Bencana Lingkungan dan Kerja Sama Multi-Stakeholder

Pada beberapa bulan terakhir tahun 2013 hingga awal 2014 ini serentetan bencana merudung Indonesia. Kita menyaksikan berbagai kota hampir di seluruh provinsi mengalami banjir besar. Bencana banjir disebabkan oleh menumpuknya sampah dan pencemaran limbah industri di sungai-sungai serta pemanfaatan daerah aliran sungai (DAS) sebagai lokasi pemukiman warga. Jika di negara-negara maju, sungai merupakan tempat rekreasi dan penyempurna tata kota, sayangnya di Indonesia sebagian besar sungainya berfungsi sebagai tempat pembuangan. Pemerintah Daerah telah mengupayakan dana yang cukup besar untuk program revitalisasi sungai dan kanal-kanal pencegah banjir. Selain itu, terdapat wacana untuk menambah luas area Tempat Pembuangan Akhir (TPA) karena pertumbuhan jumlah sampah perkotaan tidak sebanding dengan kapasitas penampungan.

LIPI beberapa tahun yang lalu pernah mengemukakan riset yang menunjukkan kondisi lingkungan Ibukota yang cukup mengkhawatirkan. Kota Jakarta yang rentan terhadap banjir, beresiko tenggelam dalam 25 tahun ke depan. Pada umumnya di kota-kota besar, meningkatnya pertumbuhan populasi dan kawasan bisnis berbanding lurus dengan tingginya konsumsi air tanah dan ketersediaan pemukiman. Oleh sebab itu, berkurangnya lahan terbuka dan sistem drainase yang buruk menjadi faktor pemicu bencana banjir (the Jakarta Globe, 2013). Untuk itu, tulisan ini akan mengetengahkan bagaimana alternatif mengatasi masalah lingkungan mengingat perubahan iklim menjadi diskusi internasional yang menekankan peran pemerintahan dan kerja sama multi-stakeholder.

Model Pembangunan Berkelanjutan

Masalah lingkungan 30 tahun yang lalu memang masih menjadi pembahasan yang tidak menarik bagi para pemangku kebijakan (low politics). Namun, masyarakat internasional tidak dapat menafikkan adanya tuntutan terhadap perbaikan kualitas hidup dalam relasinya terhadap kelestarian lingkungan. Mengingat dampak industrialisasi mendorong munculnya isu menipisnya lapisan ozon dan pemanasan global. Para ahli mengemukakan bahwa kerusakan lingkungan cenderung menjadi implikasi dari aktifitas populasi dan konsumsi sumber daya alam. Revolusi teknologi mendorong manusia mengkonsumsi energi fosil dengan jumlah yang sangat besar. Kebutuhan ini awalnya dianggap wajar, mengingat modernisasi dan kemajuan peradaban. Ditandai dengan revolusi industri di Eropa, setiap negara mengejar target pertumbuhan (growth) melalui model pembangunan yang berorientasi pada kegiatan manufaktur dan perdagangan internasional.

Beberapa dekade selanjutnya, kita mulai merasakan dampak perubahan iklim yang lebih nyata. Pada 2010, sidang FAO mengkhawatirkan tren kenaikan harga pangan dunia. Hal tersebut disebabkan oleh Rusia sebagai salah satu penghasil gandum terbesar di dunia, harus menghentikan ekspornya karena kebakaran lahan. Selain itu, terjadi penurunan produksi pertanian di beberapa negara pemasok di Asia dikarenakan banjir. Masalah-masalah ini sempat memicu kelangkaan pangan yang pada akhirnya mendorong kerusuhan di beberapa negara dan mengancam legitimasi pemerintahan yang berkuasa.

Walikota Surabaya pada salah satu wawancara stasiun televisi memaparkan bencana banjir sebagai faktor yang menyumbang kemiskinan warga. Ketika banjir terjadi, masyarakat terkendala mencari nafkah karena jalan raya tergenang air sehingga menghambat jalur transportasi. Sementara, warga juga membutuhkan biaya ekstra untuk mengganti kerusakan perabot, rumah, bahkan kendaraan yang terendam banjir. Beberapa layanan publik seperti rumah sakit, kantor pemerintahan, dan sekolah menjadi terhenti aktifitasnya akibat air mencapai kedalaman 1 meter. Bahkan kualitas kesehatan warga semakin menurun karena banjir relatif menjadi momen penyebaran penyakit seperti demam berdarah. Dengan demikian, banjir tidak hanya merupakan bencana lingkungan tetapi juga bencana ekonomi.

Sejak tahun 1980, ‘sustainable development’ diperkenalkan oleh masyarakat internasional sebagai salah satu alternatif pembangunan. Publikasi ‘Our Common Future’ oleh World Commission on Environment and Development (Brundtland Report) menekankan manajemen sumber daya dan pengendalian konsumsi energi fosil dalam target pertumbuhan ekonomi demi keberlangsungan hidup generasi selanjutnya (Porter & Brown, 1991). Oleh sebab itu, pembangunan harus mengintegrasikan kepentingan ekonomi, komitmen politik, dan kesehatan ekologi.

Pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen pada tahun 2020. Inisiatif terhadap kelestarian lingkungan ini patut diapresiasi. Kebijakan yang diterbitkan tahun 2010 sebagai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) menjadi implementasi kesepakatan KTT Perubahan Iklim di Copenhagen yang memihak perbaikan kualitas hidup masyarakat. Kita menyaksikan maraknya gerakan “Car Free Day” dan “Bike to Work” di berbagai kota di Indonesia. Selain itu, pemerintah daerah mulai memperhatikan hak para pejalan kaki dan membuat perbaikan fasilitas transportasi publik serta ketersediaan trotar yang tentunya semakin memudahkan aktifitas masyarakat dan mengurangi polusi udara.

Sosialisasi Pendidikan Lingkungan

Kebijakan pembangunan berkelanjutan tentunya tidak akan berhasil tanpa sosialisasi pendidikan lingkungan. Komintmen nasional tentang penanggulangan masalah perubahan iklim dan degradasi lingkungan harus didukung oleh semua pihak, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat umum. Proses pengajaran dan pembiasaan tentang kebersihan dan kelestarian lingkungan, menjadi salah satu upaya positif yang membangun kesadaran masyarakat. Sekolah turut menjadi mitra yang efektif di mana seorang anak memperoleh pendidikan lingkungan dari keteladanan para gurunya dan melalui proses pembiasaan perilaku. Tentu saja, hal ini membutuhkan konsistensi dari keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar. Kepedulian lingkungan dapat menjadi nilai-nilai universal apabila terdapat pemahaman dan aksi yang didukung oleh seluruh komponen masyarakat.

Kita perlu mendukung kembali gerakan pemilahan sampah antara yang dapat didaur ulang dengan yang bisa terurai oleh tanah. Gerakan ini dimulai dari masing-masing rumah tangga dan kawasan bisnis. Pemerintah Daerah perlu membangun legalitas terkait sanksi dan apresiasi prestasi dalam upaya membangun kesadaran lingkungan. Pemerintah Daerah juga perlu menguatkan kerja sama dengan pihak swasta dalam sistem pengelolaan sampah perkotaan. Dibantu oleh riset para pakar/ akademisi, diharapankan memunculkan inovasi-inovasi dalam manajemen pengelolaan sampah perkotaan yang terpadu sekaligus menghasilkan keuntungan ekonomi dan kelestarian lingkungan.

Kita perlu meneladani gerakan sosial di berbagai daerah di Indonesia yang mengupayakan manajemen sampah perkotaan. Kita menyaksikan berbagai kreatifitas komunitas warga yang memanfaatkan sampah plastik menjadi produk jadi komersial. Salah satunya di Malang, terdapat kegiatan Bank Sampah di mana masyarakat dapat menjual sampah yang telah dipilah dan dikumpulkan melalui lembaga khusus. Sehingga, pengelolaan sampah berbasis komunitas turut membantu perekonomian warga.

Dengan demikian, masalah lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama. Manajemen pengelolaan sampah dan tata kota yang peduli kelestarian lingkungan menjadi faktor yang membantu upaya pencegahan bencana banjir. Implementasi kebijakan pembangunan berkelanjutan yang memuat kerja sama multi-stakeholder dan pendidikan peduli lingkungan, diharapkan akan tercipta Indonesia yang lebih sehat dan nyaman.

Oleh :

Demeiati Nur Kusumaningrum

Staf Peneliti Center for Intermestic Studies (CIS), Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang