Bandung Lautan Api, Pandemi dan Vaksinasi

Oleh :
Muslichatin
Mahasiswa S1 Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura ; Mantan Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa bidang Hukum dan Ham tahun 2019.

Pada suatu hari ditanggal 23 Maret 1946, terjadi peristiwa kebakaran besar di kota Bandung, Jawa Barat. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota dan menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam perang kemerdekaan Indonesia.

Dalam historiografi Indonesia, peristiwa heroik ini dikenal dengan sebutan “Bandung Lautan Api”. Peristiwa ini menandakan perlawanan sengit para pejuang Indonesia terhadap penjajah ditengah keterbatasan yang ada. Tak akan terlupakan dalam memori pedih bangsa, peristiwa Bandung Lautan Api menjadi cermin bentuk perjuangan sesungguhnya rakyat Indonesia.

Dari peristiwa ini terbukti jelas bahwa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI tidak hanya dilakukan oleh para tentara dan barisan bersenjata. Para pemuda, petani, ibu rumah tangga, pedagangpun turut aktif secara langsung dalam upaya perjuangan. Rakyat sangat paham bahwa perdamaian tidak akan dapat diraih tanpa adanya persatuan dan pengorbanan yang utuh.

Padahal saat itu isi ultimatum hanya peringatan untuk rakyat Indonesia yang bersenjata agar meletakkan senjata dan menyerahkannya. Artinya tidak termasuk rakyat tidak bersenjata (rakyat biasa). Namun, warga Bandung begitu taat kepada pemimpinnya untuk kepentingan bangsa, mereka bersatu padu dan sepakat meninggalkan Bandung sekaligus membakarnya.

Apa yang telah dikorbankan oleh warga Bandung pada saat itu merupakan suatu hal yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh masyarakat zaman sekarang. Tetapi orang dulu berani mengorbankan jiwa raga, bahkan harta bendanya, demi mengikuti anjuran pemerintah pada saat itu. Merenungi hal tersebut, perjuangan saat itu dengan berperang mengangkat senjata, maka saat sekarang kita bisa lakukan perjuangan dengan merealisasikan anjuran kebijakan pemerintah.

Diluar peristiwa itu, kita mendapati suatu peristiwa saat ini yang masih menjadi problem hampir disetiap negara di dunia termasuk di Indonesia, yaitu pandemi virus Covid-19. Sudah satu tahun lebih sejak awal Maret 2020 hingga Maret 2021 kita masih berperang melawan dan memusnahkan virus tersebut. Bahkan saat ini dikabarkan muncul varian baru dari virus Covid-19. Berbagai upaya memutus rantai penyebaran virus Covid-19 dirasa sudah dilaksanakan oleh pemerintah termasuk yang paling baru yakni dengan upaya vaksinasi bagi masyarakat Indonesia.

Namun, kenyataan di lapangan, vaksinasi ini ditolak oleh sebagian masyarakat Indonesia. Survei Lembaga Indikator Politik Indonesia pada Desember 2020 menyatakan bahwa 43 persen responden tidak bersedia atau sangat tidak bersedia divaksin Covid-19 (Databoks 21/2/21). Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyatakan bahwa dari 41 responden yang tidak bersedia divaksin, sebanyak 54,2 persen diantaranya beralasan vaksin Covid-19 mungkin ada efek samping yang belum ditemukan atau tidak aman. Lalu 27 persen menyatakan vaksin tidak efektif, dan 23,8 persen menyatakan tidak membutuhkan vaksin karena merasa sehat. Kemudian sebanyak 17,3 persen menyatakan tidak mau membayar untuk mendapatkan vaksin. 10,4 persen menyatakan vaksin mungkin tidak halal, sebanyak 5,9 persen menyatakan banyak orang yang akan mendapatkan vaksin sehingga tidak perlu ikut, dan 3,1 persen menyatakan tidak mau masuk persekongkolan perusahaan farmasi yang membuat vaksin (Liputan6.com 21/2/21).

Apakah mereka yang menolak vaksinasi menginginkan virus Covid-19 tetap tinggal dan berada di sekeliling kita?

Setiap orang memang boleh berpendapat dan setiap orang memiliki haknya masing-masing. Tentu kita bisa setuju dengan pikiran tersebut, tetapi penolakan terhadap vaksinasi dirasa ini merupakan persoalan yang perlu segera diatasi. Tidak hanya nakes yang wajib melakukan vaksinasi, justru masyarakat juga wajib divaksin. Masyarakat yang tidak bersedia divaksin akan menjadi masalah karena vaksinasi untuk kepentingan bangsa dan negara. Boleh saja menolak vaksin atas dasar hak atas kepemilikan tubuh, tetapi jangan sampai lupa bahwa hak individu dibatasi oleh hak orang lain. Dengan melakukan vaksinasi sejatinya kita telah turut menahan laju penularan wabah mematikan dari virus Covid-19 ini. Jika menolak, bisa saja tubuh kita justru yang menyebarkan virus tersebut kepada orang lain. Bukankah itu menganggu hak orang lain?

Sekarang alasan-alasan menolak vaksin sudah beberapa terjawab, termasuk mengenai pengratisan vaksin, kehalalan vaksin, efek samping dan lain sebagainya. Namun penolakan itu dirasa masih ada. Kita perlu sadar, melakukan vaksinasi merupakan bukti nyata kita sebagai warga berbangsa dan bernegara dalam melawan virus dan termasuk usaha kita dalam berkorban demi merdeka dari virus tersebut.

Mari bercermin dari bentuk pengorbanan rakyat Bandung Selatan kala itu. Untuk siapa mereka melakukan hal itu? Peringatan hari Bandung Lautan Api harusnya menjadi hikmah bagi kita di masa pandemi Covid-19 ini, bahwa suatu negara akan maju jika warganya taat pada pemimpinnya. Dan tidak menutup kemungkinan virus Covid-19 ini akan musnah jika warganya taat melakukan anjuran kebijakan vaksinasi dari pemerintah.

Jika Anda bisa berpikir jernih, marilah wahai rakyat Indonesia. Anda tentu tidak memiliki cita-cita membiarkan virus Covid-19 tinggal lebih lama lagi di Indonesia dan menjadi pembunuh rakyat lebih banyak lagi. Jika Anda bisa berpikir jernih, mari di hari peringatan Bandung Lautan Api pada tanggal 24 Maret ini menjadi titik cermin dalam diri dan semangat bekerja untuk bangsa. Berjuang bersama melawan virus Covid-19 berarti berjuang mempertahankan bangsa dan negara. Jangan sakiti bangsa ini dengan tindakan-tindakan merugikan. Jika Anda bisa berpikir jernih, tentu Anda akan memilih untuk divaksinasi dengan suka rela sesuai dengan anjuran dan kebijakan dari pemerintah.

——— *** ———–

Tags: