Cerdas Memaknai Pilpres 2014

SusantoOleh:
Susanto
Penulis adalah Pegiat pada Guru Ahli (GA) Pusat Belajar Guru Bojonegoro, Jl. Rajawali 3 Bojonegoro. Email: langittanpabatas@gmail.com. Alumnus UNS Surakarta, Kini Mengajar di SMAN 3 Bojonegoro.
Perkembangan politik menjelang Pilpres 9 Juli nanti menarik dicermati. Dua kobu saling adu program baik dalam kampanye maupun dalam debat Capres-Cawapres yang disiarkan Televisi. Poros Jokowi-JK yang didukung oleh PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura mematang strategi pemenangan. Begitu juga poros Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang didukung Gerindra, PAN, PPP, dan PKS dan Golkar tak mau ketinggalan dengan cara yang sama. Dengan kata lain, kedua pasangan saling adu “kuat” dalam hal mematangkan strategi pemenangan dalam merebut “hati” rakyat.
Terlepas sepak terjang para elit parpol yang tergabung dalam parpol koalisi yang sibuk melakukan strategi pemenangan dalam kampanye ada beberapa hal yang perlu direnungkan. Apa yang harus dipersiapkan rakyat Indonesia menyongsong Pilpres 9 Juli mendatang? Untuk siapakah calon pemimpin dipilih? Parpol atau rakyat? Haruskah memiliki visi dan misi sebelum menjadi Capres dan Cawapres? Bisakah Pilpres bebas money politics? Harus ada kontrak politik untuk tidak korupsi dengan masyarakat? Perlukah studi kelayakan intergitas moral? Benarkah Pilpres selalu identik dengan hegemoni politik uang?  Dan bagaimana figur ideal pemimpin Indonesia?
Memilih Pribadi Tegas dan Jujur
Siapapun sepakat dengan saya, bahwa siapapun boleh menjadi pemimpin. Tapi bukan sembarang orang. Akan tetapi tentunya hanya  orang-orang yang memiliki komitmen untuk memajukan dalam segala hal baik itu yang menyangkut infrastruktur maupun pengembangan SDM masyarakat serta mempersempit kesenjangan sosial, ekonomi, politik, dan juga budaya. Bukan pemimpin yang hanya tebar pencitraan yang semu. Artinya, hanya tebar pesona atau janji-janji saja akan tetapi tidak terbukti atau omong kosong. Bahkan seorang pemimpin terkadang “jaim” (baca: Jaga Imej) semata-mata.
Jujur harus kita akui hakikat  Pilpres adalah sebuah mekanisme yang harus dilakukan oleh segenap warga masyarakat dan pemerintah utnuk menentukan pemimpin dalam masyarakat. Masyarakat dalam keberadaannya tentunya butuh sebuah pola dan figur kepemimpinan yang bisa mengatur dengan baik dan bijaksana serta memiliki sikap keteladanan baik perilaku maupun moralitas. Masyarakat yang damai tentunya harus dipimpin oleh orang-orang yang memiliki sikap dan tanggung jawab kepada diri dan masyarakat yang akan dipimpinnya. Salah satu indikasinya mereka harus jujur, tidak korupsi, dan berkarakter kuat untuk perubahan yang lebih baik.
Dalam konteks ini saya sependapat apa yang dikatakan oleh Abdul Qadir Djaelani dalam bukunya yang berjudul: Sekitar Pemikiran Politik Islam (1994:122) yang mengatakan bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang jujur dan amanah didalam menjalankan tugas-tugasnya. Kriteria yang sangat mendesak untuk dikedepankan bagi calon pemimpin (Capres dan Cawapres)  harus memiliki visi dan misi yang jelas.
Mengapa itu perlu? Untuk itu KPU dan elite parpol yang terhormat harus memberikan penyuluhan dan memberikan contoh kepada masyarakat agar dapat memilih orang yang jelas visi dan misinya. Ibaratnya, jangan sampai memilih kucing dalam karung. Kalau masalah ini tidak diperhatikan secara serius, maka tunggu saat kehancuran. Jangan hanya karena salah memilih orang, nasib rakyat jadi kian sengsara dan tergadaikan. Ingat, sampai detik ini kesenjangan begitu tampak dalam segala sektor. Pengangguran semakin bertambah, diperparah lagi dengan krisis multidimensi yang tak kunjung usai.
Belajar Mengakui Kalah
Untuk itu paling tidak ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh para calon pemimpin Indonesia (baca: Prabowo-Hatta dan Jokowi-Hatta) saat Pilpres nanti dapat berjalan sesuai dengan koridor yang ada.
Pertama, belajar mengakui kekalahan dan kemenangan. Sebuah Pilpres akan menjadi sebuah demokratisasi dan pembelajaran politik bagi seluruh komponen rakyat Indonesia manakala berjalan sesuai dengan aturan yang sudah diatur. Sebuah pertandaingan akan berjalan baik apabila berjalan secara sportif. Artinya Pilpres 9 Juli nanti akan berjalan secara demokratis manaka masing-masing pihak bisa menerima kemenangan atau kekalahan sekalipun. Dengan cara dan prinsip itu  tentunya Pilpres damai akan terwujud. Tentunya harus kita ikuti dengan cara berfikir dan berperilaku dewasa pula.
Dalam Pilpres tentu ada yang kalah dan menang. Sikap dan rasa untuk mengakui kekalahan dan mempertanggungjawabkan kepada masyarakat. Untuk itu, elite politik dan orang-orang yang berkepentingan dalam Pilpres harus berpikir jernih dan belajar dari orang lain. Jangan saling menyalahkan. Dalam konteks ini saya sependapat dengan Andrew Ho: dalam “Higway to Success” (14 Kegagalan) bahwa orang yang gagal adalah orang yang tidak mau bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya dan selalu menyalahkan, mencari-cari alasan dan pembenaran atas kegagalan yang terjadi.
Kedua, hindari politik uang. Mengapa hal ini juga menjadi bahan analisis saya? Karena untuk sampai saat ini saya memiliki asumsi bahwa Pilpres pasti ada politik uang. Sebab bagaimanapun munculnya konflik horizontal terkait dengan Pileg DPR 2014 yang terjadi di berbagai daerah yang berkepanjangan saat ini  juga disebabkan oleh politik uang baik yang dilakukan oleh para calon dan juga tim sukses masing-masing calon. Dan tak kalah pentingnya para calon dan mayarakat untuk selalu menjaga perasaan dan hati nurani masing-masing.
Ketiga, perlunya kontrak politik untuk tidak korupsi. Mengapa langkah itu juga harus ditempuh oleh para Capres dan Cawapres? Karena dengan cara ini dapat dijadikan dasar mengetahui sebuah sikap dan tanggungjawab bilamana Capres dan Cawapres  tersebut kelak dalam Pilpes benar-benar terpilih jadi Presiden dan Wakil Presiden mendatang. Dan suatu ketika di tengah perjalanan kepemimpinanya ternyata mereka melakukan korupsi, masyarakat bisa menagihnya untuk dimintai pertanggungjawaban di depan masyarakat.  Sebab, bagaimanapun ada sebuah kata-kata bijak yang berbunyi. Kekuasaan itu cenderung untuk melakukan penyimpangan atau korupsi. Jadi dengan bermodal sikap untuk tidak korupsi dengan cara melakukan kontrak politik tentunya masyarakat akan tenang dan para calon pemimpin dan kebetulan terpilih dalam Pilpres akan bisa tenang dalam menjalankan roda pemerintahan secara jujur dan bersih. Dan yang terpenting lagi figur pemimpin yang tepat adalag pemimpin yang selalu memikirkan rakyat baik yang terkait SDM maupun kesejahteraannya. Sudah tidak saatnya era sekarang sorang pemimpin yang hanya mikirkan dirinya sendiri atau bahkan kelompoknya sendiri. Pemimpin yang “Pro rakyat Miskin” adalah harga mati dalam rangka memgembangkan pola kepemimpinan yang selalu terencana dengan baik.
Keempat, perlunya kompetensi diri yang matang. Artinya seorang pemimpin yang kuat dalam hal komptensi, dan performansinya tentunya akan mendapatkan simpati dari banyak orang. Dalam konteks ini saya sependapat dengan apa yang dikatakan John C. Maxwell kalau seorang pemimpin memperlihatkan kompetensi, kepedulian tulus terhadap yang lain, dan karakter yang layak dikagumi, orang akan mengikutinya.
Saya yakin, bila yang memimpin Indonesia memiliki komitmen seperti itu Indonesia akan secara damai akan terwujud. Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang berkarakter dan memiliki komitmen yang jelas terkait dengan perubahan baik segi politik, sosial, dan juga ekonomi kerakyatan. Pemimpin yang memegang kaidah dan nilai luhur yang tinggi sehingga kepemimpinannya pro rakyat.
Lantas bagaimana dengan Anda Sdr. Capres Prabowo-Hatta dan  Capres Jokowi-JK yang akan bertarung dalam Pilpres 9 Juli nanti? Siapkah Anda menjadi pioner dan memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat dengan mengajarkan berpolitik yang santun, berkarakter untuk selalu ngayomi  dengan semangat Keindonesiaan? Tentunya  selamat memilih pemimpin pada tanggal 9 Juli nanti.

————– *** —————

Rate this article!
Tags: