Badai Kehidupan

Oleh
Siska Dewi

Kala deraian hujan membasahi raga. Petir menyambar tepat mengenai relung hati. Sangat perih badai kehidupan yang menghampiriku. Aku mencintai Bang Ridwan. Tapi, aku harus menghormati keputusan bapak. Tak mampu aku memilih satu di antara keduanya.
***
“Widya, akhiri hubunganmu dengan Ridwan,” ucap bapak dengan tatapan serius.
“Tapi … Widya mencintai Ridwan, Pak,”
“Ridwan, tidak baik untukmu!” bentak bapak padaku sambil berdiri dari tempat duduknya. “Dengarlah ucapan bapak sekali ini, Nak.” Kami berdua saling diam, dengan menahan kesal, sesak di dada.
“Apa maksud bapak? Widya sudah lama mengenal Ridwan, Pak,”
“Bapak lihat Ridwan dan Sari bermesraan di pos ronda, saat itu bapak baru saja pulang dari kebun. Apa seperti itu dinamakan pria yang baik, haa?” ucap bapak mendongakkan kepalanya.
“Mungkin bapak hanya salah lihat. Ridwan tidak mungkin melakukan itu! Besok Ridwan akan datang untuk membuktikan keseriusannya kepadaku, biar bapak puas!” ucapku lalu pergi meninggalkan bapak.
Sambil berjalan menuju kamar, aku memikirkan perkataan bapak mengenai Ridwan tadi. Mana mungkin bapak berbohong, tapi mana mungkin Ridwan berani selingkuh dengan Sari, sedangkan ia sudah berjanji akan mencintai dan setia kepadaku selama-lamanya. Lagian Sari juga sudah bersuami.
***
Setelah lima tahun menjalin kasih. Malam ini, Ridwan berniat datang ke rumah untuk menyampaikan niat baiknya kepada bapak yaitu melamarku.
“Assalamualaikum,” teriak Ridwan di luar rumah.
“Waalaikumsalam,” jawabku.
“Ayo, silahkan masuk. Bapak sudah menunggu di ruang tamu.”
Ridwan kupersilahkan untuk masuk ke rumah. Terlihat wajahnya gugup dan sedikit pucat ketika duduk berhadapan dengan bapak.
“Mohon maaf sebelumnya, Pak. Tujuan saya datang ke sini untuk meminta izin kepada bapak. Jika bapak mengizinkan, besok saya dengan keluarga akan datang melamar,” ucap Ridwan. Bapak hanya diam, ia tak menghiraukan ucapannya.
“Pak, jawab,” ucapku sambil menyenggolnya.
“Apa yang bisa bapak jawab, Widya!”
Aku terdiam.
“Kau ini anak ke berapa?” tanya bapak kepada Ridwan.
“Ketiga, Pak!”
Bapak terdiam sejenak.
“Kalian tidak bisa menikah. Pernikahan ini sangat tidak mungkin dilakukan dalam masyarakat Jawa,” ucap bapak dengan nada datar.
“Haa, kenapa, Pak?” tanya Ridwan.
“Dalam masyarakat Jawa, pernikahan anak pertama dan ketiga tidak dapat dilangsungkan, sebab akan ada bencana dalam rumah tangga kalian,” ucap bapak.
Bapak memang suku Jawa yang sangat kental dengan mitos dan kepercayaannya tentang leluhurnya. Tapi, berbeda denganku, aku meyakini hal seperti itu hanyalah mitos saja, inti dari ucapan bapak adalah hanya untuk menjadikan alasan agar tidak ada pernikahan antara aku dan Ridwan. Jilu adalah kepanjangan dari siji (satu) telu (tiga), larangan anak pertama menikah dengan anak ketiga. Menurut kepercayaan orang Jawa, pernikahan jilu itu tidak baik dan akan menyebabkan berbagai macam masalah serta musibah.
Bapak menentang hubungan kami. Katanya jika hal itu dipaksakan, pernikahannya bisa mengalami percekcokkan, keduanya bisa sakit-sakitan, susah dalam mencari rezeki, dan yang paling parah bisa menyebabkan kematian atau musibah bagi para kerabatnya.
“Pak, hari gini masih percaya gituan, ya ampun, Wid, Bapakmu jadul amat!” ucap Ridwan sembari tertawa kecil.
“Ridwan, Sttttt” teriakku sambil menyuruhnya diam.
“Kau juga punya hubungan dengan Sari anak Pak Samad, kan?” ucap bapak ketus.
“Maksud bapak apa, ya?” tanya Ridwan.
“Saya melihat kamu bermesraan dengan Sari di pos ronda kemarin,”
“Kalau bicara jangan asal saja dong, Pak,” ucap Ridwan berdiri karena tak terima sebab ucapan bapak.
Kali ini Ridwan benar-benar sudah tidak sopan dengan bapak.
“Ridwan,” bentakku. “Pak, maafkan Ridwan ya, tolonglah restui hubungan kami. Ridwan dan Widya saling mencintai,” ucapku membujuk bapak.
“Kau ini, keras kepala sekali Widya. Bapak bilang tidak ya, tidak. Anak pertama dan ketiga tidak bisa bersatu.” Bapak masih tetap kokoh dengan pendiriannya.
“Pak, tolonglah,” rengekku sambil memegang tangan bapak.
“Sudah Wid, kalau bapakmu tidak setuju tidak apa-apa. Aku akan pulang, mungkin kita tidak berjodoh.” Ridwan berjalan keluar, ia tampak geram. Aku melepaskan tangan bapak dan tergopoh-gopoh mengejar Ridwan.
“Bujuklah, bapak, Bang! Tolong! Abang jangan keras kepala, kita sudah lima tahun pacaran dan itu bukan waktu yang singkat, Widya tidak mau jadi perawan tua,” ucapku menangis.
“Kau urus saja bapakmu itu!” ucap Ridwan berjalan ke luar rumah.
Aku terus merengek dan menarik tangannya, berharap ia tidak pergi dalam keadaan marah.
“Widya,” teriak bapak. “Lelaki seperti itu yang mau kau jadikan suami, hidupmu tak akan bahagia! Dengarkan kata-kata bapak!” teriak bapak dengan nada tinggi.
Bapak memegang dadanya. Sakit jantungnya kumat lagi. Aku dengan ligat menghampirinya. Kulepas tangan Ridwan dan membiarkan dia pergi. Kali ini bapaklah yang terpenting.
“Bapak,” teriakku.
Napas bapak terengah-engah. Bapak terus memegang dadanya. Kududukkan ia di kursi.
“Tolong … tolong …,” teriakku. Adikku datang menghampiri kami.
Malam ini, bapak mengembuskan napas terakhirnya. Hatiku terasa sakit, belum lama ibu meninggalkan kami, kini bapak juga ikut menyusulnya ke Surga. Tinggalah aku dan adikku, meratapi nasip kami yang entah.
***
Selesai pemakaman bapak. Ridwan menghampiriku, ia menawarkanku untuk menikah dengannya. Ia berjanji akan menjaga diriku dan adikku, seperti layaknya bapak menjaga kami sewaktu hidup. Pikiranku kalut saat itu. Sebelum meninggal bapak tidak setuju aku menikah dengan Ridwan. Tetapi, jika aku tidak menikah dengan Ridwan siapa yang akan memenuhi kebutuhanku dan adik, sedangkan kami butuh sosok seorang pria.
“Hei, Wid,” ucap Ridwan memecah lamunanku.
“Iya, Bang,”
“Gimana?” tanya Ridwan.
“Widya bersedia,” ucapku.
***
Hari ini pernikahan kami berlangsung, kami mengucap janji sehidup semati. Menjalani bahtera rumah tangga dengan sepenuh hati. Kami bertiga akan tinggal di rumahku. Rumah peninggalan bapak yang kini sudah menjadi hak milikku dan adik.
Sudah hampir sebulan pernikahanku dan Ridwan. Rumah tangga kami baik-baik saja. Ucapan Bapak tidaklah benar. Ridwan juga termasuk lelaki yang rajin dan pekerja keras. Ridwan mengelolah perkebunan milik bapak. Hasil kebun juga sudah lumayan dan cukup untuk memenuhi kebutuhan kami bertiga.
Hari berganti bulan. Bulan berganti tahun. Aku belum juga dikaruniai seorang anak. Ridwan terus saja menyalahkanku. Setiap hari ia selalu marah-marah tanpa sebab yang jelas. Hatiku teriris, saat mengetahui, dia memiliki hubungan gelap dengan Sari. Aku sudah tidak dianggapnya sebagai istri yang ia sayangi sebagaimana dahulu ketika beberapa bulan kami menikah. Kini, Ridwan ibarat monster, ia sangat ringan tangan. Ridwan tak segan-segan mendaratkan tangannya ke pipiku.
“Bang, mengapa kau jual kebun kita,” tanyaku.
“Abang sudah tidak punya uang. Kebunmu juga sudah lama tidak menghasilkan,” jawab Ridwan.
Aku menangis, Ridwan tega melakukan itu tanpa sepengetahuanku. Padahal kebun itulah satu-satunya aset yang diwariskan Almarhum bapak untuk kebutuhanku dan adik sekolah. Ridwan benar-benar biadab, selain main wanita, ia juga tidak memberi sepeser pun uang hasil menjual kebun itu kepadaku. Aku menyesal tidak mengikuti ucapan bapak kala itu. Aku temakan cinta buta dan janji palsu Ridwan. Semakin hari kelakuannya semakin buruk saja.
Kehidupanku kini diterjang badai yang menyisakan sesal di relung hati. Membanjiri pipi akibat hujan air mata yang tak kunjung henti.

Rumah Diksi, 14 April 2021

Tentang Penulis:
Siska Dewi
Lahir di Kecamatan Tebing Tinggi, Siska merupakan mahasiswi semester akhir di UIN Sumatera Utara Medan. Siska adalah mahasiswi Prodi Sistem Informasi yang giat menulis di komunitas Diskusi Sastra Indonesia.

———- *** ———–

Rate this article!
Badai Kehidupan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: