Celah UU Pilkada, Calon Tunggal Tanpa Solusi

S. Mahargono (1)Oleh :
S. Mahargono
Staf pada Setwan DPRD Provinsi Jawa Timur

Tahapan pilkada (pemilihan umum kepala daerah) serentak sudah dimulai. KPU kabupaten dan kota sudah membuka pendaftaran. Namun pada beberapa daerah, kantor KPUD masih sepi, belum ada yang mendaftar. Situasi (sepi) itu sudah biasa, karena beberapa parpol (partai politik) maupun gabungan parpol memilih hari terakhir pendaftara. Namun kali ini terasa situasi berbeda. Pada beberapa daerah, kini dihinggapi sindrom  “kalah sebelum bertanding.”
Pada daerah yang dihinggapi sindrom itu, kantor DPC parpol juga nampak sepi. Karena jarang peminat, maka terjadi banting harga “mahar” rekom. Pada situasi normal, rekom parpol dikalkulasi berdasar kursi di DPRD. Harganya sekitar Rp 1 milyar per-kursi. Sehingga rekom parpol semakin mahal manakala memiliki banyak kursi di DPRD.
Walau terdapat pepatah “no lunch free,” (tidak ada makan siang gratis)konon mahar rekom bukan untuk menyuap pimpinan parpol. Mahar akan digunakan untuk menggerakkan mesin parpol dalam pertarungan pilkada. Misalnya untuk pembuatan baliho, spanduk, dan alat peraga kampanye lainnya. Juga untuk meng-upah saksi pasangan calon. Sehingga secara stimulatif, mahar yang murah akan mengurangi semangat tanding. Dus, kemungkinan menang semakin tipis.
Rekom parpol merupakan amanat konstitusi, tercantum dalam UU Nomor 8 tahun 2015 (perubahan UU Nomor 1 tahun 2015 yang mengesahkan Perppu) tentang Pilkada Gubernur, Bupati dan Walikota. Pada pasal 39 menyatakan, bahwa pasangan calon dalam pilkada (Gubernur, Bupati dan Walikota) diusulkan oleh parpol (partai politik), serta pasangan perorangan dengan persyaratan dukungan rakyat memadai.
Umumnya bakal calon pasangan memilih mendaftar melalui parpol, supaya tidak ribet, karena harus mengumpulkan fotokopi KTP pendukung dari 20 ribu-an orang. Walau untuk mendaftar melalui parpol, harus mengeluarkan biaya besar, sebagai “mahar.”Tetapi UU juga telah meng-antisipasi perubahan mahar sebagai suap kepada pimpinan parpol. Sebab, politikuang mudah dijejaki, walau dikemas melalui berbagai cara.
Berbagai modus suap, bisa disusupkan melalui agenda konvensi maupun bentuk berdalih memenuhi amanat ADART (Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga, semacam statuta) parpol. UU 8 tahun 2015, pasal 47 ayat (1), memberikan rambu-rambu: “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan WakilGubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Walikota.”
GertakanElektabilitas
Dengan “palang pintu” pasal 47 ayat (1) itu, pimpinan parpol mestilah ekstra-waspada.Boleh jadi, bakal pasangan calon yang kalah dalam konvensi (karena setorannya bukan yang tertinggi) akan “bernyanyi.”Lebih lagi manakala pasangan calon dengan setoran tertinggi benar-benar memenangkan pilkada. Sehingga harga mahar, mestilah proporsional (disesuaikan dengan estimasi biaya kampanye). Serta diberlakukan sama untuk seluruh bakal pasangan calon.
Ukuran ke-unggul-an dalam penjaringan parpol, seyogianya  bukanlah nominal setoran. Melainkan track-record (dedikasi) serta paparan visi dan misi bakal pasangan calon. Individu dedikatif biasanya juga memiliki potensi tingkat elektabilitas cukup tinggi. Sehingga probabilitas untuk memenangi pilkada juga bisa diharapkan. Beberapa parpol sudah memulai pencerahan dengan meng-utamakan track-record pasangan calon, walau dukungan politik tidak mayoritas benar.
Asal memenuhi syarat untuk mendaftar, sudah cukup untuk maju dalam pilkada. Selanjutnya diperlukan kerja keras seluruh tim sukses. Ingat Pilkada Gubernur jakarta 2012? Pasangan pemenang hanya berbekal dukungan pas-pasan, sebatas cukup untuk “tiket” pencalonan. Tidak perlu gentar dengan gertakan elektabilitas incumbent. Popularitas incumbent, seharusnya dipahami sebagai keniscayaan pejabat negara.
Tapi hati masyarakat siapa tahu? Lebih lagi, metode pencitraan saat ini bisa menggunakan berbagai cara. Termasuk membeli berbagai penghargaan dari berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di dalam maupun luar negeri. Tak terkecuali LSM abal-abal yang bermarkas di Eropa. Seringkali LSM menjajakan berbagai penghargaan ke Indonesia, menyasar bupati, walikota sampai istana.
Popularitas petahana, memang bagai “demit” yang seolah-olah nyata. Bergentayangan menghantui pasangan calon penantang. Ini menyebabkan pendaftaran bakal pasangan calon pada parpol menyusut. Terutama parpol yang memerlukan gabungan semakin tidak diminati, atau harus “banting harga” rekom. Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 8 tahun 2015 (perubahan UU Nomor 1 tahun 2015) tentang Pilkada Gubernur, Bupati dan Walikota.
UU Nomor 8 tahun 2015, pasal 39 menyatakan, bahwa pasangan calon dalam pilkada (Gubernur, Bupati dan Walikota) diusulkan oleh parpol (partai politik), serta pasangan perorangan dengan persyaratan dukungan rakyat memadai. Umumnya bakal calon pasangan memilih mendaftar melalui parpol, supaya tidak ribet. Walau untuk mendaftar melalui parpol, harus mengeluarkan biaya besar, sebagai “mahar.”
Pada pasal 40 ayat (1)  “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20%  (dua puluh  persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.”
ManajemenPilkada
Ciutnya nyali bakal pasangan, telah diantisipasi UU. Pada pasal 50 ayat(8), dinyatakan “Dalam hal … pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota pemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh) hari.”Pada ayat (9) diberi tenggang lagi selama 3 hari. Jika masih tetap hanya terdapat satu pasangan calon, maka pilkada akan ditunda. Dalam hal ini Peraturan KPU akan menyelenggaran tahapan ulang pilkada pada tahun 2017.
Problemnya, jika pada (Pebruari) 2017 situasi tetap hanya calon tunggal, apakah pilkada akan terus diundur tanpa batas waktu? Inilah celah undang-undang. Sehingga banyak pemikiran, bahwa calon tunggal sesungguhnya telah memenangkan pilkada. Karena itu bisa langsung dinyatakan sebagai bakal Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih. Tetapi paradigm politik “polosan” berbeda dengan politik prosedural.
Maka tidak bias tidak, elit parpol (dan bakal pasangan calon) harus bekerja keras agar tidak terjadi calon tunggal. Diperlukan lobi-lobi politik, termasuk perencanaan “pasangan calon boneka.” Boleh jadi, nego pemunculan pasangan boneka dilakukan barter situasi daerah lain. Biasanya juga memerlukan ongkos cukup mahal, berpotensi KKN. Bisa berujung pada dakwaan tipikor (Tindak Pidana Korupsi).
Selain problem calon tunggal pilkada, setiap pasangan calon sering meng-anggap sepele fungsi saksi. Secara manajerial ke-pilkada-an, saksi seharusnya di-posisi-kan strategis. Sekaligus sebagai garda terdepan perjuangan meraih suara. Begitu pula saksi di PPS (Kelurahan) dan PPK (Kecamatan), dan terutama saksi KPUD. Pada berbagai daerah, kasus saksi “menyeberang” menjadi faktor utama kekalahan.
Alasan utama penyeberangan saksi kepada pasangan lain, adalah tingkat kesejahteraan saksi yang diabaikan. Padahal sebenarnya, “kesejahteraan”saksi bukan sekedar upah yang besar. Melainkan juga hubungan emosional yang terbangun, antara saksi dengan pasangan calon. Maka, maju dalam pilkada memang tidak mudah. Diperlukan persiapan mental lahir-batin. Bahkan seluruh anggota keluarga pasangan calon harus dipersiapkan. Agar tidak terkena sindrom kekalahan yang bisa menyebabkan penyakit stroke parah.

                                                                                                —————— *** ——————-

Tags: