Bank Syariah dan Pengembangan Industri Halal

Oleh :
Rahmad Hakim
Sekretaris Program Studi Ekonomi Syariah, Universitas Muhammadiyah Malang
Ikhsan Abdullah, Direktur Eksektutif Indonesia Halal Watch, beberapa waktu lalu menyatakan bahwa pengembangan industri keuangan syariah dan industri halal belum terintergasi dengan baik. Ibarat sebuah bangunan, keberadaannya belum saling menopang dan menguatkan.
Jika bicara potensi, berdasarakan rilis data Global Islamic Economy Index, 2018-2019, Indonesia menjadi negara rangking satu dari 10 negara dengan jumlah pengeluaran makanan halal terbesar di dunia. Sementara potensi market food Indonesia mencapai 190 miliar dolar AS, jauh lebih tinggi dari Turki dan Pakistan. Di sisi lain, dalam skala global, ekspor produk halal bidang kosmetik dan farmasi Indonesia menduduki rangking delapan. Akan tetapi potensi-potensi yang ada, belum optimal untuk dikembangkan.
Menurut Violita & Handarbeni (2017), peningkatan potensi dan pengembangan industri halal, sangat erat dengan dukungan industri keuangan syariah.
Hal ini dapat dibuktikan dengan pemeringkat Negara Uni Emirat Arab (UEA) dan Malaysia dalam Global Islamic Economy Indicator (GIEI) yang dirilis oleh State of the Global Islamic Economy, Thomson-Reuters, 2019/2020. Dimana Uni Emirat Arab (UEA) secara linear menempati rangking pertama dalam bidang makanan halal (halal food), halal media dan rekreasi (halal media & recreation), dan kosmetik dan farmasi halal (halal cosmetics and pharmacy), dan dalam bidang keuangan syariah (Islamic finance) menempati peringkat kedua.
Tren yang sama dialami oleh Malaysia, dimana rangking keuangan syariah (Islamic finance) memiliki korelasi dengan rangking pada industri halal. Negeri jiran meraih rangking pertama dalam bidang keuangan syariah (Islamic finance), sedangkan pada bidang farmasi halal (halal cosmetics and pharmacy), dan dalam bidang keuangan syariah (Islamic finance) menempati peringkat pertama.
Pengembangan Industri Halal
Berdasarkan rilis dalam State of the Global Economy Report 2018/2019, Thomson Reuters, dinyatakan bahwa jumlah transaksi industri halal pada tahun 2023 diproyeksikan mencapai $3,007 Triliun. Ditambah lagi dengan meningkatnya jumlah kelas menengah (middle class economy) dunia, sehingga dapat meningkatkan jumlah wisatawan Muslim Global sebesar 3 juta jiwa pada tahun 2019, sementara Indonesia telah dikunjungi oleh 3,5 juta wisawatan sepanjang tahun 2019.
Berdasarkan rilis data Global Muslim Traveling Index (GMTI) tahun 2019, Indonesia menempati posisi peringkat pertama destinasi wisata halal terbaik dunia. Prestasi ini dilalui secara perlahan sejak tahun 2015 meraih peringkat enam, tahun 2016 peringkat empat, tahun 2017 peringkat tiga, tahun 2018 peringkat dua dan peringkat pertama di tahun lalu.
Dalam rangka merawat tren halal ini, selain dengan memaksimalkan faktor internal ‘alami’ yang kita miliki, seperti jumlah populasi dan telah ditetapkannya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH) berserta peraturan turunannya.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya untuk dilakukan adalah dengan melakukan dua hal penting, yaitu meningkatkan peran bank syariah. Diantara beberapa hal yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan sosialisasi -baik dalam event tertentu, kepada para pelaku industri wisata, perbaikan akses pelayanan dan inovasi produk pembiayaan yang friendly bagi para pelaku industri halal (Sidharta, 2017). Selain hal di atas, langkah yang lebih ‘radikal’ untuk dilakukan adalah meningatkan market share perbankan syariah untuk menjaga momentum halal, serta memaksimalkan peluang yang ada, diperlukan Bank Syariah sebagai penopang Industri halal di Indonesia.
Langkah ini merupakan salah satu cara yang paling kongkrit, cepat, efektif dan efisien adalah dengan langkah konversi (spin-off) Unit Usaha Syariah (UUS) menjadi Bank Umum Syariah (BUS). Melihat sejarah perbank syariah di Indonesia, langkah konversi telah dilakukan diantaranya adalah Bank BJB Syariah, Bank Aceh Syariah, Bank NTB Syariah dan Bank Nagari Syariah di Provinsi Sumatra Barat pada tahun 2018 lalu.
Dalam rangka mengembangkan industri halal, diperlukan pembiayaan yang berasal dari bank syariah untuk membangun infrastruktur industri halal seperti destinasi wisata syariah, hotel syariah, hingga jasa transportasi syariah yang menawarkan paket jasa perjalanan sesuai dengan syariah. Selain itu, juga guna keperluan pengurusan sertifikat halal bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Jika bank syariah mampu untuk menyediakan fasilitas pembiayaan yang besar, maka akan memiliki dampak positif terhadap ekspansi industri halal di Indonesia.
Dengan melihat beberapa penjelasan di atas, Bank Syariah dapat menjadi trigger dalam pengembangan industri halal di Indonesia dengan dua langkah penting: pertama, peningkatan sosialisasi kepada para pelaku industri wisata halal, perbaikan akses pelayanan dan inovasi produk pembiayaan yang friendly bagi para pelaku industri halal. Kedua, melakukan konversi menuju bank syariah bagi Unit Usaha Syariah (UUS).
Dengan lankah-langkah konkrit di atas, semoga Negeri kita tercinta mampu untuk mensyukuri “nikmat” potensi industri halal yang sangat besar ini dengan sebaik-baiknya.
———- *** ———–

Tags: