Belajar Moral dan Budaya Luhur dari Masyarakat Samin

Oleh :
M. Mas’ud Said,
Direktur Pascasarjana Unisma, Anggota Dewan Pakar Pemeritah Propinsi Jawa Timur.
Gubernur Khofifah Indar Parawansa melakukan kunjungan kerja dan bersilaturrahmi ke kawasan masyarakat Samin di Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur.
Didampingi sejumlah pejabat dan Bupati Bojonegoro Anna Muawanah, Ahad 23 Februari 2020 lalu.
Gubernur perempuan pertama Jawa Timur ini bertemu dengan tokoh adat Mbah Harjo Kardi, keturunan ke-4 dari legenda Samin Surosentiko alias mbah Suro / Raden Kohar yg hidup lahir tahun 1859 dan wafat dalam pengasingan tahun 1914. Tokoh Samin ini dikebumikan di luar Bojonegoro. Namun ajarannya dilaksanakan secara turun temurun.
Begitu kuatnya tatanan adat yg ditanamkan oleh Samin Surosentiko sehingga masyarakat Samin sangat tangguh dalam menghadapi tekanan Belanda untuk menolak membayar pajak yang penuh ketidak adilan dan menolak paksaan untuk menyerahkan semua hasil bumi ke pihak Belanda.
Masyarakat Samin dikenal sebagai salah satu masyarakat adat di Jawa Timur yang menjunjung tinggi harmoni, moral sosial dan penghormatan manusia atas atas manusia lain, penjaga keseimbangan sumber sumber daya alam dan derajat kemanusiaan.
Tatanan adat Samin adalah tatanan sosial yang menjunjung tinggi keadilan. Beberapa keyakinan berikut amalan atas keyakinan adatnya yg kuat, membuat penjajah Belanda berang sehingga pihak penjajah sempat menyeret dan mengasingkan Samin Surosentiko ke Padang Sumatra Barat dan meninggal serta dikuburkan disana. Kini ada upaya beberapa pihak untuk mengalihkan makan Samin Surosentiko ke Bojonegoro. Saya dan tim Dewan Riset Daerah bahkan mengusulkan ke Bupati Anna Muawanah untuk segera membuat Museum Samin Surosentiko agar generasi penerus kita tetap menjunjung tinggi local wishdom nya.
Hal yang menarik adalah bahwa kita sendiri dan termasuk pejabat pemerintahan sering alpa akan tugas pelestarian dan penguatan adat yang berakar dari budaya adi luhung bangsa. Di luar sikap tertutupnya masyarakat Samin, ditemukan fakta bahwa selama sejarah komunitas yg sangat kental dengan kearifan lokal itu menyebut Khofifah adalah gubernur pertama yang menyempatkan waktu untuk tilik desa dan berbaur dengan masyarakatnya dengan intensitas yang cukup dalam.
Lingkungan adat Samin yang melegenda yang mengajarkan harmoni dan kuatnya adat tersebut adalah kekayaan budaya dan kekayaan adat yang menjadi modal penting untuk membangun daerah dan membangun kejayaan negara.
Di tengah pesatnya pembangunan dan hilangnya beberapa perilaku arif di kalangan masyarakat modern, pejabat negara, pejabat pemerintahan maupun tokoh politik yang sering ini berbicara kebaikan tapi perilakunya merongrong wibawa negara, maka diperlukan kembali upaya menghidupkan keaslian adat istiadat kita dan membangun harmoni kita. Dalam ranah yang lain bahkan hal ini berguna untuk menguatkan pemerintahan yg bersih, merakyat dan berwibawa.
Pada kesempatan tilik masyarakat suku Samin tersebut, Gubernur Jatim yang juga Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama tersebut ditetapkan sebagai warga kehormatan Sedulur Sikep Samin oleh tetua adat yg sangat menghormati budaya lokal.
Dalam hal pelestarian alam, misalnya budaya Samin menjunjung penghormatan atas pentingnya budi luhur, penghormatan atas kesamaan derajat manusia atau apa yg disebut sebagai “local wisdom” yang tak terkira nilai positifnya.
Samin adalah komunitas local believes and positif character. Beberapa ajaran Samin dimaknai dengan segala variasinya. Beberapa ahli luar negeri dan dalam negeri memunculkan beberapa buku mengenai masyarakat ini. Beberapa keyakinan dan amalan yang sangat relevan dengan kehidupan modern yang mencerabut kearifan lokal a.l.
Pertama “ojo drengki”, maknanya, masyarakat Samin tidak boleh membenci satu dengan lainnya. Masyarakat Samin tak boleh membenci tetangganya dan bahkan membenci siapapun. Tentu ini sangat relevan dengan ” Dasar Negara Pancasila” khususnya Sila Persatuan serta ajaran akhlakul karimah yang diwajibkan di semua agama. Dengan kata lain spiritualitas masyarakat Samin yang oleh sebagian masyarakat modern disebut tertinggal itu ternyata mungkin lebih unggul dalam moral dibanding masyarakat modern yg punya sikap apatis dan budaya saling memakan.
Kedua, ajaran Samin berbunyi “Ojo meri”. Masyarakat Samin sangat unggul dalam kaitan untu berusaha tidak punya sifat iri hati kepada orang lain. Misalnya mereka tak boleh iri bila ada tetangganya punya kebun lebih luas dari keluarganya, dan boleh orang lain memiliki tanah sawah lebih luas dari dirinya. Hal yang ditolak oleh masyarakat Samin bukan luasnya tanah, tapi sikap menindas oleh orang kaya atas orang miskin.
Dalam konteks modern, ajaran ini adalah sesuatu nilai yg harus dihidupkan lagi, karena ini sesuai dengan ajaran agama apapun.
Sengketa dagang, konflik politik dan kegalauqn rakyat atas perilaku pemerintahan di era modern ini jangan jangan kurang belajar dari ajaran Samin ini. Acapkali kita kita yang mengaku sebagai bangsa maju beradab ini bersikap sebaiknya dan menghasilkan kacaunya nilai nilai kebersamaan dan keadilan ekonomi. Rusaknya tata nilai modernitas sekarang ini mungkin karena faktor kelalaian menguatkan nila luhur ini.
Ketiga “Ojo srei”. Orang Samin tak boleh berselisih dan tak boleh saling saling memfitnah satu dengan lainnya. Masyarakat Samin selama ratusan tahun hidup dalam harmoni. Jarang terdengar percekcokan yg berakhir dengan tawuran apalagi saling bunuh karena fitnah dan penyebar hoax. Fenomena “hoax” di dalam Pemilu dan Pilkada di era bangsa maju sekarang ini adalah lemahnya sikap ini. Masyarakat modern kita sekarang ini sangat rentan dengan penyakit saling iri dan saling dengki. Sesuatu yang harus diakhiri untuk menunju masyarakat damai.
Masyarakat Samin dulu sangat ulung dalam mengamalkan harmonisasi masyarakatnya dengan contoh yang baik dari pemimpin adatnya. Semua intrik dan dengki dapat dieliminasi karena mereka tak mau iri drwngki dan “srei” ini. Masyarakat Samin yang asli adalah masyarakat yg penuh hormat dan penuh respek. Jangan jangan segala pertikaian yg terjadi akhir akhir ini karena kita terjangkit penyakit tak saling respek tak saling hormat, saling menyalahkan dan saling menyerang satu dengan lainnya.
Keempat; Ojo “mbedoq colong”. Jangan ada pemaksaan dalam masyarakat , jangan ada penindasan dalam ranah publik, dan jangan sampai ada yang mencaplok hak hak dasar orang lain walau dibalut legalitas perijinan usaha, perijinan penguasaan lahan pertanian dan lahan industri. Sesuatu yang jamak terjadi dalam masyarakat modern sekarang ini.
Dalam konteks masyarakat modern dan ranah keadilan banyak ketidak kesembangan dimana hak rakyat diperkosa oleh pemilik modal raksasa, kita tahu persoalan kita tahu, di ranah sosial ekonomi adalah sistem yang memaksa atas nama legalitas perijinan usaha dan pengelolaan tambang dan penguasaan sumber kekayaan negara menjadi asal muasal ketimpangan.
Di ranah perjuangan keadilan dan kesejahteraan rakyat, kita perlu mencontoh sikap masyarakat Samin yang hidup adil dalam tatanan masyarakat yang harmonis.
Sikap yang adil dalam ranah ekonomi sebagaimana yg dilakukan selama ratusan tahu di masyarakat Samin bagus untuk contoh menuju implementasi pasal 33 UUD 1945 yaitu “Bumi Air Serta Kekayaan yang Terkandung di Dalamnya Dipelihara Oleh Negara dan Dipergunakan untuk Sebesar besarnya Kemakmuran Rakyat”.
Dalam ranah masa kini, fenomena kepemilikan lahan yang terlalu luas dan penggunaan bumi air dan kekayaan di dalamnya yang tek terkira dampaknya buruknya. Butuh pemikiran kembali. Kita butuh terobosan moral untuk menuju keadilan sosial. Jangan sampai pemilik modal bisa memaksa maksa pekerja dan masyarakat mengikuti kehendaknya. Jangan sampai ada yang “mbedog colong”.
Kelima,
Ojo *tukar padu*. Masyarakat Samin tak boleh bermusuh musuhan. Tak boleh saling ancam dan saling serang. Ajaran ini sejak ratusan tahun lalu masih sangat kuat tertanam dalam masyarakat Samin. Ajaran ini sangat relevan sebab menurut banyak penelitian sosial, tingkat kohesivitas masyarakat Indonesia terutama mereka yang hidup di perkotaan lama kelamaan terus tergerus. Sikap harmoni, sikap gotong, sikap toleransi dapat dikatakan semakin lama semakin menipis. Sikap toleransi diancam oleh sikap ananiyah atau kelompok yang mengental. Kasih sayang antar sesama ummat beragama dikatakan oleh banyak tokoh sedang memudar. Hancur oleh anarkisme pamaksaan madhab dan munculnya sikap radikalisme di berbagai kelompok bahkan kelompok agama. Menurut analisis Badan Intelejen Negara (BIN) sikap radikalisme yg menguat bahkan bisa mengancam kebhinekaan dan keberadaan NKRI
Keenam; Ojo “pekpinek barange liyan”, tak boleh mengambil hak orang lain. Kasus pencurian, penggelapan, kasus penipuan dan beberapa kasus korupsi besar dan korupsi yg dilakukan oleh para pejabat negara, anggota dan pimpinan DPR- DPRD di berbagai wikayah dan tingkatan, serta penyelenggara negara yang korup juga berawal dari kurangnya sikap “nerima ing pandum”. Korupsi adalah lawan dari “pek pinek barange liyan”.
Dalam konteks pemerintahan, perdagangan serta pengembangan bisnis, rupanya kita mesti banyak belajar dari masyarakat Samin yang meletakkan kejujuran sebagai syarat menuju perbaikan tatanan kebangsaan, tercapainya cita cita kenegaraan yang adil dan sejahtera, menuju pemerintahan yang bersih, berintegritas dan berwibawa. Nilai ini sangat dibutuhkan sebagai dasar pembangunan ekonomi dan kemasyarakatan yang berkeadilan sosial.
Ketujuh dan ke delapan; Ojo “nganggo peci”, lan Ojo “Sekolah”. Artinya pemimpin masyarakat Samin dulu memang melarang warganya untuk meniru dan hanyut terhadap pengaruh budaya lain yg tak seirama dengan kearifan lokal masyarakatnya.
Peci saat itu adalah lambang modernitas dan lambang kekuatan luar. Samin adalah lambang kemandirian, mereka memakai baju adat sendiri, mereka cukup dengan pakaian dan peralatan rumah tangga bikinan sendiri, makan dari hasil kebun dan pertanian sendiri, dan memakai udeng udeng warna gelap seragam dengan warna sarung dan bajunya.
Mereka total dan tak mau kompromi dengan budaya lain terutama yang dipaksakan oleh Belanda. Ojo “sekolah”, konyeks maknanya waktu itu kira-kira untuk membentengi kerusakan dan penyerangan ideologi melalui kurikulum sekolah Belanda .
Samin Surosentiko saat mengalami ancaman dari berbagai segi merasa betapa pada jaman Belanda beberapa anak muda diseret untuk disekolahkan Belanda untuk kepentingan kemajuan. Mereka akan habis local wisdomnya bila dikirimkan sekolah ke Belanda.
Pak Samin berkilah bahwa kita bisa sekolah moral di sini saja dan melarang anak anak muda yang gabung Belanda untuk sekolah. Ini adalah sikap tidak kompromi terhadap pemaksaan Belanda. Ini adalah semacam larangan untuk “keluar kampung” dan keluar dari komunitas untuk keperluan yangg lama. Batin Samin mengatakan ini pasti untuk menyerang mereka dari dalam
Kesembilan. Ojo “wayuh”, jangan ada masyarakatku yang berikap mendua. Jangan sekali kali berbohong. Jangan dusta. Jangan khianat. Kalau iya, bilang saja iya dan melaksanakan bicaranya jangan kalau tidak bilang saja tidak. Jangan ada tipu daya, jangan hanya manis di lidah. Turunan dari sikap ini adalah “Ojo waton ngomong”, jangan hanya pandai berjanji saja tanpa bukti nyata.
Seribu satu ajaran Samin kalau dirunut runut adalah ajaran kebaikan. Berbagai ajaran Samin memang tak berbungkus agama atau Pancasila. Namun bagi kita orang yang beragama dan Pancasilais, ajaran dan sikap itu sangat relevan dengan ajaran kitab suci dan ajaran Nabi nabi dan Rasul Allah SWT.
Memang Pak Samin Suro Sentiko bukanlah penasehat BPIP, beliau tak pernah mengatakan bahwa dirinya adalah penghulu dari agama tertentu, bukan pula pimpinan organisasi terbesar atau juga bukan guru besar. Namun untuk beberapa hal, kita harus jujur, mau belajar kepadanya akan perlunya dan keharusan kesatuan antara kata dan perbuatan. Wallahu a’lam.
————-*** ————-

Tags: