Bahaya Beragama Sekadar Simbolik

Buku Agama Tanpa TuhanJudul: Agama Tanpa Tuhan
Penulis: Cecep Sumarna
Penerbit: Remaja Rosdakarya, Bandung
Cetakan: Pertama, April 2016
Tebal: 300 Halaman
ISBN: 978-979-692-716-6
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*

Gairah beragama dewasa kini setidaknya menunjukkan perkembangan menggembirakan. Masjid-masjid kian banyak. Hijab menjadi tren modis identitas muslimah. Gaya hidup halal (halal oriented) dari label makanan sampai term wisata semakin dibutuhkan. Semarak beragama macam ini meneguhkan lingkup masyarakat Indonesia sebagai muslim yang taat dan sadar identitas keislamannya.
Namun, di sisi lain, fenomena simbolitas beragama macam di atas rupanya tidak sebanding dengan urusan substansi beragama. Fakta yang kerap kita jumpai ialah semakin maraknya kelompok intoleran yang dengan mudah mengeluarkan justifikasi bidah dan kafir. Perkara-perkara yang tidak sepaham dengan pemahaman keagamaan dirinya dianggap ancaman.
Simbolitas beragama mewedarkan pesan bahwa jilbab dan kopiah sebagai lambang kesalehan rupanya hanya dijadikan kedok sebagian kalangan Muslim untuk memanipulasi tindak koruptif nan culas. Penggunaan atributif simbol-simbol agama masih belum menembus untuk menjilbabi hati dan pikiran. Bahwa antara ritus agama tidak berkait dengan laku keseharian. Menjalankan shalat dan puasa merupakan perkara yang tidak ada sangkut-pautnya dengan diri ini yang masih gemar me-mark-up sebuah anggaran proyek, misal.
Fenomena beragama macam itulah yang menjadi intisari dalam buku Agama Tanpa Tuhan, ini. Rupa simbol juga berwujud dengan sebuah wawasan/paham keagamaan. Terus meributkan tradisi akulturasi yang coba dibenturkan dengan paham “murni” keislaman sehingga memicu kerenggangan persaudaraan sesama muslim yang tak berkesudahan. Hal-hal seperti inilah yang dinamakan mereka secara de jure beragama namun de facto-nya telah menanggalkan tujuan agama; untuk mengabdi kepada Tuhan. Dengan kata lain, mereka menyingkirkan dimensi sifat ketuhanan berupa rasa welas asih pada sesama untuk tidak merasa paling benar sendiri.
Alhasil, agama hanya dimaknai sebagai ritus formalitas. Tanpa adanya ikhtiar untuk menghadirkan Tuhan dalam diri hingga menembus relung hati. Dengan demikian, agama hanya akan berpotensi memicu persoalan yang tak berkesudahan. Padahal, kehadiran agama justru menanamkan perangai mulia manusia untuk menjadi pengelola di bumi ini sesantun mungkin.
Senyatanya agama sekadar jalan atau sarana menuju Tuhan. Term pemahaman seperti ini akan menghasilkan insan beragama yang luhur dalam berperilaku. Membedai kala agama dianggap sebagai tujuan. Dengan model beragama macam itu, agama hanya terbatas dipahami sejauh mana pemahaman si pemeluk agama tersebut. Alhasil, agama dirasa sempit dan tidak melebur dalam semua laku keseharian.
Buku ini memaparkan ragam corak beragama yang membatasi derap langkah esensi agama –yang sejatinya sangat luas dan mempermudah manusia. Masih eksisnya pemahaman dikotomis di kalangan Muslim tentang ilmu agama dan ilmu umum merupakan tamsil nyata wujud beragama secara sempit itu (hlm: 233). Imbasnya, kini Muslim terseok-seok untuk urusan ilmu eksakta dan teknologi. Dan, kalangan Muslim sembari terus melanggengkan perdebatan furuiyyah macam bilangan rekaat Tarawih.
Oleh karena itu, Cecep Sumarna mendetail memaparkan bahwa sejatinya pemisahan ilmu macam itu merupakan ahistoris. Justru sejarah menunjukkan kegemilangan begawan-begawan ilmu eksakta dan filsafat datang dari pemikir muslim zaman Abbasiyah. Cecep mencoba meluruskan bahwa yang ada hanyalah setiap ilmu mestinya wajib dikuasai dengan menekankan aspek etik; menyesap dalam ranah kemanusiaan dan bersandar pada agama (hlm: 252).
Buku yang dikemas laiknya novel ini membabar tamsil-tamsil praktik beragama yang justru seakan menihilkan esensi beragama; yang menciptakan paradoks dan keambiguan.  Memotret dinamika kisah masyarakat perdesaan di tatar Tasikmalaya tahun 80-an ini secara gamblang mengisahkan beragam kontradiksi praktik beragama yang juga terjadi di banyak tempat. Diceritakan seorang pengusaha besar mebel mengalami kebangkrutan yang tragis secara tiba-tiba. Ditambah keluarganya mengalami kegilaan. Sontak, simpulan masyarakat tertuju kepada ulah dukun santet. Semua musibah disebabkan ilmu hitam (hlm: 288).
Padahal, sejatinya kasus tersebut bisa diurai musababnya bahwa si pengusaha tersebut terkena tipu oleh rekan kerjanya. Terhempas jatuh miskin secara tiba-tiba menjadikan keluarganya mengalami stres berat dan mulai tidak waras. Cecep menggambarkan keambiguan beragama itu tentang penduduk kampung yang teramat taat beribadah di masjid namun di saat bersamaan masih bersetia kepada dukun untuk urusan berobat, meminta jodoh, dan pangkat.  Inilah gambaran betapa bahayanya beragama yang sekadar simbolik. Boleh jadi, model beragama masyarakat kita selama ini juga seperti gambaran pada novel ini. Wallahu a’lam
*Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

                                                                                                                      ————- *** ————–

Rate this article!
Tags: