Bu Tejo, Hoaks dan Membumikan Keindonesiaan

Susanto

Refleksi Hari Ibu 22 Desember 2021

Oleh :
Susanto
Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMAN 3 Bojonegoro-Jatim.
Alumnus Pascasarjana UNS Surakarta-Jateng Tahun 2010
Dadi wong kuwi seng solutif ngono yoo (Bu Tejo, dalam Tilik)

Jagat dunia maya khususnya perfilman beberapa waktu lalu tersuguhi fenomena film pendek yang berjudul Tilik. Film dengan durasi 32 menit 31 detik garapan sutradara Wahyu Agung Prasetyo telah beredar di Youtube dan medsos secara masif menembus 9 juta lebih. Para pelaku kaum hawa seakan menunjukkan “potret” realitas yang terjadi di sekeliling kehidupan yang nyaris terlupakan bahkan tertutup pandemi Covid-19. Artinya, Tilik memberikan suguhan bahwa hoaks dan juga karakter yang tidak sesuai karaker bangsa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam keseharian hidup bermasyarakat.

Pertanyaannya yang mengemuka masih relevankah fenomena tesebut di tengah keprihatinan pandemi khususnya dan umumnya disaat memperingati Hari Ibu 22 Desember 2021. Lantas apa peran kaum hawa agar kiprahnya membumi khususnya dalam menjaga NKRI?

Bu Tejo “Potret” Peradaban

Fenomena yang terjadi di film pendek tentang sosok perempaun-perempuan dalam Tilik tentunya harus disikap arif dan bijaksana. Bagaimana sosok Bu Tejo yang gigih dalam berpendapat seakan menjadi representatif dalam kesehajaan yang terjadi di lingkungan kita, Semua terjadi karena semua itu semata-mata banyak faktor pemicu dan salah satunya tehnologi.

Lantas bagaimana agar fenomena Tilik, harus menjadi bagian integratif dalam membentengi generasi mendatang. Pertama, kebebasan berekspresi seperti yang dilakukan oleh kaum hawa dalam Tilik harus tetap dalam spirit untuk melihat realitas dan kejujuran. Artinya, berpendapat itu harus menyesuaikan kondisi real di masyarakat. Kata-kata bijak mengatakan: disitu bumi dipijak langit dijunjung. Maksudnya kalau kita menetap atau menginjakan kaki di daerah tertentu maka harus mengikuti daerah yang kita tuju. Apa yang kita pikirkan harus menyesuai dengan alam sekitarnya. Dalam konteks, perlunya untuk menjaga sikap untuk menahan diri dari perkataan yang “asal bunyi” harus menjadi komitmen kita semua..

Kedua, sebuah upaya konkrit sikap karakter bangsa oleh orang tua khususnya para Ibu sebagai sosok yang lemah lembut, polos, dan tanpa teding aling-aling. Dalam konteks ini seperti yang terrepresentasi dalam sosok Bu Tejo sudah saatnya untuk menguatkan kembali karakter mulia yang sudah diajarkan oleh pendahulu. Karakter tokoh dalam film itu harus bisa menginspirasi para perempuan. Ibu-ibu harus bisa mengambil pelajaran sehingga bisa menjadi pengawal peradaban di tengah keluarga khususnya mendidik anak-anak.

Mengelola Keindonesiaan

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.

Pertama, sosok Ibu khsususnya dan masyarakat pada umumnya saat harus menjadi katalisator terkait dengan dampak positif-negatif dari hoak. Media sosial, berita hoak, dan juga tindakan provokatif yang terjadi di tengah masyarakat harus dapat difilter. Posisi Ibu tetap menjadi bagian sosok sentral dalam membentengi karakter generasi yang akan datang, bukan sebaliknya. Dengan demikian, para ibu (perempuan) khsususnya dan juga elemen bangsa harus bisa maksimal dalam mengemban pilar karakter dalam keluarga dan juga masyarakat.

Kedua, mengelola hoaks dalam konteks kepungan medsos dan tehnologi seperti saat ini harus dapat dimanfaatkan untuk menebar kebaikan jangan sebaliknya. Sudah saatnya medsos dengan berita-berita hoax harus dijadikan musuh bersama. Harapannya menjadi bangsa yang beretika dengan selalu berbuat dengan ikhlas tidak mudah menghujat dan menghakimi orang lain. Artinya, apa yang terjadi akhir-akhirnya khususnya maraknya berita hoax dapat kita jadikan batu loncatan bagi orang tua khususnya Ibu saat di rumah dan guru saat di sekolah untuk terus melakukan penguatan pendidikan karakter.

Saya pun sepakat dengan Presiden Jokowi bahwa medsos harus dimaknai sebagai media menjaga keutuhan bangsa dengan berprinsip kebersamaan di tengah keberagaman. Artinya perlu kearifan memaknai medsos jangan sebagai media menebar kebencian akan tetapi sebagai media syiar kebaikan kepada sesama. Medsos sebagai lucu-lucuan jangan untuk memfitnah.

Sudah saatnya perlu kearifan memaknai hoax, medsos, dan juga berbagai kekerasan yang melibatkan kaum perempuan. Pengarusutamaan kebaikan yang bersumber pada nilai-nilai luhur karakter bangsa dapat menjadi pilar utama dalam kehidupan keseharian masyarakat. Keberadaan berpendapat jangan berlindung dibalik kecanggihnan tehnologi akan tetapi pada orientasi pada sikap karakter nasionalisme yang mempersatu. Karakter bangsa yang kuat terbentuk karena karakter terbentuk dari keluarga. Anak anak kita harus terhindar dari rasa permusuhan karena hanya soal beda pendapat dan keyakinan.

Nah, semangat menjaga kedamaian menguatkan persatuan di tengah globalisasi tehnologi dan juga pandemi Covid-19 seperti saat ini harus belajar dari ibu-ibu (Bu Tejo dkk) dalam Tilik. Kaum perempuan sejatinya sosok yang memposisikan perannya yang positif bagi keluarga dan masyarakat sesuai dengan kodrat kemanusiaanya. Seorang perempuan (ibu) tetap menjadi sumber inspiratif bagi sebuah peradaban tanpa kehilangan kodrat keibuan. Peran para ibu khususnya dan para elemen bangsa lainnya harus bisa maksimal dan nyata kontribusinya dalam bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, sangatlah relevan sekali bila merenungkan seperti yang diungkap Bu Tejo: Dadi wong kuwi seng solutif ngono yoo. Bukankah begitu para ibu Indonesia?

———- *** ———–

Tags: