“Berburu” Murid Gakin Cegah Putus Sekolah

(Memperingati Hardiknas: Kesempatan Pendidikan “Berkeadilan” ) 

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

“Barang siapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga, dan sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya pada penuntut ilmu …, dan sesungguhnya orang yang berilmu (guru) dimintakan ampunan oleh penghuni langit dan penghuni bumi hingga ikan-ikan yang ada di air … ”
(Al-hadits shahih, perawi Imam Abu Dawud, dan Imam Tirmidzi)
Frasa kata “rela terhadap apa yang ia kerjakan,” menurut beberapa ulama, adalah rajin (dan sabar) dalam menuntut ilmu. Para ahli ke-pendidik-an, menafsirkan melalui pepatah, “rajin pangkal pandai.” Namun tidak ada talk-show di televisi, dan tiada spanduk terpasang untuk memperingati Hardiknas (Hari pendidikan nasional). Juga tidak ada hymne pendidikan dinyanyikan di sekolah-sekolah. Padahal seyogianya peringatan Hardiknas dijadikan momentum untuk me-reorientasi pola pendidikan nasional.
Sejak ditetapkan pada tahun 1959 (dan diperingati pertama kali pada tahun 1960), Hardiknas selalu dijadikan momentum re-orientasi kependidikan. Namun urusan pendidikan seolah kelelap oleh hingar-bingar politik. Bersyukur pada tahun 1973, presiden RI (ke-2) Soeharto menerbitkan Inpres Nomor 10 tahun 1973, tentang Pembangunan Gedung SD (Sekolah Dasar). Mengiringi program itu, (tahap pertama) dibangun sebanyak enam ribu gedung dengan tiga ruang kelas.
Pemerintah saat itu memiliki anggaran cukup memadai, karena naiknya harga minyak dunia. Bahkan juga mengangkat lebih dari sejuta tenaga pengajar pegawai negeri sipil (PNS) di seluruh Indonesia. Program SD Inpres, dikawali ketat oleh presiden Soeharto. Konon suatu ketika, presiden mengunjungi SD Inpres di Cilacap (Jawa Tengah). Merasa ada yang tak beres, presiden Soeharto, coba menendang dinding sekolah. Ternyata benar, dinding ambruk. Presiden bertanya, “siapa anemer-nya (pemborong)?”
Program wajib belajar 6 tahun itu di-korelasi pula dengan program anak asuh, dirancang khusus untuk anak-anak keluarga miskin. Karena jasanya memajukan pendidikan, Indonesia memperoleh penghargaan UNESCO (United Nation Education, Scientific Culture Organisatio). Pada tahun 1993, penghargaan “The Avicena Award,” diberikan kepada Presiden Soeharto dalam bidang Pembangunan Pendidikan untuk Rakyat.
Saat ini, telah dimiliki sandaran konstitusi kependidikan lebih kokoh. UUD pasal 31 ayat (3), menyatakan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Amanat konstitusi sesuai gagasan Raden Mas Suwardi Suryaningrat, “bapak pendidikan nasional.”
Pendidikan Ke-teladan-an
Saat ini, 25 tahun setelah “The Avicena Award,” Maka perlu melihat kembali falsafah pemikiran Raden Mas Suwardi Suryaningrat, Menteri Pengajaran (Pendidikan) pertama Indonesia. Tokoh dari kalangan keraton ini, kelak, lebih dikenal dengan panggilan Ki Hajar Dewantara. Namanya, itu menunjukkan status (dan pemikirannya) sebagai guru sepanjang hayat. Konsep “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” yang ditulisnya, bukan sekadar jargon ke-guru-an. Melainkan menjadi sikap keseharian.
Konsep ke-guru-an Ki Hajar Dewantara, di-adopsi dari guru mengaji di kampung Kalasan, Prambanan, Yogya. Ketokohan kyai Sulaiman Zainudin, meng-ilhami salahsatu santrinya (RM Suwardi Suryaningrat), tentang konsep pengajaran rakyat. Bahwa pendidikan bukan sekadar transformasi (menyebarkan) ilmu dan pengetahuan. Melainkan memberi teladan (moralitas) pelayanan rakyat, tut wuri handayani. Pendidikan, juga harus menjangkau segenap masyarakat, tanpa diskriminasi (strata ekonomi, sosial dan politik).
Harapan Ki Hajar Dewantara, telah dikukuhkan dalam konstitusi. UUD pasal 31 ayat (2), menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Pendidikan dasar yang dimaksud (berdasar UU Sisdiknas tahun 2003), adalah program wajib belajar selama 9 tahun, sekolah tingkat SD dan SMP (dan Madrasah Tsanawiyah, MTs).
Namun amanat konstitusi masih terkendala perekonomian (pemerintah dan rakyat). Menjadikan biaya pendidikan terasa mahal, tak terjangkau. Kecuali di pedesaan masih berlaku “tarif sosial.” Walau hasilnya (lulusan) sama, sudah dapat membaca pada saat akan masuk SD. Pemerintah seyogianya mencegah eksploitasi lembaga pendidikan sebagai ladang bisnis.
“Tarif sosial” pendidikan wajib belajar di pedesaan (dan pesantren), agaknya, masih memegang teguh prinsip kependidikan yang digagas Ki Hajar Dewantara. Harus diakui, pendidikan di perdesaan (dan pesantren) berjasa memperluas jangkauan lembaga kependidikan. Toh biaya pendidikan bisa “dibicarakan” bersama dengan tokoh masyarakat, serta warga yang tergolong berkecukupan secara ekonomi.
Program millennium development growth (MDG’s) bertumpu pada indeks ke-pendidik-an. Di Indonesia, IPM (Indeks Pembangunan Manusia), juga menempatkan ke-pendidik-an sebagai pilar utama, selain derajat kesehatan. Namun hingga kini indeks ke-pendidik-an (lama sekolah) secara nasional masih senilai 7,2. Artinya, hanya sampai pada tingkat SLTP kelas 1, naik ke kelas 2 hanya beberapa bulan, lalu putus sekolah.
Data putus sekolah, masih cukup tinggi pada tahun (2018) ini. Angkanya bisa diperoleh dengan cara membanding pesereta Unas (Ujian Nasional) SMP dan Madrasah Tsanawiyah tahun 2015, dengan peserta Unas SMA dan SMK tahun 2018. Tahun 2015, peserta Unas SMP (dan sederajat) sebanyak 3.773.372 siswa. Sedangkan peserta Unas SMA (dan sederajat) 3,6 juta siswa. Masih terpaut selisih seratus ribu lebih.
Berhenti melanjutkan sekolah, lebih banyak lagi, karena sebagian terbesar putus sekolah terjadi sebelum kelas IX. Berdasar data UNICEF (United Nations Internasional Childrens Emergency Fund), tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Faktor utama yang dijejaki UNICEF, adalah kemiskinan orangtua murid.
Fasilitasi Murid Gakin
Sebesar 95% tragedi putus sekolah, disebabkan faktor ekonomi. Setelah putus sekolah, anak-anak harus bekerja menopang ekonomi keluarga. Berdasar data BPS, terdapat lebih dari 4,5 juta anak-anak yang dipaksa untuk bekerja. Diantara jumlah tersebut, 1,75 juta bekerja dalam bentuk-bentuk pekerjaan yang terburuk untuk anak. Antaralain, mengemis, mengamen, sampai menjadi kurir peradaran narkoba.
Melalui UU Nomor 1 tahun 2000 telah meratifikasi konvensi dunia tentang perlindungan anak. Yakni, Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour (Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Pekerjaan Terburuk untuk Anak). Banyaknya masalah yang mendera anak usia sekolah wajib belajar (7 – 15 tahun) di Indonesia, itu cukup ironis.
Konstitusi telah menjamin hak asasi anak. Antaralain pasal 28-B ayat (2) UUD. Maka, negara berkewajiban memenuhi seluruh hak anak, terutama hak belajar dengan fasilitasi pemerintah. Serta hak fasilitasi tambahan khusus untuk anak-anak keluarga miskin (gakin). Tidak cukup hanya dengan penanggungan biaya pendidikan oleh pemerintah melalui KIP (Kartu Indonesia Pintar).
Murid gakin memerlukan fasilitasi tambahan, agar dapat tutut berperan menjalankan fungsi “ke-ekonomi-an” keluarga. Misalnya, di-fasilitasi pemberian hewan ternak (ayam, bebek, atau sapi maupun kambing). Hewan ternak dapat diurus oleh anak-anak murid gakin di sekitar rumahnya. Sekaligus melatih kemandirian anak-anak. Konsep ini pernah dialami oleh Ki Hajar Dewantara, ketika menjadi santri di pesantren Kalasan, diasuh kyai Sulaiman Zainuddin.
Karena pengalaman belajar mandiri di pesantren itu, Ki Hajar Dewantara menggagas sekolah kejuruan sejak awal (setingkat SMP). Antaralain berupa ST (Sekolah Teknik) dan SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama), serta SKKP (jurusan memasak dan menjahit). Sebenarnya, pemerintah pada tahun 2013 pernah memiliki program Bantuan Siswa Miskin (BSM). Disalurkan melalui Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama.
Diperkirakan, sebanyak 16,6 juta murid patut menerima BSM. Namun realisasi hanya sekitar 2,5 juta murid. Kendala validitas (dan sosialisasi) juga mengiringi program BSM, sehingga tidak tepat sasaran. Begitu pula berbagai program bantuan lain, masih selalu memerlukan validitas data penerima. Termasuk KIP (Kartu Indonesia Pintar).
Angka murid gakin tahun ini diperkirakan mencapai 17 juta-an peserta didik. Sejumlah itulah yang mesti diwaspadai rawan putus sekolah. Memang tidak mudah merealisasi bantuan perlindungan sosial. Mencegah putus sekolah, niscaya meningkatkan angka partisipasi sekolah. Pada ujungnya indeks pendidikan menjadi tolok-ukur utama IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Pada tataran ASEAN, IPM Indonesia masih pada peringkat ke-6.
Diperlukan inovasi (dan penambahan) pemberian bantuan kepada siswa miskin. Antaralain berupa modal dan model kerja khusus, sesuai budaya lokal. Karena sesungguhnya setiap daerah memiliki kebiasaan mengupayakan perekonomian secara bersama. Sekeluarga gotongroyong mengupayakan penghasilan, disesuaikan dengan “kekuatan bahu” masing-masing. Termasuk melibatkan anak-anak dalam pekerjaan seni dan hobi ketrampilan.
Pemerintah presiden Jokowi, niscaya lebih berdaya meningkatkan indeks kependidikan. Termasuk dengan tambahan kebijakan berupa pagu Dana Abadi Pendidikan sebesar Rp 15 trilyun. Dengan inovasi bantuan modal kerja, siswa miskin dapat bekerja di sekitar rumah menyokong pendapatan keluarga setelah pulang sekolah. Pada masa liburan, pengalaman siswa gakin kerja di sekitar rumah dapat ditularkan kepada teman-teman, sebagai hiburan sangat menyenangkan

.——— 000 ———

Tags: