Debat Publik Pilkada 2020: Dekat Di Televisi Jauh di Hati

Oleh :
Untung Dwiharjo
Peneliti pada LAZNAS YDSF, Alumnus Fisip Unair

Debat publik Pilkada putaran pertama telah berlangsung di hampir seluruh wilayah pemilihan kepala daerah di Indonesia. Mereka merusaha menjelaskan program kerja masing-masing untuk meyakinkan para pemilih agar mencoblos mereka pada 9 Desember nanti. Mulai paparan dari keberhasilan ketika sedang memerintah bagi petahana yang maju lagi, juga calon baru yang mendompleng ketenaran petahana yang karena aturan tidak bisa maju lagi karena sudah memimpin 2 periode. Sebaliknya calon pendatang baru cenderung mengkritik strategi calon petahana.

Debat Publik memang salah satu tahap yang harus dilalui para pasangan calon yang maju pada Pilkada 2020 ini. Sebagai bagian dari kampanye untuk mengenalkan program-program ke para pemilih yang kelak akan mencoblos. Sehingga para pemilih diberi gambaran program tentang calon pemimpinya kelak. Diharapkan dengan adanya debat publik ini para pemilih tidak “membeli kucing dalam karung” karena sudah mengenal profil dan program calon pasangan kepala daerah yang akan mereka lakukan selama 5 tahun ke depan yang akan mereka pilih.

Dekat Di Televisi

Media televisi adalah media komunikasi yang sudah memasyarakat di semua kalangan dari jaman sebelum ada internet. Media ini dianggap bisa menjadi saluran bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk alat sosialiasasi calon peserta pilkada dalam fase debat calon kepala daerah pada pilkada 2020 ini. Apalagi saluran ini sudah ada saluran digitalnya sehingga semakin memudahkan untuk diakses masyarakat. Sehingga Debat yang berlangsung dalam 3 sesi ini KPU daerah mengandeng stasiun televisi daerah sebagai mitranya. Apalagi dalam masa pandemi Covid-19 Televisi dibandang efektif karena ada pembatasan soslal dan mengurangi adanya kerumunan massa pendukung calon sebagai mana kampanye terbuka. Sehingga saluran debat lewat televisi dianggap relatif aman, karena adanya pembatasan mass pendukung yang diperbolehkan datang, serta jangkauanya lebih luas.

Dalam debat di televisi itu pasangan calon memaparkan visi dan misi kelak apabila terpilih menjadi kepala daerah. Sehingga diharapkan publik tahu visi dan misi kepala daerahnya kelak. Diharapkan rakyat bisa mengontrol atau menagih janji sang sang kepala daerah terpilih. Selain pemaparan visi dan misi juga ada pertanyaan dari panelis yang dipilih oleh KPU daerah sebagai pakar yang bertugas memberi pertanyaan tentang persoalan daerahm,sehingga diharapkan bisa mempertajam pemahaman para pemilih terhadap misi dan visi sang calon kepala daerah.

Dilanjutkan dengan sesi tanya jawab antar pasangan calon kandidat tentang visi dan misi mereka sehingga diharapkan rakat sebagai pemilih bisa mengetahui kulitas sang calon dalam menganalisa persoalan dan logika yang dibangun oleh masing-masing pasangan calon kepala daerah tersebut. Sehingga diharapkan pemiih bisa mengetahui mana calon pemimpin daerah yang berkualitas, sehingga diharapkan dengan debat yang disiarkan di televisi masyarakat bisa semakin mantap untuk memilih pasangan calon kepala daerah yang dianggap mumpuni dalam memimpin daerahnya.

Tapi Jauh Dihati

Debat Yang calon pasangan kepala daerah di televisi sesungguhnya sarana untuk sosialisasi tentang profil calon pemimpin di daerah. Tapi seberapa banyak itu menyentuh semua kalangan mulai dari paling bawah sampai kalangan “the have” (atas), dari kalangan kolonial (tua) sampai milenial (muda) sampai sekarang juga masih perlu di teleti lebih lanjut. Karena debat yang terasa formalitas dan sekedar memenuhi tahapan pilkada. Belum sampai kepada substantif masalah di daerah serta belum adanya adu argumen yang benar-benar menguji logika dari calon kepala daerah belum begitu terlihat. Setidaknya itu pada debat perdana di beberapa daerah.

Karena televisi disarati oleh muatan-muatan makna ideologis tersembunyi, yang menurut Theodor Adorno muncul semata-mata melalui cara suatu cerita atau iklan memandang manusia. Pemirsa dalam hal ini, diundang untuk melihat satu karekter dengan cara yang sama ia melihat dirinya. Tanpa menyadari bahwa sebenarnya telah terjadi indoktrinasi. Sifat simulasi media televisi telah mampu menyuntikan makna-makna yang seolah-olah ada pada kehidupan nyata, meskipun sebenarnya hanya sebuah fantasi, sebuah realisme semu. (Pilliang, 1998).

Maka dengan melihat realisme semu debat publik calon kepala daerah pada putaran awal ini menurut penulis belum banyak menyentuh hati para pemilih. Masih jauh di hati para pemirsa kalau boleh mengatakan demikian karena debat baru sebatas semacam ” seremonial” diskusi yang masih perlu dipertajam pada debat putaran selanjutnya. Sehingga perlu ada penajaman di sana-sini bagi para calon kepala daerah peserta Pilkada 2020 untuk merebut hati pemilih nanti pada saat pencoblosan pada 9 Desember 2020 mendatang.

Disamping itu budaya debat yang terasa serius dipandang begitu penting bagi sebagain kalangan, tetapi di kalangan lain ada yang tidak tidak peduli dengan debat karena harus memikirkan roda ekonomi agar terus berjalan di tengah Pandemi Covid-19 dan ekonomi yang semakin susah. Maka sebenarnya debat adalah persoalan bagiamana para peserta Calon Kepala Daerah pada Pilkada 2020 ini bisa merebut hati para pemirsa televisi sehingga mau memberikan suaranya kepada dirinya pada 9 Desember 2020 kelak.

Kini senyampang masih ada waktu bagi pasangan calon kepala daerah untuk mengorkestra presentasi diri di depan televisi pada putaran debat selanjutnya sudah selayaknya untuk dimanfatkan semaksimal mungkin agar bisa merebut hati para pemilih pada saat pencoblosan 9 Desember 2020 nanti. Sehingga ada “koneksi hati” antara pemimpin daerah yang kelak terpilih dengan para pemilih. Semoga.

——— *** ———-

Tags: