Demokrasi Sebagai Ikhtiar

Mahathir Muhammad IqbalOleh:
Alumni Program Magister Administrasi Publik Universitas Brawijaya Malang serta Peneliti Pada Lakpesdam PCNU Kota Malang.

Demokrasi itu, kata George F. Kennan, bukan kondisi kodrati sebagian besar umat manusia. Jadi, tegas pakar politik dan sejarawan Amerika Serikat tersebut, tidak seharusnya nilai atau ideologi itu dipaksakan kepada mereka yang tidak menganggapnya sebagai hal yang bermanfaat.
Dilontarkan pada akhir 1970-an untuk menentang rencana pemerintahan Presiden AS Jimmy Carter yang hendak mengampanyekan pentingnya hak asasi manusia ke seantero dunia, pernyataaan Kennan itu langsung menuai kontrovesi. Banyak yang menuding dia rasis dan diskriminatif karena menempatkan dirinya dan AS seolah-olah sebagai ras yang unggul di atas yang lain.
Tetapi, ketika kita melihat perkembangan politik Indonesia dewasa ini, saya khawatir jangan-jangan yang dikatakan Kennan itu ada benarnya. Setidaknya pada poin bahwa demokrasi tak seharusnya dicangkokkan begitu saja kepada suatu negara.
Mengapa? Sebab, hasilnya seringkali merupakan sesuatu yang paradoks.  Banyaknya pejabat publik dan elit politik yang tertangkap sebagai seorang koruptor, penyuap dan skandal kriminal lainnya, garis disparitas antara si kaya dan si miskin yang semakin menganga lebar, hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas (diskriminatif), dan juga rasa aman yang semakin mahal membuat nama baik demokrasi terjun bebas ke alam nista.
Dalam skala yang lebih luas, fenomena ini telah menstimulus masyarakat untuk menggugat demokrasi. Pasalnya, dalam pandangan para penggugat itu, setelah lebih dari satu dekade proses demokratisasi kondisi Indonesia dianggap tak lebih baik. Di sejumlah hal terdapat paradoks antara yang satu dengan yang lain.
Hal ini dapat dipahami mengingat demokrasi itu bukanlah sesuatu yang statis, ia fluktuatif. Sebagai sebuah kontruksi mental, keyakinan terhadap demokrasi sama dengan naik-turunnya level keimanan kita (Huntington, 1991: 17).
Tetapi, dengan adanya fenomena ini kita tidak lantas mesti harus bersikap antidemokrasi dan menutup mata dengan menilai bahwa semua kebusukan dunia politik Indonesia dewasa ini disebabkan oleh demokrasi an-sich. Karena bagaimanapun juga, seperti yang Mohammad Hatta katakan, demokrasi adalah sistem terbaik dan paling manusiawi bagi bangsa Indonesia karena rakyat memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Demokrasi merupakan sistem dan nilai yang menjunjung peradaban tinggi. Sebab, ia melindungi hak-hak dasar manusia atas kehidupan, melindungi mereka yang minoritas, menghargai kemerdekaan dan perbedaan, mendorong musyawarah dan kesepakatan, serta menjunjung kesetaraan dan keadilan.
Dalam ilmu politik, demokrasi dipahami dari dua aspek, yaitu substantive democracy (demokrasi substantif/normatif) dan procedural democracy (demokrasi prosedural/empirik).
Secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara ideal hendak dijalankan oleh sebuah negara, seperti pernyataan Abraham Lincoln “government from the people, by the people and for the people” (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat),  yang dikenal sebagai konsep demokrasi klasik, dan biasanya  dituangkan  dalam   konstitusi   negara.
Tapi yang perlu diperhatikan,  bahwa apa yang normatif belum tentu dapat dilihat dalam konteks kehidupan politik praktis sehari-hari. Karena itu demokrasi perlu dipahami dari aspek empirik yakni demokrasi yang terwujud dalam kehidupan politik praktis.
Rumusan modern dari konsep demokrasi dikemukakan oleh Joseph Schumpeter tahun 1942.  Dalam studi perintisnya “capitalism, socialism and democracy”, Schumpeter menyatakan secara rinci kekurangan dari apa yang diistilahkannya “teori demokrasi klasik” yang mendefinisikan demokrasi dengan istilah-istilah the will of the people (kehendak rakyat) sebagai sumber, dan the common good  (kebaikan bersama) sebagai tujuan.
Setelah meruntuhkan secara efektif pendekatan normatif (klasik) ini, Shcumpeter mengemukakan apa yang disebutnya “teori lain mengenai demokrasi” (metode demokrasi), yaitu prosedur kelembagaan untuk mencapai  keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh kekuasaan membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat.
Huntington dalam karyanya gelombang demokratisasi ketiga (third wave democratization), mengemukakan bahwa prosedur utama demokrasi adalah pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat.
Dengan mengikuti tradisi  shcumpeterian, huntington  mendefinisikan bahwa sistem politik yang demokratis adalah sejauh mana para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu, dipilih melalui proses pemilihan umum yang adil,  jujur dan berkala. Bahwa para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh dukungan suara pemilih.
Selain itu, bagi Habermas, negara tidak hanya bertugas sebagai pengontrol hak-hak warga negaranya sebagaimana yang diandaikan Locke dalam “Negara kecilnya” atau Negara sebagai pemegang otoritas tertinggi sebagaimana Hobbes mengandaikannya dalam konsep “negara besar”. Tetapi, negara dan rakyat adalah dua elemen yang memiliki hubungan erat. Di mana kebijakan dihasilkan dari proses komunikatif antar keduanya (demokrasi deliberatif).
Habermas, yang kita kenal sebagai penerus teori kritis mazhab Frankfurt dan juga penerus tradisi kritis marxisme, berusaha menerapkan tindakan komunikatif dalam proses demokrasi di Negara modern. Dengan metode diskursus yang ditawarkannya, Habermas berhasil melahirkan konsep filosofi hukum Negara yang lebih adil, jujur, dan seimbang; yakni demokrasi deliberatif.
Dalam filsafat politik dan hukumnya, Habermas lebih menekankan pada tindakan komunikatif (teori diskursus). Artinya, pemerintah dan masyarakat harus duduk bareng (musyawarah) untuk menentukan suatu kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dengan begitu, kemajemukan dalam suatu bangsa tidak lagi menjadi hambatan bagi terciptanya integrasi sosial.
Di samping itu, Habermas juga berupaya mereformasi tatanan negara hukum demokratis, yang diandaikan sudah ada, melalui partisipasi dengan prinsip kesamaan dan otonomi social masyarakat sipil dalam proses penentuan kebijakan public berlandaskan teori dikursus.
Dengan demikian, esensi sistem politik demokrasi adalah terwujudnya kebebasan politik rakyat dalam mengekspresikan preferensi dan hak-hak politiknya (souvereignty), serta adanya rekrutmen politik terbuka dan  pemilihan umum yang langsung, bebas dan fair dalam mengisi jabatan-jabatan politik dalam pemerintahan. Yang sangat penting dari esensi demokrasi adalah adanya kekebasan yang bertanggung jawab.
Akhirnya, demokrasi bukanlah creation ex nihilo, sesuatu yang secara simsalabim tercipta dari kenihilan. Namun, demokrasi harus dipandang sebagai sebuah ikhtiar, proses pembelajaran yang terus berlangsung, dengan kemungkinan salah didalamnya, tapi dengan tetap menempatkan suara rakyat yang tertinggi.

                                             ————————– *** —————————

Rate this article!
Demokrasi Sebagai Ikhtiar,5 / 5 ( 1votes )
Tags: