Cegah In-toleran Sekolah

Kegiatan belajar tatap muka belum dimulai, tetapi perilaku in-toleran kalangan pendidik mulai mengancam kedamaian di sekolah. Kementerian Pendidikan merespons cepat mencegah in-toleran di sekolah dengan menerbitkan Surat Edaran larangan in-toleran. Sekaligus membuka hotline pengaduan khusus. Karena sesungguhnya tindakan in-toleran bertentangan dengan konstitusi negara. Pemerintah perlu menjaga pluralisme kebangsaan secara sistemik, terutama pada area sekolah dan kampus.

In-toleran pada area sekolah dan kampus akan selalu terdeteksi. Bukan hanya kasus di SMK Negeri Padang (Sumatera Barat) yang me-wajib-kan mengenakan seragam sekolah plus jilbab. Melainkan juga “penyusupan” melalui tenaga pendidik (guru). Jika berkembang di area sekolah akan menghasilkan anak didik yang anti pluralisme. In-toleran tidak sesuai dengan kesepakatan bangsa Indonesia tertuang dalam dalam pembukaan UUD 1945.

Alenia keempat konstitusi dasar (UUD) menyatakan, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Amanat konstitusi (yang tidak boleh diubah oleh MPR, dan DPR) ini nyata-nyata melindungi pluralisme sebagai realita khas kebangsaan Indonesia.

Sehingga tiada tempat aman untuk penyebaran in-toleran, serta radikalisme kanan maupun kiri. Akan selalu memperoleh perlawanan sengit masyarakat luas. Bukan sekadar dikucilkan secara sosial. Melainkan juga dilaporkan kepada aparat penegak hukum (dan keamanan). Masyarakat yang makin kritis telah memahami perubahan sikap tetangga. Bahkan masyarakat telah memahami “agenda” di balik dakwah in-toleran.

Tetapi paham in-toleran dan radikalisme juga akan selalu mencari jalan masuk, terutama pada kalangan yang serba “kekurangan.” Yakni, kurang pengetahuan, kurang pengalaman, dan kurang pergaulan lingkungan. Pelajar sampai profesor yang kurang pergaulan bisa terpapar in-toleran, menjadi radikalisme. Tak terkecuali pada lingkup sekolah, dan kampus negeri. Sudah banyak PTN (Perguruan Tinggi Negeri) telah men-skorsing guru besar (profesor) karena terpapar radikalisme kanan.

Di Jawa Tengah, tujuh guru sekolah negeri (SMP, SLTA, dan Sekolah Luar Biasa) sudah masuk program “pembinaan” pemerintah. Konsekuensi logis, karena setiap aparatur sipil negara (ASN) dituntut setia pada dasar negara Pancasila, dan konstitusi (UUD). Bahkan wajib pula taat pada rezim (pemerintahan) yang sah. Kesetiaan ASN terhadap Pancasila bersifat mutlak. Kesetiaan mutlak tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.

Dalam PP Disiplin PNS, pasal 3 ayat (3) dinyatakan, “Setiap PNS wajib setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah.” Yang tidak setia, wajib diberi sanksi pelanggaran disiplin berat. Hukumannya diatur pada pasal 7 ayat (4) terdiri dari lima jenis sanksi. Yakni, penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun; sampai pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS.

Kegiatan ke-rohani-an di sekolah, dan kampus, patut diwaspadai menjadi “pintu masuk” pengkaderan in-toleran radikalisme. Sudah terbukti di Riau. Juga di Jakarta, Bandung, Yogya, Solo, Malang (Jawa Timur), dan Surabaya. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menduga kampus lain juga terpapar. Walau rekrutmen radikalisme bukan di dalam kampus. Tiada yang lolos dari catatan BNPT, serta terekam dalam catatan Kepolisian hingga tingkat sektor (Polsek).

Sesungguhnya tidak sulit mendeteksi ajaran ke-agama-an in-toleran. Tanda-tandanya, eksklusif (menutup diri) sering bermusuhan dengan masyarakat sekitar. Bahkan seluruh ajaran yang tidak sesuai dengan dakwah radikal, dianggap bid’ah, sampai dituding kafir, dan thoghut. Masih diperlukan aksi deradikalisasi bersama masyarakat dan aparat, menegakkan hidup bersama saling toleran.

——— 000 ———

Rate this article!
Cegah In-toleran Sekolah,5 / 5 ( 1votes )
Tags: