Cuti ASN dan Bias Keadilan Gender

Oleh :
Dian Marta Wijayanti
PNS pada Dinas Pendidikan Kota Semarang, Mantan Asesor Early Grade Reading Assessment (EGRA) USAID Prioritas Jateng

Sebagai abdi negara perempuan, saya kaget ketika membaca Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti PNS. Peraturan ini menuai polemik karena Aparatur Sipil Negara (ASN) laki-laki boleh cuti sebulan ketika istrinya melahirkan. Regulasi ini dinilai ngawur, “lebay” dan ada bias kesetaraan gender.
ASN yang terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) memang spesial. Namun, spesialnya harus logis dan regulasi yang dibuat pemerintah harus tetap mengacu pada prinsip pelayanan masyarakat. Artinya, PNS perempuan sangat spesial dibandingkan dengan laki-laki karena memiliki kodrat mengandung, melahirkan, menyusui yang tidak bisa digantikan orang lain.
Munculnya kritik pedas terhadap regulasi itu menjadi bukti ada paradoks antara hak dan kewajiban ASN laki-laki dan perempuan. Sudah menjadi kodrat perempuan melahirkan, maka mereka spesial ketika menjadi ASN. Namun apa benar ASN laki-laki jika cuti ketika istrinya melahirkan benar-benar mengawal sang buah hati?
Kita bisa melihat budaya masyarakat kita ketika ibu melahirkan. Kebanyakan, yang repot adalah ibu tersebut, orang tua, mertua, bidan, dokter anak bahkan tetangga. Penyokong secara finansial dalam hal ini adalah ayah. Sudah seharusnya ragulasi ini melihat praktik “melayani” atau “mengawal” istri melahirkan sampai ke tataran teknisnya, tidak asal-asalan mengapa muncul waktu sebulan.
Bias Keadilan Gender
Sesuai Peraturan BKN 24/2017 itu, cuti dibagi menjadi tujuh yaitu cuti tahunan, cuti besar, cuti sakit, cuti melahirkan, cuti karena alasan penting, cuti bersama, dan cuti di luar tanggungan negara. Cuti yang erat kaitannya dengan masalah kodrati perempuan adalah cuti melahirkan. Namun, mengapa ASN laki-laki boleh cuti saat istrinya melahirkan? Ini bisa menjadi angin segar sekaligus “angin kotor” karena berpotensi membuat ASN pria malas.
Seharusnya ada kajian mendalam mengapa sebulan. Apalagi, PNS digaji uang negara, uang rakyat, sementara saat cuti, mereka sesuai Peraturan BKN 24/2017 masih mendapatkan gaji pokok, keluarga, pangan dan jabatan. Jelas ini menjadikan pegawai BUMN atau swasta iri dan tidak seimbang.
Apakah istri PNS tidak kuat dan istri pegawai non-PNS lebih hebat? Itu semua sudah menjadi kodrat perempuan. Saya sendiri, mengalami pengalaman pahit saat dulu awal-awal menjadi CPNS menjelang Diklat Prajabatan sebagai syarat menjadi PNS. Sebab, saat mengajukan cuti melahirkan, tiba-tiba dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) mengeluarkan surat untuk Diklat Prajabatan.
Seketika, saya pening karena hari perkiraan lahir anak saya bertabrakan dengan jadwal Diklat Prajabatan. Tapi, karena doktrin abdi negara sudah melekat, saya nekat ikut Diklat Prajabatan setelah konsultasi dokter. Sebab, jika tidak ikut Diklat, saya tidak akan mendapatkan gaji seratus persen. Selama belum mengantongi sertifikat Diklat Prajabatan, gaji saya juga ditangguhkan.
Meskipun cuti melahirkan saya hilang satu setengah bulan karena terpotong waktu Diklat, saya tetap bisa melakukan semuanya. Diklat Prajabatan, melahirkan, setelah itu baru bisa fokus merawat anak karena pada saat pertengahanan perjalanan Diklat, saya melahirkan. Sementara tim Diklat hanya memberi izin dua hari untuk absen. Ini bukan “lebay” tapi kenyataannya demikian yang saya alami.
Artinya, jika regulasi di atas dipaksakan maka membuka pintu kemalasan, ketidakseriusan, bahkan agenda Revolusi Mental serta reformasi birokrasi terhambat. Seharusnya, angka itu tidak sampai tiga puluh hari, bisa setengahnya bahkan hanya seminggu saja. Namun fasilitas cuti tersebut diberikan tanpa memotong jatah cuti tahunan dan penghasilan rutin ASN.
Kaji Ulang
Di tengah genjarnya pemerintah menggelorakan Revolusi Mental sebagai bagian dari Nawa Cita, regulasi itu tampak paradoks. Apalagi, Revolusi Mental pada ASN mengacu pada tiga rumpun nilai yang bersumber dari Pancasila yang menjadi dasar penyusunan materi pelatihan bagi para pejabat negara, yakni integritas, etos kerja, dan gotong royong.
Tahun 2016 BKN menargetkan 70 persen PNS bisa mengalami revolusi mental. 70 persen itu bisa tiga juta lebih. Indikator revolusi mental yang ingin dicapai adalah integritas, etos kerja, dan gotong royong (Kompas.com, 27/5/2016). Sedangkan di tahun 2018 ini, pemerintah juga menyiapkan Program Diklat Revolusi Mental untuk implementasi Revolusi Industri 4.0 di Indonesia dengan menargetkan perubahan pola pikir, teamwork dalam bekerja. Pelatihan ini ditargetkan 1000 ASN dulu dan akan diterapkan di 24 kementerian (Antaranews.com, 4/3/2018).
Melihat program Revolusi Mental sejak 2014 sampai 2018 ini, aturan cuti ASN menjadi paradoks. Sebab, jika kita analisis, dari ruh tiga rumpun nilai tersebut, ASN yang posisinya abdi negara harus lebih profesional, produktif, jujur, antikorupsi, dan kreatif. Pola pelatihan Revolusi Mental pada ASN inilah yang berbeda dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Jika P4 lebih pada penguatan ideologi, doktrin, dan nilai-nilai, sementara Revolusi Mental lebih teknis, aplikatif dan berorientasi pada gerakan moral dan pelayanan publik.
Jika dibandingkan cuti karyawan swasta tentu berbeda jauh. Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 pada Pasal 82 tentang Cuti Haid dan Hamil, disebutkan untuk karyawan perempuan boleh cuti hari pertama dan kedua dengan keterangan. Itupun masih dengan syarat-syarat administratif yang njelimet. Faktanya, cuti karyawan swasta masih berdasarkan hasil diskusi, kesepakatan antara karyawan, mandor/pimpinan perusahaan. Hal itu tentu jauh berbeda dengan ASN karena mereka digaji negara, maka bisa cuti sesuai regulasi yang ada.
Cuti tidak hanya masalah regulasi, gaji, namun yang lebih penting adalah tanggungjawab terhadap pekerjaan. Jika ASN, maka jelas urusannya dengan pelayanan publik, baik itu fungsional maupun struktural. Namun jika karyawan swasta, saat cuti kebanyakan mereka tidak mendapatkan gaji. Di sinilah perbedaan mendasar yang harus dikaji ulang.
Sejak dulu saya kecil, ayah saya yang juga ASN juga selalu peduli pada ibu saat melahirkan. Artinya, jangan sampai urusan kodrati perempuan menjadi “tameng” untuk bermalas-malasan selama sebulan penuh dengan tetap digaji negara. Sebab, tiap rupiah yang dimakan tanpa kerja adalah sama halnya memakan gaji gelap!

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: