sosial. Padahal seharusnya, gerakan dakwah melahirkan ketenteraman dan perdamaian umat.
Benarlah saran mantan Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Syafii Maarif. Bahwa masyarakat harus menggunakan akal sehat, agar tidak tertipu oleh kelompok ISIS yang merasa benar di jalan yang sesat. Benar pula saran Ketua Umum PBNU Prof. Said Aqil Siraj, bahwa dakwah jamaah Yasin, jamaah istighotsah dan kelompok tahlil di kampung-kampung mesti lebih digelorakan. ISIS dan radikalisme lain tidak akan bisa menembus benteng dakwah sosial keagamaan yang kokoh.

                                                                                                                      ———- 000 ————

Rate this article!
Tags: