Defisit Politik Informasi Caleg di Pemilu Legislatif 2019

Oleh :
Galang Geraldy, M.IP
Dosen Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Di tengah progresifitas pemilu legislatif (pileg) dan presiden (pilpres) serentak satu hari (17 April 2019), ternyata membuka ruang beberapa persoalan yang sangat mendasar. Salah satunya adalah mengenai disparitas mekanisme dan sistem informasi yang tajam antara pileg dan pilpres. Bila dibandingkan pilpres, yang notabene di blow up tuntas oleh media baik melalui tajuk khusus maupun debat yang diprakarsai oleh KPU, dikuliti oleh pakar-pakar ternama, sehingga menjadi konsumsi publik di ruang sosial media sampai warung kopi, atmosfer pileg justru berkebalikannya, yaitu minim informasi yang berbasis edukasi politik yang cerdas dan dialektik.
Persoalan dasar mengenai defisit informasi yang kompherensif para caleg menimbulkan genealogi persoalan lain, seperti membangun keterbukaan informasi publik, kapabilitas caleg, kepercayaan publik dan legitimasi politik yang kokoh. Mengingat lembaga legislatif di era demokrasi menjad salah satu ruang politik (trias politica) yang sangat strategis dalam merumuskan dan menentukan kebijakan politik lokal maupun nasional. Di satu sisi, sistem kepemiluan proporsional terbuka memberi ruang yang berimbang bagi semua caleg untuk berkontestasi meski di dalam satu parpol sekalipun. Namun hal itu sepertinya tidak ditangkap oleh KPU secara serius sehingga proses pileg terkesan sebatas seremoni-formalitas demokrasi, yang akan berpeluang besar dalam menambah kritik publik terhadap lembaga legislatif selanjutnya.
KPU harus segera menyadari, terutama dimasa kampanye yang menyisakan empat bulan lagi, bahwa akses informasi yang utuh menjadi pintu bagi publik untuk mengetahui identitas, kapasitas dan integritas para caleg. Sehingga latar belakang sosial pendidikan, ekonomi dan segala item informasi personal lainnya, visi misi dan narasi politiknya menjadi kanal pertama seleksi publik yang secara bersamaan jelas hal tersebut tidak bisa hanya dibungkus melalui baliho dan umbul-umbul yang bersebaran tak beraturan tersebut.
Pemilihan Legislatif 2019
Sebagai sebuah ilustrasi, mengutip dari website Komisi Pemilihan Umum (https://infopemilu.kpu.go.id/pileg2019/dapil/view), saya warga Kecamatan Gubeng Kota Surabaya diberikan hak pilih menentukan anggota DPR (Dapil Jatim I; alokasi 10 kursi) dengan jumlah pilihan 137 caleg yang tersebar di 15 partai politik.
Sedangkan yang termaktub dalam Keputusan KPU RI No 278/PL.01.3-Kpt/06/KPU/IV/2018, untuk DPRD Propinsi Jatim (Dapil Jatim I; alokasi 8 kursi),
tersedia jumlah pilihan sebanyak 120 caleg yang tersebar di semua partai politik dan untuk DPRD Kota Surabaya yang terdiri dari 5 dapil di isi sejumlah 169 caleg yang tersebar di semua partai politik.
Berkaca dari sistem dapil di atas, seorang warga Kecamatan Gubeng Kota Surabaya, diberikan hak pilih terhadap 137 caleg untuk DPR, 120 caleg untuk DPRD Propinsi Jatim dan 140 caleg untuk DPRD Kota Surabaya serta sejumlah 28 caleg DPD Propinsi Jatim. Tersedia 4 kartu suara bagi 425 caleg. Bagi Saya dan seluruh warga yang memiliki hak pilih tentu menginginkan sebuah mekanisme yang praktis namun tidak menegasikan rasionalitas publik dalam mengenal dan memahami latar belakang dan narasi politik para caleg tersebut.
Saya menelisik pada portal website KPU terkait identitas caleg DPR. Tersedia ruang untuk menampilkan profil latar belakang identitas pribadi dan visi-misi. Ironinya, masih ada beberapa caleg yang tidak lengkap menampilkan profil diri, bahkan di beberapa caleg lainnya ketika di telusuri ada laman yang menampilkan teks “calon yang bersangkutan tidak bersedia mempublikasian riwayat hidup”. Sebagai calon pejabat publik, ini jelas menampar logika publik.
Sedangkan untuk caleg DPRD Propinsi dan Kota Surabaya, tidak ditemukan profil data diri seperti di atas. Di sisi lain, mode kampanye yang mendominasi di ruang publik yang masih bersifat konvensional yaitu komunikasi semiotik, seperti baliho, banner, bendera, stiker dan alat peraga kampanye (APK) lainnya hanya menawarkan politik kosmetik bukan politik yang dialektik.
Lantas jangan dinafikan bila realitas di atas menggiring publik untuk berlaku irasional di dalam menentukan pilihan politik atau bertindak apatis (golput) sehingga dalam skala luas menjadikan politik jauh dari nilai dan esensinya. Demokrasi hanya akan berjalan secara prosedural belum beranjak kepada tatanan yang substansial.
Terobosan Politik Informatif Pileg
Jika kita semua berasumsi bahwa anggota legislatif adalah pejabat publik yang sangat berperan penting dalam menentukan kontur kehidupan masyarakat, maka secara bersamaan publik harus di suguhi akses dan ruang informasi yang utuh dan kredibel. Berangkat dari itu, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Pertama, perkembangan TIK memberi kesempatan akselerasi inovasi bagi KPU-D dan partai politik peserta pemilu untuk menyedikan portal laman yang bermuatan
profil diri setiap caleg yang lengkap dengan ketentuan yang tegas. Agar berjalan konsisten dan berkelanjutan, perlu piranti hukum untuk mengatur ini. Seperti di sebuah perusahaan manapun, sebuah keniscayaan bahwa syarat administrasi menjadi pintu awal bagi seleksi.
Kedua, menghadirkan ruang tanya jawab antara caleg dan publik baik melalui portal laman di website resmi atau aplikasi softfile yang secara mudah diunduh dari KPU maupun partai politik. Mekanisme ini memungkinkan keterbukanya ruang konektivitas dengan caleg melalui ruang virtual seperti sosial media, email dan kontak telepon yang bisa dihubungi, yang bisa saja dikembangkan menjadi ruang virtual dialektik.
Ketiga, membangun forum diskusi yang bekerja sama dengan pihak kecamatan, kelurahan/desa dan pengawan pemilu setingkatnya untuk menyelenggarakan dialog publik secara rutin sesuai dengan jumlah caleg di setiap dapil dan masa kampanye. Ketiga poin di atas akan mengantarkan publik pada fase politik yang mencerdaskan, demokrasi informasi dan politik dialektik.
Sampai di sini, kita boleh meyakini bahwa perhelatan pileg bukan sekedar pelengkap dinamika pilpres, bukan semata pemenuhan varian sistem pemilu serentak 2019 dan lebih luas terhadap pemenuhan unsur demokrasi prosedural. Karena, dengan begitu menjadi pejabat publik di DPR,DPRD Propinsi, Kota atau Kabupaten dan DPD, sekali lagi bukan kalkulasi politik pragmatis namun sebuah dinamika politik yang rasional dengan pondasi keterbukaan informasi yang menuju kehidupan politik yang dialektik, sehingga mengembalikan esensi politik sebagai sebuah konsensus nilai antar warga dalam menentukan tatanan kehidupan yang lebih baik.

———— *** ————-

Tags: