Boyong Ibukota dari Jakarta ke Nusantara

Pembangunan Ber-keadilan sosial Indonesia Centris

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Social dan Politik

Boyong (pindah) ibukota negara yang lama digagas, kini segera akan menjadi kenyataan. Undang-Undang (UU) tentang Ibu kota Negara (IKN) telah disetujui oleh DPR-RI. Hanya satu fraksi (dari 9 fraksi) di DPR yang tidak menyetujui, berkait ketepatan waktu. Lokasi ibukota negara RI “warisan” kolonial, akan pindah sesuai asas ke-pusat-an. Juga asas pemerataan pembangunan berkeadilan sosial. Karena Jakarta sebagai pusat segala urusan sudah overload.

Ditambah konsekuensi beban ke-ekonomi-an (berupa pajak, retribusi, serta harga barang dan jasa) makin memberatkan masyarakat. Menyulut ketimpangan (penyakit) sosial khas metropolitan. Jakarta terlanjur “lelah” menjadi penyangga tunggal segala urusan negara. Sebagai mega-politan terbesar ke-empat di dunia (setelah Tokyo, New York, dan London), Jakarta tergolong paling tua. Sejak abad ke-12 telah menjadi bandar yang ramai. Menarik minat dagang negara-negara seluruh dunia. Juga menjadi tujuan perdagangan (dan dakwah) bangsa-bangsa jazirah Arab.

Sejak dekade tahun 1850-an, sudah terjadi pendangkalan hebat. Maka sejak pertengahan abad ke-19 telah mulai dibangun pelabuhan baru, 15 kilometer arah timur, di Tanjung Priok. Penguasa kolonial Belanda mengganti nama bandar Jayakarta menjadi Batavia, sekaligus pusat pemerintahan. Perubahan nama menjadi Jakarta, disesuaikan dengan pengucapan lidah Jepang. Pada masa kemerdekaan, teritorial Jakarta telah berkembang menjadi metropolitan terbesar ketiga di dunia, berdasar sediaan infrastruktur, dan luas wilayah.

Ibukota Jakarta telah menjadi megapolitan terbesar di bawah Tokyo, dan New York. Konon pada tataran pergaulan dunia (sejak dekade 1980-an), Jakarta memiliki julukan sebagai “The Big Durian.” Disetarakan dengan metropolitan New York yang berjuluk “The Big Apple.” Jika tetap menjadi pusat pemerintahan, diperkirakan Jakarta akan menjadi kota mega-politan terbesar di dunia (menggeser Tokyo) pada tahun 2028. Tetapi Jakarta telah kelebihan beban, terutama daya dukung lingkungan. Banjir selalu mengancam setiap musim.

Penerbitan UU Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta, sebenarnya telah disesuaikan dengan prakiraan perkembangan. Namun selalu terasa bagai kalah adu cepat dengan pertumbuhan perkotaan. Jakarta saat ini, sudah sangat tidak nyaman. Terganggu kepadatan penduduk, dan kemacetan lalulintas parah. Serta problem urban serius pada sanitasi, dan air bersih. Kualitas hidup masyarakat terhadap dampak emisi gas buang (pencemaran udara).

Beban Berat Jakarta

Udara pada langit ibukota (Jakarta) pernah dinyatakan sebagai salahsatu yang terburuk di dunia! Penyedia data kualitas udara, AirVisual, mencatatkan ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) mencapai 188. Maka Jakarta, memerlukan cara meminimalisir efek emisi gas buang. Terutama memperluas area terbuka hijau, dengan hutan kota yang memadai. Itu nyaris mustahil disediakan di Jakarta.

Problem lingkungan yang lain, banjir, juga sangat kronis. Terdapat siklus banjir besar periode 5 tahunan, mulai tahun 1996-97, tahun 2002, dan berpuncak pada tahun 2007. Berdasar catatan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), curah hujan tertinggi mencapai 340 mili-miter, tercatat tahun 2007. Kemungkinan terulang sebesar 20%. Jakarta tidak nyaman. Sebanyak 24 kawasan langganan banjir tersebar di seluruh Jakarta. Tragedi banjir (1 Pebruari) 2007, mencatat sebanyak 80 korban jiwa.

Siapa tak miris? Bahkan istana negara juga terendam air setinggi lutut orang dewasa. Begitu pula kawasan jalan protokol utama terendam banjir 50 sentimeter. Banjir rob, juga biasa meluapkan air di pesisir utara Jakarta, walau tanpa hujan. Lingkungan Jakarta tidak nyaman. Serta tidak ramah ekonomi, karena harga tanah, dan sewa rumah menjulang selangit. Sehingga banyak buruh dan karyawan bertempat tinggal di kawasan “satelit” Jakarta (Tangerang, Bekasi, Depok, dan Bogor).

Realitanya, Jakarta semakin bergantung pada kawasan sekitar propinsi Banten, dan Jawa Barat). Misalnya, kebutuhan area pembuangan sampah akhir. Serta lahan catchment area sebagai resapan air. Juga pembuatan kanal banjir, dan perluasan bantaran sungai. Sedangkan kawasan rekreasi, dan hiburan, telah lama menjangkau kabupaten Cianjur, Sukabumi, dan Lembang (kabupaten Bandung Barat). Sehingga undang-undang (UU) yang mengukuhkan Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota negara, patut direvisi.

Tetapi yang paling miris, berupa ancaman megathrust (gempa bumi besar) ber-magnitudo 8,7 SR (Skala Richter). Sumber gempa besar di Selat Sunda, lokasi pertemuan lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Pusat gempa hanya sekitar 300 kilometer barat Jakarta. Konon arah tumbukan dua sabuk lempeng gempa berjalan sejauh 60-70 milimeter per-tahun. Gedung bertingkat tinggi (lebih dari 6 lantai atau 20 meter), bisa runtuh.

Maka perpindahan ibukota negara, menjadi keniscayaan. Bahkan telah digagas oleh presiden pertama RI, Ir. Soekarno, sejak tahun 1957. Lokasinya berdekatan dengan ibukota negeri pertama dalam sejarah Indonesia, Kutai Martapura (tahun 400), di sekitar hulu sungai Mahakam. Kutai Kertanegara menjadi kerajaan Islam sejak tahun 1575, hingga tahun 1960. Sudah tergabung dua kerajaan se-Kutai (Martapura, dan Kertanegara).

Simbil Kemajuan Indonesia

Penguasa terakhir, Sultan Aji Muhammad Parikesit, pada 21 Janauari 1960, menyerahkan roda pemerintahan kepada tiga Kepala Daerah. Tahun 1959, Daerah Istimewa eks kesultanan Kutai Kertanegara, terpecah menjadi 3 daerah praja. Yakni, kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Samarinda, dan Kota Balikpapan. Di sekitar tiga kota ini pula, kota “Nusantara” calon ibukota negara RI akan dibangun megah.

Berdasar UU Ibu Kota Negara (UU IKN), pasal 5, dinyatakan, “IKN Nusantara berfungsi sebagai ibukota NKRI yang menjadi tempat penyelenggaraan kegiatan pemerintah pusat, serta tempat kedudukan perwakilan negara asing dan perwakilan organisasi / Lembaga internasional.” Pada pasal 6, dinyatakan ibukota negara memiliki batas wilayah. Yakni, kabupaten Kutai Barat (di sisi utara), Kutai Kertanegara (di sisi barat), hingga tembus kabupaten Penajam Paser Utara. Di sisi timur menghadap selat Makasar, dan di sisi selatan menghadap teluk Balikpapan.

Kawasan IKN terbentang seluas 256 ribu hektar (4 kali luas DKI Jakarta). Terdapat kluster kawasan khusus seluas 56 ribu hektar, yang berisi area khusus pemerintahan. Dikonstruksi memiliki hampir 200 ribu kawasan pengembangan. Pembangunan kluster pengembangan akan menampung talenta Indonesia berkelas dunia. Diharapkan akan terbangun kolaborasi dalam pengembangan energi pintar (smart energy), jasa kesehatan pintar (smart health), dan produksi makanan pintar (smar food production). Menjadi simbol kemajuan Indonesia.

UU IKN pada pasal 9, mengatur badan otorita pengelola. Dipimpin Kepala, dan Wakil Kepala Otorita (setingkat Menteri). Jabatan pimpinan otoritas berlangsung selama 5 tahun. Sesudahnya dapat diangkat Kembali. Selanjutnya pasal 10 ayat (3), menyatakan, untuk pertama kali jabatan Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN dakan ditunjuk, dan diangkat oleh presiden. Selambat-lambatnya 2 bulan setelah UU IKN diundangkan (18 Maret 2022).

Tak lama, pucuk pimpinan ibukota negara Nusantara, akan terbentuk. Karena terdapat amanat pada pasal 5 ayhat (6) UU IKN, bahwa otoritas IKN Nusantara sudah beroperasi paling lambat akhir tahun 2022. Maka pemindahan ibukota negara ke kawasan Nusantara akan menimbulkan efek positif perekonomian. Patut direspons pemerintah propinsi tetangga, dengan meningkatkan infrastruktur sektor perdagangan. Terutama Jawa Timur, yang hanya berjarak 1 hari perjalanan kapal laut (hanya 1 jam dan 20 menit perjalanan udara).

Dengan investasi sebesar Rp 500-an trilyun, ibukota negara yang baru akan menjadi “pasar besar” nasional. Sekaligus magnet investasi asing di segala bidang usaha. Visi “Indonesia sentris” akan terealisasi, mengungkit kemakmuran Kawasan timur Indonesia.

——- 000 ———

Tags: