Catatan Hukum Rencana Likuidasi KPP Jatim

fajar santosaOleh :
Fajar Santosa, SH, MH
Advokat dan Peneliti pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malang.

Mencuat di pemberitaan media, DPRD Jatim mengeluarkan rekomendasi  pembubaran Komisi Pelayanan Publik (KPP), sehingga konsekuensinya proses pengisian keanggotaan Komisi KPP pasca berakhirnya  periode 2012-2016 ditiadakan. Muncul isu hukum, apakah rekomendasi DPRD terhadap keberadaan KPP tersebut sah atau tidak menurut hukum? Catatan hukum singkat berikut ini akan mengurai hal tersebut
Sebagaimana diketahui, KPP adalah lembaga yang dibentuk Perda yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal atas penyelenggaraan pelayanan publik dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, baik yang dilakukan pemerintah daerah, korporasi dan pihak-pihak yang mendapat dukungan dana sebagian/seluruhnya dari APBD.  Dalam perspektif ilmu hukum maka sepanjang suatu peraturan perundang-undangan masih berlaku/belum dicabut maka konsekuensinya peraturan yang dimaksud masih merupakan hukum positif yang siapapun tidak dapat mengesampingkannya.
Dengan kata lain, pihak-pihak berwenang dalam pemerintahan yang tidak menjalankan suatu peraturan perundang-undangan yang masih hidup berlaku dapat dituntut dengan  Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (onrechtmatige Overheidsdaad). Sesuai ketentuan pasal 1365 KUH Perdata maka suatu perbuatan melawan hukum yang dapat digugat melalui pengadilan haruslah mengandung unsur-unsur antara lain: adanya suatu perbuatan; perbuatan tersebut melawan hukum; adanya kesalahan; adanya kerugian unsur kerugian; adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Publik tentu tidak lupa dengan putusan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat yang memutuskan Pemerintah dan DPR telah melakukan perbuatan melawan hukum karena belum juga mensahkan RUU BPJS dan membentuk BPJSN yang merupakan amanat dari UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial. Majelis menghukum Presiden dan DPR segera mengesahkan UU badan Pelaksana Jaminan Sosial nasional (BPJSN).
Dengan menggunakan analogi yang sama , jika DPRD Jatim dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang tidak melakukan proses pengisian keanggotaan KPP pasca masa jabatan KPP periode 2012-2016 berakhir, dapat dikategorikan mereka telah melakukan tindakan mengabaikan hukum. Hal ini dikarenakan Perda No. 08 Tahun 2011 Tentang pelayanan Publik  yang melandasi pembentukan KPP adalah peraturan perundang-undangan yang belum dicabut dan masih sah sebagai hukum positif.
Jika unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud pada pasal 1365 KUH Perdata diterapkan dalam peristiwa konkrit tindakan DPRD Jawa Timur yang tidak melakukan proses penggantian keanggotaan KPP yang telah habis masa jabatannya, maka hal itu telah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum. Unsur pertama perbuatan, bahwa dalam perspektif  hukum termasuk dalam unsur perbuatan adalah tindakan yang bersifat pasif padahal subjek hukum dimaksud memiliki kewenangan untuk berbuat berdasarkan peraturan perundang-undangan. Unsur perbuatan tersebut melawan hukum, bahwa tindakan DPRD Jawa Timur yang tidak menjalankan proses seleksi terhadap keanggotaan KPP yang telah habis masa jabatannya adalah perbuatan yang bertentangan dengan Perda No 08 Tahun 2011. Unsur kesalahan, bahwa perbuatan DPRD Jatim tersebut jelas salah karena bertentangan dengan kewajiban hukum dari DPRD yang semestinya menjalankan Perda dengan penuh konsistensi. Unsur kerugian, bahwa sebagai akibat perbuatan melawan hukum DPRD Jatim maka masyarakatlah yang jelas mengalami kerugian karena ketiadaan KPP menyebabkan masyarakat kehilangan kesempatan untuk melakukan pengaduan penyelesaian sengketa pelayanan publik, sehingga masyarakat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kepuasan dalam pelayanan publik. Unsur adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian, bahwa tindakan DPRD Jatim yang meniadakan KPP secara langsung akan berimplikasi masyarakat mendapat kerugian dalam hal pelayanan publik.
Pengabaikan terhadap Perda 08 Tahun 2011 yang masih berlaku adalah tindakan pengabaian hukum. Jika hal itu tetap dilakukan maka tindakan itu tentu bukanlah merupakan pendidikan hukum yang baik bagi masyarakat.  Sebab terdapat kontradiksi, di satu sisi masyarakat selalu di tuntut taat hukum sementara para pemangku kepentingan dan pembuat hukum justru secara terang-terangan melakukan pengabaian terhadap hukum.
Tak hanya itu, apa yang terjadi juga berpotensi memunculkan persoalan hukum berupa gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh pemerintahan. Gugatan dapat diajukan oleh setiap warga negara/kelompok warga negara yang memiliki kepentingan langsung atas pelayanan publik dan ini mencakup seluruh warga negara. Jika hal ni terjadi, preseden hukumnya sudah ada sebagaimana diputuskan PN Jakarta Pusat terkait UU Sistem Jaminan Sosial, karena sepanjang pengetahuan penulis   revisi Perda No. 08 tahun 2011 belum dilakukan dan tidak termasuk dalam Prolegda Jatim 2016.
Dalam perspektif  ilmu perundang-undangan, agar pembangunan substansi hukum di daerah dapat terlaksana sesuai dengan kebutuhan dan sesuai dengan sistem hukum nasional, maka harus mengikuti prinsip-prinsip  tertib regulasi, yang terdiri dari: tertib materi muatan, tertib asas hukum, tertib prosedur penyusunan, dan tertib implementasi hukum.
Menurut Prof. Zudan Arif, tertib materi muatan Perda bermakna bahwa materi muatan harus sesuai dengan batas kewenangan, tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Selain itu materi muatan Perda harus dapat mencapai tujuan otonomi daerah. Dalam konteks ini menurut penulis kehadiran Perda 08 tahun 2011 tidak bertentangan dengan materi muatan yang harus ada dalam suatu Perda. Perda itu bahkan dicatat sebagai perda inovatif yang sesuai dan selaras dengan sistem hukum nasional.
Merujuk pada tertib implementasi hukum, semestinya DPRD Jawa Timur dan Pemerintah Provinsi memahami prinsip-prinsip tersebut sehingga diharapkan tidak gegabah dalam mengambil tindakan pemerintahan terutama terkait politik legislasi terkait dengan keberadaan KPP Jatim yang merupakan amanat Perda yang masih berlaku.
Hal lain yang menarik dikaji adalah argumen yang  mengatakan bahwa keberadaan KPP tidak bisa dipertahankan lagi karena sudah ada Ombudsman RI Jatim. Sebelum mengeluarkan pandangan seperti ini seyogyanya perlu dicermati  pertimbangan hukum putusan perkara peninjauan Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman (Putusan Nomor 62/PUU-VIII/2010), yang menyataan bahwa negara mengakui adanya badan/lembaga pengawas pelayanan publik baik yang bersifat partikelir (pihak swasta) maupun badan/lembaga pengawas pelayanan publik yang dibentuk oleh berbagai-bagai pemerintahan daerah di Indonesia. Mahkamah berpendapat bahwa pembentukan badan/lembaga yang menjalankan fungsi ‘ombudsman” oleh beberapa pemerintah daerah adalah langkah positif yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel, dengan memberi ruang bagi masyarakat untuk melaporkan segala keluhan pelayanan publik. Dengan demikian keberadaan KPP tidak perlu kemudian diperhadapkan dengan Perwakilan Ombudsman RI di Jatim.
Secara kelembagaan struktur hierarkinya jelas berbeda, perwakilan Ombudsman RI Jatim menginduk kepada lembaga Ombudsman di Jakarta, sedang KPP adalah bagian apa yang disebut dalam pertimbangan putusan MK diatas. Sehingga sangatlah tidak berdasar pendapat yang melakukan simplifikasi, bahwa oleh karena sudah ada Perwakilan Ombudsman di Jawa Timur maka lembaga pengawas pelayanan publik semacam KPP harus dilikuidasi. Pendapat itu jelas bertentangan dengan semangat yang diyakini oleh Mahkamah Konstitusi. Wallau ‘alam.

                                                                                                          ——— *** ———

Tags: