Bangkai Mayat

Oleh :

Danar yang sedang asyik-asyiknya nongkrong di kedai kopi yang tak jauh dari kantornya, kaget tatkala lima panggilan dari atasannya masuk ke telepon genggamnya. Ia pun langsung melakukan telepon balik ke atasannya itu, namun sang atasan sulit untuk dihubungi. Lantas Danar pun bergegas untuk balik menuju kantornya.
Sesampainya di sana, ia masuk ke ruang kerja atasannya. Di sana ia langsung menanyakan tentang panggilan telepon dari sang atasan yang masuk kepadanya.

“Kamu habis dari mana Nar,” tanya atasannya.
” Saya habis dari kedai kopi pak,” ucapnya.
” Sekarang kamu persiapkan untuk peliputan ke Cianjur, tentang masalah pembunuhan seorang dukun santet.”
” Baik pak.”
Danar pun mempersiapkan peralatan dan beberapa helai baju untuk melakukan investigasi tentang kasus yang harus ia liput di Cianjur.

Di sore hari, ia berangkat dengan ditemani supir dan kameramennya menuju Cianjur. Perjalanan yang memakan waktu delapan jam, membuatnya tertidur dengan pulas. Hampir setengah perjalanan menuju Cianjur, ia pakai buat tidur.

Tepat pukul 23.00 WIB, ia dan crew tiba di kampung tempat pembunuhan dukun santet itu terjadi. Danar dan crew menghampiri rumah pak kades untuk meminta izin meliput, namun sayang kedatangannya di tolak mentah-mentah oleh pak kades.

Mendapatkan penolakan dari kades, tak membuat Danar pulang ke Jakarta. Ia balik lagi ke mobil sembari menyusun rencana untuk tetap bisa melakukan peliputan dan mendapatkan informasi tentang motif dari pembunuhan tersebut
Ia dan crew akhirnya memutuskan untuk beristirahat di mobil, sembari menunggu sinar mentari datang dari ufuk timur. Mereka pun terlelap dalam tidur dan berharap pagi segera datang menghampiri.

Tak terasa, waktu empat jam dirasa cukup untuk mengembalikan stamina yang habis di perjalanan. Danar yang bangun paling terakhir, sambil melihat telepon genggamnya, mulai menyusun rencana untuk bisa menggali informasi dari salah satu warga untuk bisa menjadi narasumber tentang kasus yang sedang ia selidiki.

Dengan menggunakan jaket tebalnya, ia turun dari mobil dan menghampiri Faisal, kameramennya. Danar membicarakan tentang rencana yang akan ia lakukan hari ini. Ia menyuruh Faisal dan yang lainnya untuk tetap stay di mobil dan tidak pergi ke mana-mana. Mendapatkan instruksi seperti itu, Faisal pun menuruti keinginan dari seniornya itu.
Setelah perbincangan itu, Danar melangkahkan kakinya untuk menghampiri salah satu rumah warga. Dengan gayanya yang akrab, ia pun memberanikan diri untuk menyapa salah satu warga yang sedang berpapasan dengannya.

” Maaf pak. Bapak asli warga sini? Kenalkan nama saya Danar saudara pak kades yang baru datang tadi malam,” tanya Danar.
” Oh iya Nak. Mau ke mana?”
“Boleh saya nanya tentang keadaan desa ini?”
“Mohon maaf. Tidak bisa. Saya harus buru-buru pergi ke sawah.”
Warga itu pun pergi, dengan sedikit berlari, tanpa menoleh lagi ke arah Danar. Melihat warga yang ditemuinya seperti ketakutan, Danar pun menjadi terheran-heran dengan desa yang sedang ia singgahi ini.
Danar pun melanjutkan perjalanan untuk mencari rumah warga. Dari kejauhan, ia melihat satu rumah berdinding kayu yang membuatnya tertarik untuk mendatanginya. Danar pun pergi menuju rumah panggung itu.

Sesampainya disana, di depan halaman rumah panggung tersebut, Danar terpaku melihat seorang perempuan tua yang sedang membelah kelapa. Danar pun menghampiri perempuan itu. Ia pun bertanya kepada perempuan tua itu. Namun, Danar malah disuruh untuk segera pergi menjauh dari rumahnya.

Mengetahui ia di usir untuk kedua kalinya, membuat Danar terpaksa mengaku sebagai polisi kepada perempuan itu. Ia berbicara di depan perempuan itu, bahwa harus ada keadilan atas kematian seorang warga yang terjadi di desa ini.

Mendengar hal tersebut, membuat perempuan tua itu menangis. Danar yang melihatnya sedikit bingung, dengan reaksi dari perempuan yang ia temui itu.

Setelah mendengar perkataan Danar sebagai polisi, perempuan tua yang bernama Aisah atau para penduduk lebih mengenalnya dengan sebutan Mak Isah, mulai mau diajak bicara oleh Danar.
Mak Isah mengajak Danar untuk masuk ke rumahnya. Tanpa berfikir panjang, Danar pun masuk ke rumah Mak Isah. Ia kaget, rumah yang ditempati Mak Isah sungguh rapi dan bersih. Danar takjub dengan banyaknya kitab suci Al-Qur’an yang tertumpuk rapi di atas lemari.

“Ibu tinggal di sini sendirian? Ke mana suami Ibu?” tanya Danar dengan lugas.
“Suami ibu sudah mati. Mati karena di bunuh oleh warga kampung. Ia di fitnah menyantet salah satu warga yang sudah sakit menahun bertahun-tahun” ucap Mak Isah sambil meneteskan air matanya.

” Oh berarti, ibu istri dari dukun yang mati itu?”
Suamiku bukan dukun. Ia guru ngaji. Kata siapa dia dukun?” pekik Mak Isah dengan wajah melotot ke arah Danar.
” Mohon maaf , Bu. Saya tahu dari atasan saya.”

Mak Isah mulai menceritakan kronologi pembunuhan yang dialami suaminya itu. Ia dan suaminya yang sedang menjemur padi, tiba-tiba di datangi oleh puluhan warga yang langsung memukul suaminya secara beringas. Tampak jelas dalam ingatan Mak Isah, suami yang sudah mendampinginya hampir dua puluh tahun lamanya, dihabisi oleh puluhan warga dan dimasukan ke dalam sebuah karung beras dan dipukuli dengan menggunakan balok kayu hingga tewas.

Mendengar penuturan dari Mak Isah, membuat bulu kuduk Danar tiba-tiba berdiri. Ia pun mulai merasakan aura yang tidak enak yang masuk ke relung hatinya. Sebelum pamit, Danar bertanya kepada Mak Isah tentang di mana suaminya disemayamkan. Tanpa banyak bicara, Mak Isah langsung mengajak Danar untuk melihat Dapurnya. Alangkah terkejutnya Danar, Mak Isah memperlihatkan jasad almarhum suaminya yang tergeletak dikerubungi lalat di dekat tungku kayu bakar.

——— *** ———-

Rate this article!
Bangkai Mayat,5 / 5 ( 1votes )
Tags: