Dari “Kid Lawyer” dan Ikhtiar Mengoreksi Peradilan

Oleh :
Moch Choirul Rizal
Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Syariah IAIN Kediri.

Pete Duffy harus menerima kenyataan bahwa persidangan pidana terhadapnya akan diulang dari awal. Hal itu terjadi setelah sang hakim, Henry Gantry, menyatakan persidangan tersebut mistrial.

Akibatnya, dakwaan terhadap Pete Duffy dibatalkan. Tapi, hanya sementara. Dakwaan dapat kembali diajukan. Persidangan, yang baru, dijadwal ulang. Tentu, dengan juri yang berbeda.

Pete Duffy duduk di kursi pesakitan karena didakwa melakukan pembunuhan terhadap istrinya, Myra Duffy. Hanya saja, sampai persidangan hampir usai, penuntut umum (negara) tidak berhasil menghadirkan saksi yang melihat peristiwa tragis itu.

Adalah keluarga Boone, khususnya Theodore Boone, yang berhasil meyakinkan Henry Gantry mengenai adanya saksi kunci dalam kasus yang menyita perhatian publik Strattenburg itu. Padahal, mereka bukan penuntut umum, penasihat hukum, saksi, korban, atau apapun dalam kasus itu.

Melalui teman sekolahnya, Julio, Teddy, panggilan Theodore Boone, berhasil berjumpa Roberto Escobar atau Bobby, begitu ia dipanggil. Ia imigran gelap yang melihat secara langsung gerak-gerik Pete Duffy sebelum dan sesudah istrinya terbunuh.

Keterangan Bobby saat berjumpa Henry Gantry di kantor “Boone & Boone”, Minggu malam, membuat sang hakim membuat keputusan di luar dugaan siapapun, Senin pagi. Artinya, belum ada yang dapat dinyatakan bersalah sampai dengan Bobby bersaksi di muka persidangan.

Ya, itu adalah kisah fiksi. Karangan John Grisham. Judulnya: Theodore Boone, Kid Lawyer. Terbit pertama pada 2010. Banyak hal ihwal soal hukum yang menarik untuk dibahas. Apalagi, latar cerita sistem peradilannya berada di Amerika Serikat yang mendaku common law system. Tentu, berbeda dengan Indonesia yang menganut civil law system.

Mistrial?
Tidak ada satupun artikel yang berjudul mistrial yang dapat ditemui di Garba Rujukan Digital (GARUDA) yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Namun, bukan berarti tidak ada jurnal yang menerbitkan artikel yang membahas soal mistrial dengan judul yang lain.

Namun, ketika menelusurinya via mesin penelusur terkemuka, konsepsi mistrial banyak dijelaskan oleh laman-laman di luar Indonesia. Semuanya berbahasa Inggris. Selain kemudian kita akan menemukan kamus online dan judul film yang dirilis pada 2 November 1996 yang ditulis serta disutradarai oleh Heywood Gould.

Dari berbagai laman itu, mistrial artinya pembatalan sidang. Ada beragam alasan mengapa hakim dapat menetapkannya. Mulai soal prosedur beracara yang tidak tepat menurut hukum hingga persoalan etika. Namun, lagi-lagi, penetapan tersebut belum menyentuh pada aspek pokok perkara (materiil).

Dalam novel John Grisham tersebut, hakim mempunyai kewenangan penuh untuk menyatakan suatu sidang mistrial. Kewenangan itu didasari oleh keyakinan telah terjadi sesuatu yang mungkin akan sangat memengaruhi vonis akhir. Di sisi yang lain, dengan adanya mistrial, ikhtiar untuk mengoreksi jalannya persidangan menjadi perlu dan menemukan legimitasinya. Meskipun, dapat juga disalahgunakan.

Mengoreksi Peradilan
Secara positivistik, peradilan pidana di Indonesia tidak mengenal istilah mistrial. Namun, soal ikhtiar mengoreksi peradilan (yang belum mengadili pokok perkaranya), aturannya dapat dijumpai, antara lain, dalam undang-undang, putusan hakim, hingga peraturan internal penegak hukum.

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, misalnya, dikenal adanya praperadilan. Yaitu, upaya untuk mengoreksi kewenangan penyidik, penuntut umum, hingga hakim dari sisi pemenuhan aspek administratif. Mulai dari soal penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, hingga penetapan tersangka.

Ihwal mengoreksi aparat penegak hukum pidana itu semakin dijamin oleh hukum melalui beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ambil contoh, misalnya, Putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, yang memperluas ruang lingkup kewenangan praperadilan.

Namun, ada saja tindak lanjut atas putusan MK yang justru menjadi benang kusut dalam penegakan hukum pidana melalui penerbitan kebijakan internal. Contohnya: Surat Edaran Mahkamah (MA) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. MK memperbolehkan peninjauan kembali dimohonkan beberapa kali, sedangkan MA hanya membatasi satu kali.

Lalu, soal menghentikan proses peradilan pidana (yang belum pada pokok perkara), selain praperadilan, ada juga putusan sela. Putusan yang demikian baru dapat diberikan ketika terdakwa mengajukan bantahan (eksepsi) atas surat dakwaan penuntut umum. Itupun ketika hakim mengabulkan eksepsi tersebut.

Yang belum ada, mungkin, mekanisme “penundaan putusan” dalam hal ada dugaan pelanggaran kode etik penegak hukum ketika persidangan berlangsung. Tentu, dugaan pelanggaran itu harus memengaruhi putusan akhir.

Begini. Hakim, dengan adanya permohonan atau atas diskresinya, akan menjeda untuk menyusun dan/atau membacakan putusan akhir. Dia akan menunggu hasil pemeriksaan etik terhadap terduga pelanggar. Ketika semua clear, baru kemudian putusan akhir disusun, lalu dibacakan. Begitu?

———— *** ————

Tags: